Aku hanya menjalani hidupku sendiri. Dengan dan tanpa mereka, ku rasa hidupku akan sama saja. Pun, tanpa mereka aku bisa memaksimalkan kebahagiaan hidup masa kini. Apa yang diharapkan dari orang lain, ketika mereka tidak memiliki tanggung jawab atas diri? Sungguh, apabila aku berkeyakinan hanya akan mendapat kebahagiaan ketika harus hidup dengan mereka, maka sebenarnya aku sedang mabuk. Hilang kesadaran, dan terlalu banyak menenggak ilusi kolektivisme. Dan, aku perlu memaknai ulang hidup yang sesungguhnya.
Proyek kolektivisme yang diagung-agungkan oleh beberapa orang yang ku kenal adalah kekosongan yang padat. Serupa ektasi yang adiktif. Akhirnya, membuat diri kehilangan akal sehat untuk berpikir logis dan ketergantungan dengan relasi sosial yang fana. Dan mereka yang mengedarkan proyek kolektivisme semacam itu adalah pecandu akut yang takut menjalani hidup. Mereka adalah definisi lain dari kemunafikan Mereka membutuhkan korban lain sebagai teman hidup di neraka dunia yang diciptakannya. Berjubahkan deskripsi kebohongan tentang masa depan yang indah dan menawan tampil sebagai kebenaran.
Aku tidak bermaksud meniadakan kenyataan sosial di dalam kehidupan individu, melainkan ingin mengatakan bahwa persepsi tentang relasi sosial antar individu tidaklah sesempit sel tahanan. Hubungan sosial bukan berarti membuat seseorang memiliki ketergantungan akut atas kelompok tertentu, atau hubungan sosial juga tidak bermakna ketertundukkan atau menundukkan yang lain. Persepsi hubungan sosial semacam itulah yang oleh pikiranku ingin ku kacaukan. Sebab, hubungan sosial semacam itu sama halnya membuat orang lain terpenjara di dalam sel tahahan. Sebab tidak akan tercipta sebuah hubungan sosial tanpa individu-individu. Sebab itulah, selain dari menghormati dan menghargai kesepakatan atau kepentingan kolektif, di dalam sebuah kelompok terlebih dulu harus memiliki persepsi tentang penghormatan atas kepentingan individu.
Bagiku, sebuah kelompok/komune yang banyak mempresentasikan kebahagiaan hidup kolektif menuntun seseorang kepada kebahagiaan masa depan adalah pemangsa kehidupan. Menggerogoti keberanian dengan terus-menerus memaksa keterikatan individu.. Apalagi di dalam kelompok tersebut menerapakan model hierarki, yang baik diukur dari posisi politik atau ekonomi.
Akhirnya, model kelompok semacam itu hanya akan menuntun seseorang pada pemahaman biner: Menemukan kebahagiaan masa depan dengan melalui kelompok tersebut atau tidak akan memiliki masa depan sama sekali. Akhirnya, kelompok tersebut seakan menjadi pemilik nasib dan takdir seseorang dengan bangga. Dan itu sangat konyol sekali. Aku hanya menertawai sinis.
Omong kosong kebahagiaan masa depan, omong kosong kolektifitas. Semua tidak lain hanyalah tentang penguasaan individu untuk kepentingan tertentu. Rencana politik segelintir orang yang diwartakan secara klandestin di antara kenyataan dan ketakutan.
Ketika aku mendengar sebagian dari mereka yang seakan punya kekuasaan lebih di dalam kelompok tersebut karena beberapa alasan tentang "rencana masa depan", dalam benak pikirku menanyakan, apakah mereka benar-benar telah mempertimbangkan konsekuensi logis tentang kemungkinan terbesar bahwa mereka benar-benar tidak akan melihat semua tentang "rencana masa depan" yang diwartakan sama sekali tidak akan pernah mereka lihat.
Apa yang perlu dilakukan adalah menjalani kehidupan masa kini sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Tidak menghamba pada otoritas atau kelompok tertentu. Melainkan meyakini bahwa diri sendiri sebagai subjek yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk senantiasa melakukan kebaikan-kebaikan hidup dengan berani meski hidup di dunia yang sial ini.
Betapapun suramnya kenyataan masa kini, itu bukan berarti berhenti bertualang dan kalah. Bukan berarti akhir dari kreativitas diri. Bukan menjadi alasan untuk berdiam diri dan kehilangan imajinasi. Justru, menjadi awal dari tumbuhnya keinginan-keinginan yang lebih liar dan petualangan yang lebih menyenangkan.
Tidak akan pernah datang dunia yang lebih baik. Tidak akan pernah ada kenyataan lain selain kenyataan masa kini. Meski bagi sebagian orang ini adalah lagu keputusasaan, juga bahasa ketidakberdayaan. Namun bagiku begitulah kenyataan hidup sebagaimana adanya di dunia sial ini yang ku tinggali. Keputusasaan dan ketidakberdayaan sama sekali tidak membuatku depresi dan takut, apalagi berpikiran untuk bunuh diri. Aku malah merayakan keputusasaan dengan gembira, dengan tertawa histeris, dengan keteguhan untuk tetap menjalani kehidupan dan menciptakan kenyataan sendiri. Aku menemukan keinginan untuk hidup, apa yang menjadi penting untuk hidup.
Percayalah, kebahagian hidup tidak bisa dititipkan kepada siapapun, tidak ada di dunia masa depan, sebab dunia masa depan pun tidaklah nyata. Kebahagiaan ada di masa kini, ada tangan sendiri.