Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Seru, Berkeliling di Pasar Ramadhan Tanjung Uma, Batam

27 Mei 2018   20:44 Diperbarui: 30 Mei 2018   04:56 3172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu penjual putu piring. Lima kilo adonan habis dalam waktu kurang dari tiga jam. | Dokumentasi Pribadi

Jam sudah menunjukan pukul 16:00 WIB saat kami berangkat menuju Pasar Ramadhan Tanjung Uma, Batam, Kepulauan Riau, Minggu (21/05). Sebenarnya saat itu saya dan suami sedikit ragu untuk berangkat. Selain sudah terlalu sore, hujan juga terus mengguyur Batam sejak pagi.

Saya dan suami sedikit ragu karena jarak rumah ke lokasi lumayan jauh. Perlu waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke lokasi. Itu berarti untuk pergi-pulang kami memerlukan waktu sekitar 60 menit. Sementara waktu berbuka pukul 18:00 WIB lewat sekian, jadi kami hanya punya waktu sekitar 60-75 menit untuk berburu makanan berbuka. Mana cukup?

Gong gong, kepiting, sotong yang dikemas dalam styrofoam. | Dokumentasi Pribadi
Gong gong, kepiting, sotong yang dikemas dalam styrofoam. | Dokumentasi Pribadi
Sejak tinggal di Batam, definisi saya untuk jarak dekat dan jauh memang sedikit bergeser. Satu lokasi dengan lokasi lain yang begitu dekat di Kota Batam, membuat kami warga Batam sedikit manja. Beda kecamatan saja bisa dibilang, ih jauhnya, padahal dapat ditempuh kurang dari 30 menit dengan kendaraan yang berkecepatan sedang.

Namun karena penasaran kami memaksakan diri juga berangkat. Ramadhan tanpa berkunjung ke pasar tersebut rasanya kurang afdol. Meskipun setelah sampai di sana suka kebingungan sendiri mau membeli apa. Ujung-ujungnya menenteng jenis jajanan atau masakan itu lagi, itu lagi, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Ada penjual kurma juga. | Dokumentasi Pribadi
Ada penjual kurma juga. | Dokumentasi Pribadi
Kami memang selalu memaksakan diri berkunjung ke pasar tersebut pada awal Ramadhan. Sebab, Pasar Ramadhan Tanjung Uma biasanya ramai pada awal Ramadhan hingga pertengahan. Setelah hari ke-20 Ramadhan biasanya lebih sepi, baik penjual maupun pembeli. Mungkin pembeli sudah mulai banyak yang pulang kampung, sementara penjual sibuk menyiapkan penganan untuk hari raya. Entahlah!

Selalu ramai pengunjung
Pasar Ramadhan Tanjung Uma berada di sekitar pemukiman penduduk. Dari jalan raya seberang DC Mall, kita belok kiri mengambil jalan ke arah Kampung Tua Tanjung Uma, setelah itu lurus saja mengikuti jalan besar hingga menemukan lapangan. Beberapa tahun lalu masih terlihat seperti lapangan, tapi beberapa waktu terakhir ini lebih mirip tanah lapang yang cukup luas.

Laksa, kue bingka, hingga epok-epok. | Dokuemntasi Pribadi
Laksa, kue bingka, hingga epok-epok. | Dokuemntasi Pribadi
Saya dan suami memilih memarkirkan kendaraan di sekitar lapangan tersebut, meski lokasi pasar masih lumayan jauh, sekitar 300 meter lagi ke arah kiri dari lapangan. Kami memilih melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Bukan, apa-apa nanti bila parkir di dekat pasar tidak bisa pulang cepat karena pengunjung yang lumayan padat. FYI, jalan aspalnya kecil, hanya cukup untuk satu kendaraan roda empat.

Meski demikian ada beberapa kendaraan roda empat yang memaksakan diri parkir di sekitar pasar (kalau kendaraan roda dua memang disediakan parkir di sekitar pasar itu), alhasil pengunjung yang sudah jubel-jubelan, semakin berjubel karena ada mobil yang memaksakan diri mau lewat. Mungkin ada baiknya ke depan, ada batasan dimana mobil boleh parkir, jangan memaksakan parkir sampai mepet ke pasar, kecuali memang penduduk di wilayah tersebut.

Meski pengunjung sangat padat, saya sangat menikmati pelesiran di pasar tersebut. Senang rasanya menimbang-nimbang memilih makanan mana yang akan di beli. Apakah membeli ikan, sotong, gong gong, udang, atau ikan pari? Apakah membeli yang dibakar, yang dikukus, atau malah yang masih mentah sekalian? Apalagi harga yang ditawarkan juga cukup "miring".

Ada juga penjual masakan rumahan. | Dokumentasi Pribadi
Ada juga penjual masakan rumahan. | Dokumentasi Pribadi
Begitu pula dengan jajanan, apakah mau membeli yang kekiknian seperti es kepal, yang alami seperti es tebu, atau es khas Melayu seperti es Laksamana Mengamuk. Saya sendiri lebih memilih membeli kue-kue khas Melayu seperti putu piring, bingka, dan laksa. Alasannya jarang menemukan kue-kue tersebut di luar Ramadhan.

Menurut penjual putu piring yang saya ajak berbincang, tidak semua penjual di pasar Ramadhan Tanjung Uma adalah pedagang di kehidupan sehari-hari. Banyak juga yang hanya jadi penjual dadakan di kala Ramadhan, termasuk dirinya. Umumnya para penjual tersebut adalah ibu rumah tangga, nelayan, hingga beberapa profesi lain.

