Waktu itu saya berpikir, saya memerlukan TK bagus sebagai pondasi dasar anak saya belajar. Apalagi waktu itu saya tidak sempat mendampingi anak belajar karena kesibukan pekerjaan. Sehingga, proses belajar anak diserahkan sepenuhnya ke sekolah. Terkait biaya sekolah, masih terjangkau meski sedikit harus memaksakan diri.
Saat itu saya berpikir, kalaupun di tengah jalan ada sesuatu hal yang membuat saya dan suami kesulitan membayar iuran sekolah, anak saya toh masih TK. Kalaupun harus putus sekolah di tengah jalan, tidak apa-apa. Bersekolah di TK tidak wajib. Namun, alhamdulillah semua lancar. Saya dan suami sanggup membiayai anak hingga lulus TK.
Nah, saat anak saya akan masuk SD, saya mulai galau. Saya ingin anak kembali mendapatkan pendidikan terbaik di instansi pendidikan terbaik (versi saya). Saya sempat ngotot ingin anak saya melanjutkan pendidikan di SD yang masih satu yayasan dengan TK tempat anak saya sekolah.
Hanya saja saya dan suami maju-mundur. Uang masuk sekolahnya lumayan tinggi untuk ukuran dompet kami. Belum lagi SPP bulanan. Uang masuk sekolah sebenarnya tidak terlalu khawatir karena dibayar dimuka. Kami memiliki simpanan uang yang cukup untuk membayar uang masuk tersebut.
Hal yang menjadi pertimbangan justru SPP bulanan dan uang daftar ulang yang harus dibayar setiap tahun. Jumlahnya lumayan. Saya dan suami khawatir di tengah jalan kesulitan membayar iuran tersebut. Terlebih enam tahun bukan waktu yang singkat. SD juga sudah termasuk sekolah wajib. Tidak mungkin saat kami tak sanggup membayar iuran, anak otomatis berhenti sekolah begitu saja.
Saya dan suami bukan mengharapkan hal buruk terjadi. Kami hanya ingin berhati-hati dan menyesuaikan dengan isi dompet. Kami tidak ingin terlalu memaksakan diri. Kami tidak ingin terlalu percaya diri dengan berpedoman bagaimana nanti saja, toh setiap anak membawa rezeki masing-masing. Anak memang membawa rezeki masing-masing, tetapi rezeki tidak datang dari langit begitu saja. Tetap harus diusahakan.
Akhirnya saya dan suami menyekolahkan si sulung di sekolah lain, masih tetap satu yayasan dengan TK tempat si sulung bersekolah. Hanya saja ini versi SD yang lebih terjangkau. Uang masuk, uang SPP, dan biaya daftar ulang setiap tahun hanya setengah dari SD yang sempat kami paksakan ingin mendaftar itu.
Biaya yang ditetapkan lebih terjangkau karena tidak di sediakan pengatur suhu ruangan di setiap kelas, bahasa pengantar juga hanya menggunakan Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Inggris. Namun untuk pelajaran lain hampir sama dengan SD itu. Mungkin karena kedua SD tersebut masih satu yayasan.
Setelah menjalani tiga semester masa belajar, lagi-lagi saya merasa beruntung tidak memaksakan kehendak di sekolah mahal. Saat anak saya kelas 2 SD, pandemi Covid-19 menerpa. Tak ada yang menyangka, akibat mikroba tersebut ada banyak hal yang porak-poranda. Salah satunya adalah perekonomian.
Tak terbayang saat penghasilan berkurang dan kebutuhan membesar akibat pandemi Covid-19, harus juga "sakit kepala" memikirkan iuran sekolah anak. Alhamdulillah, kami bisa bertahan di tengah badai karena terbiasa tidak memaksakan diri. Alhasil, meski situasi sedang tidak baik, stabilitas sistem keuangan keluarga tetap terjaga.
Menghindari Utang