Jam sudah menunjukan pukul 16:00 WIB saat kami berangkat menuju Pasar Ramadhan Tanjung Uma, Batam, Kepulauan Riau, Minggu (21/05). Sebenarnya saat itu saya dan suami sedikit ragu untuk berangkat. Selain sudah terlalu sore, hujan juga terus mengguyur Batam sejak pagi.
Saya dan suami sedikit ragu karena jarak rumah ke lokasi lumayan jauh. Perlu waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke lokasi. Itu berarti untuk pergi-pulang kami memerlukan waktu sekitar 60 menit. Sementara waktu berbuka pukul 18:00 WIB lewat sekian, jadi kami hanya punya waktu sekitar 60-75 menit untuk berburu makanan berbuka. Mana cukup?
Namun karena penasaran kami memaksakan diri juga berangkat. Ramadhan tanpa berkunjung ke pasar tersebut rasanya kurang afdol. Meskipun setelah sampai di sana suka kebingungan sendiri mau membeli apa. Ujung-ujungnya menenteng jenis jajanan atau masakan itu lagi, itu lagi, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Selalu ramai pengunjung
Pasar Ramadhan Tanjung Uma berada di sekitar pemukiman penduduk. Dari jalan raya seberang DC Mall, kita belok kiri mengambil jalan ke arah Kampung Tua Tanjung Uma, setelah itu lurus saja mengikuti jalan besar hingga menemukan lapangan. Beberapa tahun lalu masih terlihat seperti lapangan, tapi beberapa waktu terakhir ini lebih mirip tanah lapang yang cukup luas.
Meski demikian ada beberapa kendaraan roda empat yang memaksakan diri parkir di sekitar pasar (kalau kendaraan roda dua memang disediakan parkir di sekitar pasar itu), alhasil pengunjung yang sudah jubel-jubelan, semakin berjubel karena ada mobil yang memaksakan diri mau lewat. Mungkin ada baiknya ke depan, ada batasan dimana mobil boleh parkir, jangan memaksakan parkir sampai mepet ke pasar, kecuali memang penduduk di wilayah tersebut.
Meski pengunjung sangat padat, saya sangat menikmati pelesiran di pasar tersebut. Senang rasanya menimbang-nimbang memilih makanan mana yang akan di beli. Apakah membeli ikan, sotong, gong gong, udang, atau ikan pari? Apakah membeli yang dibakar, yang dikukus, atau malah yang masih mentah sekalian? Apalagi harga yang ditawarkan juga cukup "miring".
Menurut penjual putu piring yang saya ajak berbincang, tidak semua penjual di pasar Ramadhan Tanjung Uma adalah pedagang di kehidupan sehari-hari. Banyak juga yang hanya jadi penjual dadakan di kala Ramadhan, termasuk dirinya. Umumnya para penjual tersebut adalah ibu rumah tangga, nelayan, hingga beberapa profesi lain.
Selain itu ia mengatakan, beberapa makanan khas Melayu biasanya memang hanya dijual saat Ramadhan, atau saat ada pesanan khusus. Alasannya karena membuatnya sedikit ribet. Putu piring misalkan, harus dibuat dari tepung beras yang sebelumnya direndam hampir seharian, sekitar 5 jam, setelah itu diayak dibuat tepung, diberi gula, garam, parutan kelapa, dan lainnya.
Mungkin itu makanya ya, jajanan-jajanan khas Melayu selalu habis sebelum jam menunjukan pukul 17.00 WIB. Bahkan saat saya mengantre untuk mendapatkan beberapa bungkus putu piring, ada ibu-ibu yang mengeluh dengan sedih. Pasalnya ia sengaja berangkat dari daerah sekitar Bandar Udara Hang Nadim ke Tanjung Uma hanya untuk membeli putu piring, sampai di sana ternyata sudah habis. Kalaupun masih ada sudah menjadi milik orang lain dan tinggal di kukus.
Jangan terkecoh, Pasar Ramadhan Tanjung Uma ada di permukiman penduduk
Beberapa kilo meter sebelum Pasar Ramadhan Tanjung Uma ada banyak penjual makanan untuk berbuka di sepanjang jalan. Bila baru pertama kali datang, bisa terkecoh menyangka itu adalah Pasar Ramadhan Tanjung Uma, padahal bukan. Umumnya penjual di lokasi tersebut menjual masakan rumahan dan kue-kue.
Namun ternyata tidak, Pasar Ramadhan Tanjung Uma tetap berada di lokasi biasa yang sudah mereka rintis sejak tahun 1990-an. Bazar di sekitar lapangan merupakan penjual tambahan yang sepertinya disponsori oleh salah satu (calon) anggota DPD RI. Entah betul atau tidak. Saya hanya melihat nama dan foto si bapak calon tercetak di tenda-tenda yang berderet rapi tersebut.
Bila di Pasar Ramadhan Tanjung Uma suasananya memang sangat ramai, kampung yang berubah jadi pasar, makanan dan jajanan yang ditawarkan juga luar biasa beragam, namun di tenda-tenda sekitar lapangan jenisnya sedikit terbatas. Mungkin karena penjualnya juga lebih sedikit.
Namun saya sempat membeli cendol di sekitar lapangan, pertamanya saya merasa rasa cendol mah sama aja di mana pun kita beli, namun ternyata tidak, cendol yang dibuat ibu-ibu itu lebih segar. Selain itu, meski saya simpan di lemari es lebih dari 24 jam --karena membeli terlalu banyak, rasanya tidak berubah, juga tidak basi. Padahal saat saya membeli cendol di tempat lain, atau es buah, disimpan dari waktu berbuka ke waktu sahur saja sudah tidak lagi layak konsumsi karena basi, padahal sama-sama disimpan di lemari es.
Akhirnya karena tidak keburu berbuka puasa di rumah, kami berbuka puasa di salah satu gerai makan di DC Mall. Makanan dan jajanan yang dibeli di pasar tersebut, sebagian di makan saat buka, sebagian saat sahur, sebagian lagi saat berbuka puasa esok harinya. Efek penasaran ingin mengelilingi semua penjual. Maklum ibu-ibu hehe.
Kalau teman-teman Kompasianer sendiri, pasar Ramadhan mana yang paling favorit? Berbagi cerita yuk di kolom komentar. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H