Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Serunya Berwisata ke Negeri di Atas Awan

9 Oktober 2017   16:48 Diperbarui: 10 Oktober 2017   08:10 2168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan di Bromo yang menakjubkan. | Dokumentasi Pribadi

Hari masih gulita saat kami bersiap untuk menjelajah Objek Wisata Gunung Bromo, gunung yang membentang di empat kabupaten -- Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang, Jawa Timur. Jam masih menunjukan pukul 01:00 WIB. Waktu yang sebenarnya lebih nyaman untuk tertidur lelap sambil bermimpi indah.

Namun karena sudah diwanti-wanti dari satu hari sebelumnya oleh si pemilik jeep yang kami sewa, akhirnya meski dengan kepala yang sedikit pening akibat kurang tidur, saya dan empat rekan dari Batam, Kepulauan Riau, tetap siap tepat waktu. Kami turun persis saat si pemandu tiba di depan Best Western OJ Hotel Malang, tempat kami menginap.

Pemandangan di Bromo yang menakjubkan. | Dokumentasi Pribadi
Pemandangan di Bromo yang menakjubkan. | Dokumentasi Pribadi
Sejak awal dihubungi, pemilik jeep yang merangkap sebagai pemandu tersebut memang sudah mewanti-wanti agar kami berangkat tepat waktu. Tujuannya agar dapat menikmati sunrise di kawasan wisata tersebut melalui Puncak Mentigen. Bila terlambat sedikit saja, katanya bisa jadi kami akan kehilangan momen untuk melihat salah satu pemandangan  matahari terbit yang paling indah.

Saya sebenarnya bukan pemburu sunrise, apalagi pecinta gunung. Kalaupun hanya rezeki melihat objek-objek wisata lain di Gunung Bromo, tidak masalah. Namun tidak keempat rekan yang lain, apalagi salah satunya adalah si pendaki sejati saat masih remaja dulu. Sehingga, melihat sunrise di atas gunung --terlebih dari kawasan Gunung Bromo, adalah segalanya.

Alhasil karena jadwal keberangkatan yang begitu dini, baru lima menit memulai perjalanan dengan menggunakan jeep berwarna merah, saya sudah terlelap. Saya bahkan tidak menyadari kala salah satu rekan mengambil video saat saya tertidur. Alhasil rekaman tersebut menjadi bulan-bulan selama beberapa hari.

Pemandangan di Bromo yang menakjubkan. | Dokumentasi Pribadi
Pemandangan di Bromo yang menakjubkan. | Dokumentasi Pribadi
Saya baru terjaga saat kami sampai di pintu masuk Objek Wisata Gunung Bromo, itupun karena dibangunkan. Setelah semua terjaga, pemilik jeep meminta kami turun. Ia juga menyarankan agar kami membeli kupluk dan sarung tangan yang dijual beberapa pedagang dengan harga yang sangat terjangkau --yakni Rp10.000/buah. Kebetulan saat itu tidak ada satupun dari kami yang membawa topi maupun sarung tangan. Kami hanya menyiapkan diri dengan mengenakan pakaian tebal dan sepatu nyaman.

Selain diimbau membeli topi, pemilik jeep tersebut juga menyarankan agar kami mampir (maaf) ke toilet. Ia mengatakan, udara yang dingin bukan tidak mungkin memicu kami tidak bisa menahan pipis. Sementara jarak dari gerbang ke tempat yang kami tuju masih lumayan jauh.

Setelah menyelesaikan semua keperluan --termasuk mampir ke salah satu kedai untuk mencicip segelas kopi hangat yang dijajakan warga sekitar, kami kembali melanjutkan perjalanan. Pemandangan kiri-kanan yang gelap pekat membuat saya memutuskan untuk kembali tidur. Saya pikir lebih baik saya istirahat dengan memejamkan mata agar setelah sampai saya memiliki banyak energi untuk berkeliling kawasan wisata tersebut.

Ada tenda juga. | Dokumentasi Pribadi
Ada tenda juga. | Dokumentasi Pribadi
Saat sudah hampir sampai di Penanjakan, saya dan beberapa teman yang tertidur dibangunkan. Ternyata untuk sampai ke tangga puncak kami harus berjalan kaki atau menaiki kuda sekitar 500 meter. Jeep yang kami sewa katanya tidak bisa mengantar hingga ke titik tersebut.

Awalnya kami berlima kukuh akan berjalan kaki. Namun setelah beberapa langkah berjalan, kami menyerah. Jalan berbatu dengan suasana yang gelap pekat membuat kami kesulitan melangkah. Akhirnya kami memutuskan untuk naik kuda. Kebetulan ada lima kuda yang sejak awal mengikuti kami. Kuda tersebut kami sewa Rp75 ribu per ekor.

Kami sempat berpikir kuda-kuda tersebut akan mengantar kami hingga Puncak Mentigen, namun ternyata hanya mengantar hingga kaki Penanjakan. Alhasil untuk mengumpulkan tenaga menaiki satu persatu tangga yang jumlahnya lumayan banyak, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah saung yang dibangun seadanya. Apalagi saat itu waktu juga masih menunjukan pukul 03:30 WIB.

Pemandangan di Bukit Teletubbies. | Dokumentasi Pribadi
Pemandangan di Bukit Teletubbies. | Dokumentasi Pribadi
Siapkan Stamina untuk Meniti Puluhan Anak Tangga

Entah karena hari kerja, atau waktu yang masih terlalu dini, selain kami berlima tidak terlihat ada pengunjung lain. Baru setelah kami menaiki beberapa anak tangga, muncul beberapa pengunjung Kaukasia. Kami memang sedikit lambat menaiki tangga-tangga tersebut karena menunggu teman yang lumayan kepayahan meniti deretan tangga tersebut.

Setiap kali melangkahkan kaki ke tangga yang lebih tinggi, ia seperti kehabisan napas. Alhasil setiap melewati beberapa tangga, kami beristirahat menemani rekan tersebut sambil mengumpulkan tenaga. Tangga yang harus dinaiki memang lumayan banyak dan tinggi, apalagi postur teman saya juga lumayan besar, saat itu beratnya hampir 100 kilogram.

Teman saya itu nyaris menyerah untuk duduk ditangga saja --tidak ikut kami menuju puncak untuk melihat sunrise. Beruntung saat teman tersebut patah semangat, hanya tinggal tersisa sekitar tujuh tangga. Akhirnya dengan sisa tenaga, teman kami tersebut berhasil juga menuju puncak, dengan kondisi yang memperihatinkan. Selain mukanya pucat, ia juga sepertinya sudah tidak sanggup lagi berjalan. Beruntung disana ada bangunan yang bisa dimanfaatkan untuk berbaring.

Bernarsis ria di Bukit Teletubbies. | Dokumentasi Pribadi
Bernarsis ria di Bukit Teletubbies. | Dokumentasi Pribadi
Untuk memulihkan kondisi teman tersebut, bergegas saya menuju penjual minuman hangat. Saat itu saya memesan teh manis hangat. Saat saya menanyakan berapa harga teh tersebut per gelas, penjual itu menolak untuk memberitahu. Ia hanya menyodorkan segelas teh manis hangat sambil mengatakan bayarnya nanti saja.

Saat teman saya sedikit pulih usai beristirahat dan meminum teh manis tersebut, saya kembali mendatangi penjual sambil mengembalikan gelas kaca. Namun penjual tersebut lagi-lagi hanya mengambil gelas kaca dan mengatakan bayar teh manisnya nanti saja saat pembeli sudah tidak lagi ramai.

Melihat gelagat penjual minuman tersebut saya sempat bingung. Namun belakangan saya mengerti. Penjual minuman tersebut mengatakan harga minuman yang dijual kepada wisatawan lokal dan wisatawan asing memang berbeda. Harga yang dibebankan kepada wisatawan asing dua kali lipat.

