Mohon tunggu...
N. Alam Pratama
N. Alam Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Lingkar Ide

Penikmat musik, anime dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Atas Nama Kesendirian

10 Agustus 2023   12:40 Diperbarui: 10 Agustus 2023   12:43 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

"Defeated in the mud or victorius in the sun, I sing life and I love it" -- Renzo Novatore

Melalui tulisan ini, aku tidak bermaksud membuat teori baru atau membuat rantai ideologis yang mengikat erat kreativitas individu. Pun, aku tidak bermaksud menggurui siapapun dalam proses menjalani hidup. 

Aku juga tidak sedang membuat blue print tentang masa depan dan proses kehidupan yang layak. Justru aku sedang membunuh masa depan, sekaligus menghancurkan ketidakpastiannya. 

Aku sedang merangkai utopia personal, pada saat ini, ketika aku menulis ini! Juga, aku ingin menghancurkan rantai ideologis dan kepercayaan akan tibanya revolusi suatu hari nanti, pun tentang kebahagiaan hidup yang datang suatu saat nanti!

Bagiku, masa depan serupa hologram mimpi. Tiada kenyataan di sana. Masa depan serupa janji-janji politisi brengsek yang membangun dunia khayali manusia melalui visi-misi yang memuat kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. 

Padahal, apapun itu tentang masa depan yang diwartakan para politisi brengsek tidak lain hanyalah proses penjinakan dan dominasi terhadap seseorang. 

Apapun tentang masa depan, baik itu kebahagiaan ataupun penderitaan, semuanya adalah tentang ketakutan seseorang di masa kini. Ketakutan yang dikontruksikan oleh dominasi kekuasaan melalui ruang sosial, politik dan ekonomi.

Hari ini kita hidup di sini, di dalam kamar, caf, klub malam, perpustakaan, di manapun kita menghirup oksigen yang sama. Kehidupan masa kini serupa kertas kosong; lembar kreativitas diri, juga serupa kanvas kosong yang mendorong hasrat eksplorasi imajinasi. 

Dan apabila, melalui harapan-harapan masa depan kita dikontruksikan oleh politis brengsek sebagai manusia lemah sehingga tanpa sadar akan menganggap mereka adalah dewi penyelamat kehidupan di masa depan, maka yang perlu kita lakukan hanyalah menegasikan itu semua dengan imajinasi destruktif; menghancurkan mereka di masa kini dengan ketidakpercayaan atas segala bacod mereka dan mulai mempercayai segala hal yang nyata adalah apa yang kita lakukan dan kerjakan di masa kini. Yang perlu dilakukan adalah mempercayai kenyataan hanyalah masa kini yang sedang dijalani dan membiarkan petualangan diri dimulai, dengan berani.

Aku meyakini, bahwa kebahagiaan hidup tidaklah datang dari orang lain melainkan dari diri sendiri, dengan kesadaran tentang masa kini. Pun, tentang kebebasan. Tidak ada orang lain yang memenuhi syarat untuk bisa membuatku bebas. Aku adalah satu-satunya orang yang memenuhi syarat untuk membebaskan diri dan membahagiakan diri. Aku adalah yang bertanggung jawab atas hidupku sendiri. Begitu pula dengan kebahagiaan dan kebebasan orang lain, aku sama sekali tidak memiliki hak dan tanggung jawab untuk mereka. Aku dan kalian berhak untuk menentukan sendiri.

Mungkin aku akan dituduh sebagai individualis sekaligus liberal menjijikkan bagi sebagian orang. Namun, persetan dengan mereka. Entah apapun definisi mereka tentangku, aku tak peduli. Dan aku pun berhak memvonis kalian sebagai manusia rendahan yang lebih menjijikkan.

Aku hanya menjalani hidupku sendiri. Dengan dan tanpa mereka, ku rasa hidupku akan sama saja. Pun, tanpa mereka aku bisa memaksimalkan kebahagiaan hidup masa kini. Apa yang diharapkan dari orang lain, ketika mereka tidak memiliki tanggung jawab atas diri? Sungguh, apabila aku berkeyakinan hanya akan mendapat kebahagiaan ketika harus hidup dengan mereka, maka sebenarnya aku sedang mabuk. Hilang kesadaran, dan terlalu banyak menenggak ilusi kolektivisme. Dan, aku perlu memaknai ulang hidup yang sesungguhnya.

