Keluarga pemilik toko mas itu biasanya makan kue tradisional dan beragam hidangan lebaran yang dimasak nenek. Makan ketupat dicampur gulai kambing, mencicip uli goreng yang diberi opor ayam, mengudap tape ketan, kue cincin, rengginang, wajit, kue saptu, hingga kue bolu.
Saat pulang, mereka juga diberi bingkisan beragam hasil alam dari sawah dan kebun, mulai dari pisang, singkong, cabai, beras, dan kue-kue tradisional yang jenisnya sama seperti yang dihidangkan.
Bergantian, saat mereka merayakan hari besar, nenek dan kakek saya juga suka berkunjung ke rumah mereka. Namun, karena waktu itu kami belum memiliki kendaraan pribadi, biasanya yang pergi hanya kakek, atau sesekali bersama nenek. Saya tidak pernah ikut.
Beberapa tahun belakangan ini ada pro-kontra terkait hukum mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain. Ada pihak yang bilang hukumnya haram, ada juga yang mengatakan tidak apa-apa selama konteksnya hanya mengucapkan. Sekadar toleransi.
Namun, dulu kakek dan nenek saya bersama keluarga pemilik toko mas itu tidak pernah saling mengucapkan selamat hari raya. Datang, datang saja, berkunjung seperti halnya bertamu pada hari lain.
Hanya saja momen hari raya dipilih karena saat itu biasanya ada banyak hidangan, sehingga lebih maksimal dan leluasa saat menjamu tamu.
Mengingatkan Salat dan Mencarikan Musala
Ini momen toleransi yang sangat berkesan buat saya. Hingga, sudah belasan tahun berlalu pun, masih saya ingat dengan jelas.
Waktu itu saya bersama teman-teman kantor pergi one day tour ke Singapura. Kami pergi berlima. Empat diantaranya baru pertama kali ke negeri Singa, karena memang baru pindah ke Batam, Kepulauan Riau. Hanya satu yang sering bolak-balik ke Singapura. Nyaris setiap bulan, eh apa minggu ya hehe.
Nah, teman saya yang sering pergi ke Singapura itu adalah orang Tionghoa. Non Muslim. Namun, meski begitu, ia lah yang setiap kali waktu salat tiba selalu mengingatkan kami untuk mampir ke musala. Ia juga yang sibuk mencari bangunan agar kami bisa salat tepat waktu.
Efek sering berkunjung ke Singapura, meski bukan muslim, dia tahu saja musala-musala di sekitar tempat keramaian di Singapura. Kalaupun sesekali bertanya ke warga sekitar, dia sudah tahu ancer-ancernya.