Selain itu ia mengatakan, beberapa makanan khas Melayu biasanya memang hanya dijual saat Ramadhan, atau saat ada pesanan khusus. Alasannya karena membuatnya sedikit ribet. Putu piring misalkan, harus dibuat dari tepung beras yang sebelumnya direndam hampir seharian, sekitar 5 jam, setelah itu diayak dibuat tepung, diberi gula, garam, parutan kelapa, dan lainnya.

Putu piring. | Dokumentasi Pribadi
Putu piring. | Dokumentasi Pribadi
Setelah adonan tepung jadi pun harus dikukus tipis-tipis. Penjual putu piring di Pasar Ramadhan Tanjung Uma menggunakan tutup gelas untuk mencetak dan menutup kue tersebut di atas kukusan yang diberi lapisan kain yang bolong-bolong kecil seperti saringan atau untuk mengukus nasi.

Mungkin itu makanya ya, jajanan-jajanan khas Melayu selalu habis sebelum jam menunjukan pukul 17.00 WIB. Bahkan saat saya mengantre untuk mendapatkan beberapa bungkus putu piring, ada ibu-ibu yang mengeluh dengan sedih. Pasalnya ia sengaja berangkat dari daerah sekitar Bandar Udara Hang Nadim ke Tanjung Uma hanya untuk membeli putu piring, sampai di sana ternyata sudah habis. Kalaupun masih ada sudah menjadi milik orang lain dan tinggal di kukus.

Jangan terkecoh, Pasar Ramadhan Tanjung Uma ada di permukiman penduduk
Beberapa kilo meter sebelum Pasar Ramadhan Tanjung Uma ada banyak penjual makanan untuk berbuka di sepanjang jalan. Bila baru pertama kali datang, bisa terkecoh menyangka itu adalah Pasar Ramadhan Tanjung Uma, padahal bukan. Umumnya penjual di lokasi tersebut menjual masakan rumahan dan kue-kue.

Ibu penjual putu piring. Lima kilo adonan habis dalam waktu kurang dari tiga jam. | Dokumentasi Pribadi
Ibu penjual putu piring. Lima kilo adonan habis dalam waktu kurang dari tiga jam. | Dokumentasi Pribadi
Begitu juga saat sampai di lapangan, ada tenda-tenda yang berderet rapi yang menjual beragam penganan, termasuk ikan bakar. Bila tidak melihat gerombolan orang yang belok ke arah kiri, saya sempat menyangka, jangan-jangan Pasar Ramadhan Tanjung Uma seudah pindah ke lapangan tersebut.

Namun ternyata tidak, Pasar Ramadhan Tanjung Uma tetap berada di lokasi biasa yang sudah mereka rintis sejak tahun 1990-an. Bazar di sekitar lapangan merupakan penjual tambahan yang sepertinya disponsori oleh salah satu (calon) anggota DPD RI. Entah betul atau tidak. Saya hanya melihat nama dan foto si bapak calon tercetak di tenda-tenda yang berderet rapi tersebut.

Bazar di lapangan sebelum lokasi Pasar Ramadan Tanjung Uma. | Dokumentasi Pribadi
Bazar di lapangan sebelum lokasi Pasar Ramadan Tanjung Uma. | Dokumentasi Pribadi
Saya tidak sempat berbelanja di bazar tersebut, hanya melihat sepintas. Namun bila waktu yang dimiliki cukup singkat, namun ingin menikmati aneka seafood segar tangkapan nelayan yang diolah penduduk sekitar Tanjung Uma, bisa juga membeli di tenda tersebut. Sepertinya sama saja. Hal yang jadi pembeda hanya suasana dan pilihan jajanan.

Bila di Pasar Ramadhan Tanjung Uma suasananya memang sangat ramai, kampung yang berubah jadi pasar, makanan dan jajanan yang ditawarkan juga luar biasa beragam, namun di tenda-tenda sekitar lapangan jenisnya sedikit terbatas. Mungkin karena penjualnya juga lebih sedikit.

Namun saya sempat membeli cendol di sekitar lapangan, pertamanya saya merasa rasa cendol mah sama aja di mana pun kita beli, namun ternyata tidak, cendol yang dibuat ibu-ibu itu lebih segar. Selain itu, meski saya simpan di lemari es lebih dari 24 jam --karena membeli terlalu banyak, rasanya tidak berubah, juga tidak basi. Padahal saat saya membeli cendol di tempat lain, atau es buah, disimpan dari waktu berbuka ke waktu sahur saja sudah tidak lagi layak konsumsi karena basi, padahal sama-sama disimpan di lemari es.

Saya dan es cendol yang endess. Abaikan muka anak saya yang cemberut karena kelamaan jalan kaki hehe. | Dokumentasi Pribadi
Saya dan es cendol yang endess. Abaikan muka anak saya yang cemberut karena kelamaan jalan kaki hehe. | Dokumentasi Pribadi
Anw, kalau mau pergi ke Pasar Ramadhan Tanjung Uma harus memperhitungkan waktu. Bila perlu pergi sejak pasar buka, yakni pukul 14:00 WIB. Bila mepet ke waktu berbuka, selain lebih penuh sesak pengunjung, juga tidak puas berkeliling. Ujung-ujungnya seperti saya dan suami.

Akhirnya karena tidak keburu berbuka puasa di rumah, kami berbuka puasa di salah satu gerai makan di DC Mall. Makanan dan jajanan yang dibeli di pasar tersebut, sebagian di makan saat buka, sebagian saat sahur, sebagian lagi saat berbuka puasa esok harinya. Efek penasaran ingin mengelilingi semua penjual. Maklum ibu-ibu hehe.

Kalau teman-teman Kompasianer sendiri, pasar Ramadhan mana yang paling favorit? Berbagi cerita yuk di kolom komentar. Salam Kompasiana! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun