Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, biar tenang dan aman, kamu sekolah di SMA negeri saja ya.
Meski sudah berlalu lebih dari dua dasawarsa lalu, saya masih ingat dengan kata-kata yang diucapkan ibu saya saat saya akan mendaftar ke jenjang SMA. Saat itu saya ingin bersekolah di salah satu SMA swasta. Saya tergiur dengan fasilitas yang ditawarkan sekolah tersebut. Terlebih ada teman les perempuan yang lumayan akrab yang sudah lebih dulu bersekolah di sana.
Setiap kali bertemu, teman les saya itu selalu bercerita mengenai sekolahnya. Sistem pengajaran yang diterapkan hingga fasilitas ekstrakulikuler yang ditawarkan. Mendengarkan cerita dia, membuat saya tergoda untuk bersekolah di SMA tersebut. Terlebih sejak SD hingga SMP, saya selalu bersekolah di sekolah negeri dekat rumah dengan fasilitas yang standar.
Ibu saya bilang, beliau sebenarnya sanggup menyekolahkan saya di SMA tersebut. Uang pendaftaran dan uang pangkal sudah tersedia dengan jumlah yang cukup. Hanya saja, beliau agak keberatan dengan SPP yang dibebankan setiap bulan. Jumlah nominalnya lumayan. Meski sanggup membayar, perlu usaha ekstra untuk menyisihkan.
Ibu saya mengatakan, khawatir di tengah jalan ada kendala yang membuat beliau tidak sanggup untuk membayar iuran bulanan tersebut. Terlebih tiga tahun bukan waktu yang singkat. Apapun bisa terjadi dalam rentang waktu tersebut. Jangan sampai saya nanti malah putus sekolah hanya karena memaksakan diri di sekolah elite yang tidak sesuai kantong. Akhirnya waktu itu saya bersekolah di SMA negeri dekat rumah.
Setelah resmi menjadi siswa SMA negeri, saya malah merasa bersyukur ibu saya masih memiliki pikiran jernih. Sebab, beberapa bulan kemudian terjadi krisis moneter yang memporakporandakan perkonomian Indonesia. Pada tahun 1997/1998 banyak usaha yang gulung tikar, karyawan terkena PHK, nilai tukar rupiah anjlok, dan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Saya sempat merinding membayangkan kalau seandainya waktu itu memaksakan diri bersekolah di SMA swasta tersebut. Selama hampir tiga tahun mungkin ibu dan ayah saya harus tersiksa memikirkan uang SPP yang tidak sedikit. Apalagi penghasilan orang tua tidak selalu stabil setiap bulan. Ada kalanya rezeki mengalir deras, ada kalanya surut dan harus lebih ketat mengencangkan ikat pinggang.
Jangan Memaksakan Diri
Jangan memaksakan diri. Pikirkan nanti bagaimana, bukan bagimana nanti.
Petuah dari ibu saya itu otomatis selalu terputar ulang di pikiran setiap kali saya memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan uang, termasuk saat saya akan memasukan si sulung sekolah. Namun, saat memasukan si sulung ke TK, petuah tersebut sempat saya abaikan. Saya memasukan anak saya yang paling besar ke sekolah TK yang biayanya lumayan menguras dompet.
Waktu itu saya berpikir, saya memerlukan TK bagus sebagai pondasi dasar anak saya belajar. Apalagi waktu itu saya tidak sempat mendampingi anak belajar karena kesibukan pekerjaan. Sehingga, proses belajar anak diserahkan sepenuhnya ke sekolah. Terkait biaya sekolah, masih terjangkau meski sedikit harus memaksakan diri.
Saat itu saya berpikir, kalaupun di tengah jalan ada sesuatu hal yang membuat saya dan suami kesulitan membayar iuran sekolah, anak saya toh masih TK. Kalaupun harus putus sekolah di tengah jalan, tidak apa-apa. Bersekolah di TK tidak wajib. Namun, alhamdulillah semua lancar. Saya dan suami sanggup membiayai anak hingga lulus TK.
Nah, saat anak saya akan masuk SD, saya mulai galau. Saya ingin anak kembali mendapatkan pendidikan terbaik di instansi pendidikan terbaik (versi saya). Saya sempat ngotot ingin anak saya melanjutkan pendidikan di SD yang masih satu yayasan dengan TK tempat anak saya sekolah.
Hanya saja saya dan suami maju-mundur. Uang masuk sekolahnya lumayan tinggi untuk ukuran dompet kami. Belum lagi SPP bulanan. Uang masuk sekolah sebenarnya tidak terlalu khawatir karena dibayar dimuka. Kami memiliki simpanan uang yang cukup untuk membayar uang masuk tersebut.
Hal yang menjadi pertimbangan justru SPP bulanan dan uang daftar ulang yang harus dibayar setiap tahun. Jumlahnya lumayan. Saya dan suami khawatir di tengah jalan kesulitan membayar iuran tersebut. Terlebih enam tahun bukan waktu yang singkat. SD juga sudah termasuk sekolah wajib. Tidak mungkin saat kami tak sanggup membayar iuran, anak otomatis berhenti sekolah begitu saja.