Proyek kolektivisme yang diagung-agungkan oleh beberapa orang yang ku kenal adalah kekosongan yang padat. Serupa ektasi yang adiktif. Akhirnya, membuat diri kehilangan akal sehat untuk berpikir logis dan ketergantungan dengan relasi sosial yang fana. Dan mereka yang mengedarkan proyek kolektivisme semacam itu adalah pecandu akut yang takut menjalani hidup. Mereka adalah definisi lain dari kemunafikan Mereka membutuhkan korban lain sebagai teman hidup di neraka dunia yang diciptakannya. Berjubahkan deskripsi kebohongan tentang masa depan yang indah dan menawan tampil sebagai kebenaran.

Aku tidak bermaksud meniadakan kenyataan sosial di dalam kehidupan individu, melainkan ingin mengatakan bahwa persepsi tentang relasi sosial antar individu tidaklah sesempit sel tahanan. Hubungan sosial bukan berarti membuat seseorang memiliki ketergantungan akut atas kelompok tertentu, atau hubungan sosial juga tidak bermakna ketertundukkan atau menundukkan yang lain. Persepsi hubungan sosial semacam itulah yang oleh pikiranku ingin ku kacaukan. Sebab, hubungan sosial semacam itu sama halnya membuat orang lain terpenjara di dalam sel tahahan. Sebab tidak akan tercipta sebuah hubungan sosial tanpa individu-individu. Sebab itulah, selain dari menghormati dan menghargai kesepakatan atau kepentingan kolektif, di dalam sebuah kelompok terlebih dulu harus memiliki persepsi tentang penghormatan atas kepentingan individu.

Bagiku, sebuah kelompok/komune yang banyak mempresentasikan kebahagiaan hidup kolektif menuntun seseorang kepada kebahagiaan masa depan adalah pemangsa kehidupan. Menggerogoti keberanian dengan terus-menerus memaksa keterikatan individu.. Apalagi di dalam kelompok tersebut menerapakan model hierarki, yang baik diukur dari posisi politik atau ekonomi.

Akhirnya, model kelompok semacam itu hanya akan menuntun seseorang pada pemahaman biner: Menemukan kebahagiaan masa depan dengan melalui kelompok tersebut atau tidak akan memiliki masa depan sama sekali. Akhirnya, kelompok tersebut seakan menjadi pemilik nasib dan takdir seseorang dengan bangga. Dan itu sangat konyol sekali. Aku hanya menertawai sinis.

Omong kosong kebahagiaan masa depan, omong kosong kolektifitas. Semua tidak lain hanyalah tentang penguasaan individu untuk kepentingan tertentu. Rencana politik segelintir orang yang diwartakan secara klandestin di antara kenyataan dan ketakutan.

Ketika aku mendengar sebagian dari mereka yang seakan punya kekuasaan lebih di dalam kelompok tersebut karena beberapa alasan tentang "rencana masa depan", dalam benak pikirku menanyakan, apakah mereka benar-benar telah mempertimbangkan konsekuensi logis tentang kemungkinan terbesar bahwa mereka benar-benar tidak akan melihat semua tentang "rencana masa depan" yang diwartakan sama sekali tidak akan pernah mereka lihat.

Apa yang perlu dilakukan adalah menjalani kehidupan masa kini sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Tidak menghamba pada otoritas atau kelompok tertentu. Melainkan meyakini bahwa diri sendiri sebagai subjek yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk senantiasa melakukan kebaikan-kebaikan hidup dengan berani meski hidup di dunia yang sial ini.

Betapapun suramnya kenyataan masa kini, itu bukan berarti berhenti bertualang dan kalah. Bukan berarti akhir dari kreativitas diri. Bukan menjadi alasan untuk berdiam diri dan kehilangan imajinasi. Justru, menjadi awal dari tumbuhnya keinginan-keinginan yang lebih liar dan petualangan yang lebih menyenangkan.

Tidak akan pernah datang dunia yang lebih baik. Tidak akan pernah ada kenyataan lain selain kenyataan masa kini. Meski bagi sebagian orang ini adalah lagu keputusasaan, juga bahasa ketidakberdayaan. Namun bagiku begitulah kenyataan hidup sebagaimana adanya di dunia sial ini yang ku tinggali. Keputusasaan dan ketidakberdayaan sama sekali tidak membuatku depresi dan takut, apalagi berpikiran untuk bunuh diri. Aku malah merayakan keputusasaan dengan gembira, dengan tertawa histeris, dengan keteguhan untuk tetap menjalani kehidupan dan menciptakan kenyataan sendiri. Aku menemukan keinginan untuk hidup, apa yang menjadi penting untuk hidup.

Percayalah, kebahagian hidup tidak bisa dititipkan kepada siapapun, tidak ada di dunia masa depan, sebab dunia masa depan pun tidaklah nyata. Kebahagiaan ada di masa kini, ada tangan sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun