Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Serunya Berwisata ke Negeri di Atas Awan

9 Oktober 2017   16:48 Diperbarui: 10 Oktober 2017   08:10 2168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung saat menunggu sunrise, sampai naik ke gedung dan ke bukit yang ada di puncak mentigen. | Dokumentasi Pribadi

Pemandangan di Bukit Teletubbies. | Dokumentasi Pribadi
Pemandangan di Bukit Teletubbies. | Dokumentasi Pribadi
Siapkan Stamina untuk Meniti Puluhan Anak Tangga

Entah karena hari kerja, atau waktu yang masih terlalu dini, selain kami berlima tidak terlihat ada pengunjung lain. Baru setelah kami menaiki beberapa anak tangga, muncul beberapa pengunjung Kaukasia. Kami memang sedikit lambat menaiki tangga-tangga tersebut karena menunggu teman yang lumayan kepayahan meniti deretan tangga tersebut.

Setiap kali melangkahkan kaki ke tangga yang lebih tinggi, ia seperti kehabisan napas. Alhasil setiap melewati beberapa tangga, kami beristirahat menemani rekan tersebut sambil mengumpulkan tenaga. Tangga yang harus dinaiki memang lumayan banyak dan tinggi, apalagi postur teman saya juga lumayan besar, saat itu beratnya hampir 100 kilogram.

Teman saya itu nyaris menyerah untuk duduk ditangga saja --tidak ikut kami menuju puncak untuk melihat sunrise. Beruntung saat teman tersebut patah semangat, hanya tinggal tersisa sekitar tujuh tangga. Akhirnya dengan sisa tenaga, teman kami tersebut berhasil juga menuju puncak, dengan kondisi yang memperihatinkan. Selain mukanya pucat, ia juga sepertinya sudah tidak sanggup lagi berjalan. Beruntung disana ada bangunan yang bisa dimanfaatkan untuk berbaring.

Bernarsis ria di Bukit Teletubbies. | Dokumentasi Pribadi
Bernarsis ria di Bukit Teletubbies. | Dokumentasi Pribadi
Untuk memulihkan kondisi teman tersebut, bergegas saya menuju penjual minuman hangat. Saat itu saya memesan teh manis hangat. Saat saya menanyakan berapa harga teh tersebut per gelas, penjual itu menolak untuk memberitahu. Ia hanya menyodorkan segelas teh manis hangat sambil mengatakan bayarnya nanti saja.

Saat teman saya sedikit pulih usai beristirahat dan meminum teh manis tersebut, saya kembali mendatangi penjual sambil mengembalikan gelas kaca. Namun penjual tersebut lagi-lagi hanya mengambil gelas kaca dan mengatakan bayar teh manisnya nanti saja saat pembeli sudah tidak lagi ramai.

Melihat gelagat penjual minuman tersebut saya sempat bingung. Namun belakangan saya mengerti. Penjual minuman tersebut mengatakan harga minuman yang dijual kepada wisatawan lokal dan wisatawan asing memang berbeda. Harga yang dibebankan kepada wisatawan asing dua kali lipat.

Selain menggunakan kuda, banyak yang naik motor juga. | Dokumentasi Pribadi
Selain menggunakan kuda, banyak yang naik motor juga. | Dokumentasi Pribadi
Pedagang tersebut mengatakan, bila saat itu ia mengatakan berapa harga yang harus saya bayar untuk segelas teh manis hangat, ia tidak enak kepada wisatawan asing tersebut. Apalagi sebagian dari wisatawan asing ada yang sudah mengerti dengan nominal uang Indonesia. Bahkan sebagian ada yang mengerti Bahasa Indonesia -- meski tidak begitu lancar.

Meski sepanjang jalan jarang berpapasan dengan pengunjung lain, saat sampai di puncak Penanjakan ternyata sudah banyak wisatawan yang berkumpul. Selain dari negara-negara Eropa dan Australia juga tak sedikit yang datang dari Jepang, Cina dan Korea Selatan. Mereka bahkan ada yang sudah naik ke atas atap bangunan yang dijadikan tempat beristirahat teman saya.

Berasa sedang berada di negeri di atas awan. | Dokumentasi Pribadi
Berasa sedang berada di negeri di atas awan. | Dokumentasi Pribadi
Terasa Seperti Negeri di Atas Awan

Saat menunggu matahari yang belum juga muncul. Saya sempat menyesal ikut trip tersebut. Saya berpikir apa enaknya mendaki deretan tangga. Apalagi suasana di puncak Penanjakan 2 juga biasa saja. Saya malah sempat tersiksa karena menahan (maaf) pipis. Meski belakangan -- walaupun sedikit malu, saya meminta teman saya untuk menghalangi saya yang akhirnya buang air kecil di salah satu pojok bangunan. Habis, dicari kesana kemari tidak menemukan toilet umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun