Saya dan suami termasuk pasangan yang takut berutang. Kami berdua tidak memiliki kartu kredit. Biasanya bila ingin membeli sesuatu, kami menabung terlebih dulu. Jujur, selama satu dasawarsa menikah, kami baru berani mencicil mobil. Itu pun mobil LCGC. Bukan tidak ingin mengkredit kendaraan roda empat versi yang lebih mewah, hanya saja utang selalu membuat kami khawatir.
Selama mengkredit mobil tersebut kami selalu merasa tidak tenang. Meski penghasilan termasuk cukup, tetap saja ada rasa khawatir yang menyeruak. Takut gagal bayar. Namun, alhamdulillah kami justru mampu melunasi cicilan kendaraan tersebut lebih cepat dari jangka waktu kredit yang ditetapkan.
Maka saat Covid-19 menerpa, kami tetap merasa tenang. Meski ada penghasilan yang berkurang dampak dari pandemi, keuangan keluarga tetap terkontrol. Penghasilan yang ada tinggal diatur sedemikian rupa agar cukup untuk memenuhi kebutuhan.Â
Tabung Uang, Bukan Timbun Barang
Saat beberapa orang kalap menimbun barang di masa pandemi, saya dan keluarga justru lebih memilih menyimpan uang. Uang belanja tidak kami habiskan langsung untuk membeli keperluan selama satu bulan. Kami memilih berbelanja secara bertahap hanya untuk keperluan satu minggu. Saat barang habis, kami membeli ulang.
Ada banyak pertimbangan yang membuat saya memutuskan berbelanja dengan cara mencicil seperti itu. Salah satunya, agar stabilitas sistem keuangan keluarga selalu terjaga. Entah mengapa saya merasa lebih aman menyimpan uang belanja di bank, dibanding langsung menyetok seluruh barang yang diperlukan.
Jujur, bila penghasilan langsung dibelanjakan dalam bentuk barang untuk keperluan satu bulan, saya khawatir barang yang dibeli tersebut di tengah perjalanan rusak, hilang, atau tidak bisa lagi dipakai atau dikonsumsi karena suatu hal --terkena banjir misalnya, atau terpapar binatang pengganggu yang kerap masuk ke dalam rumah, seperti kecoa, kutu busuk, atau tikus.
Kalau kita bisa membeli ulang barang-barang itu lagi tidak masalah. Namun, bila uang belanja kita pas-pasan, menjadi masalah besar. Barang yang akan kita gunakan sudah tak layak konsumsi, sementara uang untuk membeli barang pengganti juga tidak ada. Kalau yang rusak atau hilang hanya sekotak diapers anak, bisa sementara waktu libur tidak menggunakan popok sekali pakai, nah kalau misalkan beras yang hilang atau rusak, masa selama satu bulan tidak makan?
Selain itu, saya memilih untuk menyimpan uang dibanding menyetok barang untuk berjaga-jaga. Saat terpepet, uang belanja bisa dialihkan untuk keperluan lain yang lebih mendesak. Bila uang tersebut sudah berubah bentuk menjadi bahan makanan, sabun, atau keperluan keluarga yang lain, sulit diubah kembali menjadi uang.
Kalaupun barang-barang tersebut bisa dijual kembali, harga jualnya belum tentu setara dengan saat kita membeli barang-barang tersebut. Apalagi kebutuhan sehari-hari masih bisa diakali. Masih bisa disesuaikan dengan uang belanja yang tersedia. Tinggal pintar-pintar mencari substitusi produk yang harganya lebih terjangkau.
Ternyata berbelanja secara lebih terukur, tidak hanya membuat sistem keuangan keluarga lebih stabil, tetapi kita juga ikut turut serta menjaga stabilitas perekonomian nasional. Sebaliknya, saat kita melakukan penimbunan barang karena khawatir  kesulitan mendapatkan barang tersebut di masa pandemi, kita justru berkontribusi menimbulkan kepanikan massal, kecemasan, dan turut serta mengerek harga barang menjadi sangat tinggi.