Saya dan suami bukan mengharapkan hal buruk terjadi. Kami hanya ingin berhati-hati dan menyesuaikan dengan isi dompet. Kami tidak ingin terlalu memaksakan diri. Kami tidak ingin terlalu percaya diri dengan berpedoman bagaimana nanti saja, toh setiap anak membawa rezeki masing-masing. Anak memang membawa rezeki masing-masing, tetapi rezeki tidak datang dari langit begitu saja. Tetap harus diusahakan.
Akhirnya saya dan suami menyekolahkan si sulung di sekolah lain, masih tetap satu yayasan dengan TK tempat si sulung bersekolah. Hanya saja ini versi SD yang lebih terjangkau. Uang masuk, uang SPP, dan biaya daftar ulang setiap tahun hanya setengah dari SD yang sempat kami paksakan ingin mendaftar itu.
Biaya yang ditetapkan lebih terjangkau karena tidak di sediakan pengatur suhu ruangan di setiap kelas, bahasa pengantar juga hanya menggunakan Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Inggris. Namun untuk pelajaran lain hampir sama dengan SD itu. Mungkin karena kedua SD tersebut masih satu yayasan.
Setelah menjalani tiga semester masa belajar, lagi-lagi saya merasa beruntung tidak memaksakan kehendak di sekolah mahal. Saat anak saya kelas 2 SD, pandemi Covid-19 menerpa. Tak ada yang menyangka, akibat mikroba tersebut ada banyak hal yang porak-poranda. Salah satunya adalah perekonomian.
Tak terbayang saat penghasilan berkurang dan kebutuhan membesar akibat pandemi Covid-19, harus juga "sakit kepala" memikirkan iuran sekolah anak. Alhamdulillah, kami bisa bertahan di tengah badai karena terbiasa tidak memaksakan diri. Alhasil, meski situasi sedang tidak baik, stabilitas sistem keuangan keluarga tetap terjaga.
Menghindari Utang
Saya dan suami termasuk pasangan yang takut berutang. Kami berdua tidak memiliki kartu kredit. Biasanya bila ingin membeli sesuatu, kami menabung terlebih dulu. Jujur, selama satu dasawarsa menikah, kami baru berani mencicil mobil. Itu pun mobil LCGC. Bukan tidak ingin mengkredit kendaraan roda empat versi yang lebih mewah, hanya saja utang selalu membuat kami khawatir.
Selama mengkredit mobil tersebut kami selalu merasa tidak tenang. Meski penghasilan termasuk cukup, tetap saja ada rasa khawatir yang menyeruak. Takut gagal bayar. Namun, alhamdulillah kami justru mampu melunasi cicilan kendaraan tersebut lebih cepat dari jangka waktu kredit yang ditetapkan.
Maka saat Covid-19 menerpa, kami tetap merasa tenang. Meski ada penghasilan yang berkurang dampak dari pandemi, keuangan keluarga tetap terkontrol. Penghasilan yang ada tinggal diatur sedemikian rupa agar cukup untuk memenuhi kebutuhan.Â
Tabung Uang, Bukan Timbun Barang
Saat beberapa orang kalap menimbun barang di masa pandemi, saya dan keluarga justru lebih memilih menyimpan uang. Uang belanja tidak kami habiskan langsung untuk membeli keperluan selama satu bulan. Kami memilih berbelanja secara bertahap hanya untuk keperluan satu minggu. Saat barang habis, kami membeli ulang.
Ada banyak pertimbangan yang membuat saya memutuskan berbelanja dengan cara mencicil seperti itu. Salah satunya, agar stabilitas sistem keuangan keluarga selalu terjaga. Entah mengapa saya merasa lebih aman menyimpan uang belanja di bank, dibanding langsung menyetok seluruh barang yang diperlukan.
Jujur, bila penghasilan langsung dibelanjakan dalam bentuk barang untuk keperluan satu bulan, saya khawatir barang yang dibeli tersebut di tengah perjalanan rusak, hilang, atau tidak bisa lagi dipakai atau dikonsumsi karena suatu hal --terkena banjir misalnya, atau terpapar binatang pengganggu yang kerap masuk ke dalam rumah, seperti kecoa, kutu busuk, atau tikus.
Kalau kita bisa membeli ulang barang-barang itu lagi tidak masalah. Namun, bila uang belanja kita pas-pasan, menjadi masalah besar. Barang yang akan kita gunakan sudah tak layak konsumsi, sementara uang untuk membeli barang pengganti juga tidak ada. Kalau yang rusak atau hilang hanya sekotak diapers anak, bisa sementara waktu libur tidak menggunakan popok sekali pakai, nah kalau misalkan beras yang hilang atau rusak, masa selama satu bulan tidak makan?
Selain itu, saya memilih untuk menyimpan uang dibanding menyetok barang untuk berjaga-jaga. Saat terpepet, uang belanja bisa dialihkan untuk keperluan lain yang lebih mendesak. Bila uang tersebut sudah berubah bentuk menjadi bahan makanan, sabun, atau keperluan keluarga yang lain, sulit diubah kembali menjadi uang.
Kalaupun barang-barang tersebut bisa dijual kembali, harga jualnya belum tentu setara dengan saat kita membeli barang-barang tersebut. Apalagi kebutuhan sehari-hari masih bisa diakali. Masih bisa disesuaikan dengan uang belanja yang tersedia. Tinggal pintar-pintar mencari substitusi produk yang harganya lebih terjangkau.
Ternyata berbelanja secara lebih terukur, tidak hanya membuat sistem keuangan keluarga lebih stabil, tetapi kita juga ikut turut serta menjaga stabilitas perekonomian nasional. Sebaliknya, saat kita melakukan penimbunan barang karena khawatir  kesulitan mendapatkan barang tersebut di masa pandemi, kita justru berkontribusi menimbulkan kepanikan massal, kecemasan, dan turut serta mengerek harga barang menjadi sangat tinggi.
Masih ingat kan harga masker dan hand sanitizer yang sempat melambung sangat tinggi hingga berpuluh kali lipat dari harga normal? Itu karena ada pembelian yang begitu masif. Beberapa ada juga oknum yang memanfaatkan situasi. Memborong barang untuk dijual kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Saat barang menjadi langka, harga terlampau tinggi, yang rugi saiapa? Kita! Dengan sangat terpaksa harus mengalokasikan uang yang jauh lebih banyak untuk membeli barang tersebut. Padahal kalau membeli dengan jumlah yang lebih terukur mungkin tidak akan terjadi kelangkaan barang yang menyebabkan lonjakan harga.
Kreatif Melihat Peluang
Pandemi Covid-19 memang membuat semua hal serba sulit. Namun, dibalik itu semua ternyata ada banyak peluang yang tersembunyi. Ada tetangga yang tiba-tiba mendadak menjadi pengusaha berkat mikroba mematikan ini. Ia yang hobi menjahit merintis usaha penjualan masker kain. Masker-masker kain yang ia jahit dengan rapi itu dititip jual ke beberapa warung dan toko sekitar rumah. Hasilnya sangat lumayan.Â
Ada juga teman yang justru merintis bisnis kuliner dikala pandemi Covid-19. Ia terpikir membuka usaha makanan siap santap karena banyak teman di lingkup pergaulannya yang mengeluh tidak bisa memasak, tetapi mau membeli dari luar khawatir terpapar covid-19. Terlebih bila penjualnya tidak kenal secara personal. Alhasil teman saya yang jago memasak itu menawarkan jasa mengolah makanan. Hasilnya? Laris manis!
Sementara untuk saya dan suami, pandemi Covid-19 ini membuat kami lebih melek investasi. Sejak Maret 2020 kami tertarik berinvestasi melalui saham. Saat itu --kala Covid-19 mulai merebak di Indonesia, ada banyak saham yang harganya terjun bebas. Kami membeli beberapa. Ternyata sekarang harga-harga saham tersebut mulai berangsur naik.Â
Negara Butuh Peran Serta Kita
Selain bertanggung jawab menjaga stabilitas sistem keuangan keluarga, kita sebagai warga negara juga harus turut serta menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Mengapa demikian? Saat stabilitas sistem keuangan secara nasional terganggu, langsung maupun tidak langsung, stabilitas sistem keuangan keluarga akan terdampak.
Lalu bagaimana cara kita membantu menjaga stabilitas sistem keuangan? Salah satunya tidak egois menimbun barang. Beli barang secukupnya sesuai kebutuhan. Jangan menyetok barang untuk kebutuhan berbulan-bulan. Selain khawatir mubazir, ingat saudara-saudara kita yang lain yang juga membutuhkan barang tersebut. Bila tidak bisa membantu, jangan menyusahkan.
Selain itu, bila memiliki uang berlebih, lebih baik simpan di bank. Tidak usah ditarik. Selain lebih aman, uang tersebut bisa diputar untuk membantu menggerakan perekonomian nasional. Tidak usah khawatir uang hilang. Saat ini sudah ada lembaga penjamin terkait simpanan nasabah. Tentu dengan bank dan nominal uang yang sudah ditentukan lembaga tersebut.
Bank Indonesia (BI) selaku pemegang otoritas stabilitas sistem keuangan nasional juga tidak tinggal diam. Instansi tersebut terus melakukan berbagai upaya agar sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien. Selain itu, mampu bertahan terhadap kerentanan internal maupun ekternal. Sehingga, alokasi sumber pendanaan dan pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional.
Ah, semoga kita --masyarakat, pemerintah dan Bank Indonesia, bisa bahu membahu saling mendukung ,agar stabilitas sistem keuangan selalu terjaga, meski ditengah pandemi yang tidak mudah seperti ini. Bersama pasti bisa. Salam Kompasiana! (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI