Entah karena hari kerja, atau waktu yang masih terlalu dini, selain kami berlima tidak terlihat ada pengunjung lain. Baru setelah kami menaiki beberapa anak tangga, muncul beberapa pengunjung Kaukasia. Kami memang sedikit lambat menaiki tangga-tangga tersebut karena menunggu teman yang lumayan kepayahan meniti deretan tangga tersebut.
Setiap kali melangkahkan kaki ke tangga yang lebih tinggi, ia seperti kehabisan napas. Alhasil setiap melewati beberapa tangga, kami beristirahat menemani rekan tersebut sambil mengumpulkan tenaga. Tangga yang harus dinaiki memang lumayan banyak dan tinggi, apalagi postur teman saya juga lumayan besar, saat itu beratnya hampir 100 kilogram.
Teman saya itu nyaris menyerah untuk duduk ditangga saja --tidak ikut kami menuju puncak untuk melihat sunrise. Beruntung saat teman tersebut patah semangat, hanya tinggal tersisa sekitar tujuh tangga. Akhirnya dengan sisa tenaga, teman kami tersebut berhasil juga menuju puncak, dengan kondisi yang memperihatinkan. Selain mukanya pucat, ia juga sepertinya sudah tidak sanggup lagi berjalan. Beruntung disana ada bangunan yang bisa dimanfaatkan untuk berbaring.
Saat teman saya sedikit pulih usai beristirahat dan meminum teh manis tersebut, saya kembali mendatangi penjual sambil mengembalikan gelas kaca. Namun penjual tersebut lagi-lagi hanya mengambil gelas kaca dan mengatakan bayar teh manisnya nanti saja saat pembeli sudah tidak lagi ramai.
Melihat gelagat penjual minuman tersebut saya sempat bingung. Namun belakangan saya mengerti. Penjual minuman tersebut mengatakan harga minuman yang dijual kepada wisatawan lokal dan wisatawan asing memang berbeda. Harga yang dibebankan kepada wisatawan asing dua kali lipat.
Meski sepanjang jalan jarang berpapasan dengan pengunjung lain, saat sampai di puncak Penanjakan ternyata sudah banyak wisatawan yang berkumpul. Selain dari negara-negara Eropa dan Australia juga tak sedikit yang datang dari Jepang, Cina dan Korea Selatan. Mereka bahkan ada yang sudah naik ke atas atap bangunan yang dijadikan tempat beristirahat teman saya.
Saat menunggu matahari yang belum juga muncul. Saya sempat menyesal ikut trip tersebut. Saya berpikir apa enaknya mendaki deretan tangga. Apalagi suasana di puncak Penanjakan 2 juga biasa saja. Saya malah sempat tersiksa karena menahan (maaf) pipis. Meski belakangan -- walaupun sedikit malu, saya meminta teman saya untuk menghalangi saya yang akhirnya buang air kecil di salah satu pojok bangunan. Habis, dicari kesana kemari tidak menemukan toilet umum.