Selain menggunakan kuda, banyak yang naik motor juga. | Dokumentasi Pribadi
Selain menggunakan kuda, banyak yang naik motor juga. | Dokumentasi Pribadi
Pedagang tersebut mengatakan, bila saat itu ia mengatakan berapa harga yang harus saya bayar untuk segelas teh manis hangat, ia tidak enak kepada wisatawan asing tersebut. Apalagi sebagian dari wisatawan asing ada yang sudah mengerti dengan nominal uang Indonesia. Bahkan sebagian ada yang mengerti Bahasa Indonesia -- meski tidak begitu lancar.

Meski sepanjang jalan jarang berpapasan dengan pengunjung lain, saat sampai di puncak Penanjakan ternyata sudah banyak wisatawan yang berkumpul. Selain dari negara-negara Eropa dan Australia juga tak sedikit yang datang dari Jepang, Cina dan Korea Selatan. Mereka bahkan ada yang sudah naik ke atas atap bangunan yang dijadikan tempat beristirahat teman saya.

Berasa sedang berada di negeri di atas awan. | Dokumentasi Pribadi
Berasa sedang berada di negeri di atas awan. | Dokumentasi Pribadi
Terasa Seperti Negeri di Atas Awan

Saat menunggu matahari yang belum juga muncul. Saya sempat menyesal ikut trip tersebut. Saya berpikir apa enaknya mendaki deretan tangga. Apalagi suasana di puncak Penanjakan 2 juga biasa saja. Saya malah sempat tersiksa karena menahan (maaf) pipis. Meski belakangan -- walaupun sedikit malu, saya meminta teman saya untuk menghalangi saya yang akhirnya buang air kecil di salah satu pojok bangunan. Habis, dicari kesana kemari tidak menemukan toilet umum.

Pengunjung saat menunggu sunrise, sampai naik ke gedung dan ke bukit yang ada di puncak mentigen. | Dokumentasi Pribadi
Pengunjung saat menunggu sunrise, sampai naik ke gedung dan ke bukit yang ada di puncak mentigen. | Dokumentasi Pribadi
Namun setelah fajar mulai menyingsing, saya baru menemukan alasan mengapa para pengunjung mau bersusah payah meniti puluhan tangga agar bisa sampai ke Puncak Mentigen. Seumur-umur --saya memang tidak pernah naik gunung, saya baru melihat sunriseterindah. Cahaya merah yang berbaur dengan pekatnya langit menampilkan sensasi tersendiri. Apalagi saat mentari perlahan muncul,  indahnya sulit dlukiskan.

Sayang hasil foto saat menjelang sunrise tak seindah pemandangan aslinya. | Dokumentasi Pribadi
Sayang hasil foto saat menjelang sunrise tak seindah pemandangan aslinya. | Dokumentasi Pribadi
Kekaguman saya semakin menjadi saat melihat Gunung Bromo, Gunung Semeru, dan Gunung Batok yang teertutup awan. Ketiga gunung tersebut hanya terlihat puncaknya saja. Saat berada diatas bukit, saya merasa sedang berada di atas awan, di negeri yang sekelilingnya hanya berisi gumpalan putih memikat.

Alhasil, bila awalnya sempat menyesali diri bergabung untuk berkunjung ke obyek wisata tersebut, belakangan saya malah bersyukur bisa berkunjung ke salah satu kawasan wisata di Indonesia yang menawan. Kapan-kapan saya malah ingin kembali berkunjung ke kawasan wisata tersebut.

Pakai baju tebal, saat belum dipuncak saja sudah dingin. | Dokumentasi Pribadi
Pakai baju tebal, saat belum dipuncak saja sudah dingin. | Dokumentasi Pribadi
Pakai Sepatu Tertutup dan Baju Tebal Berlipat

Selain melihat sunrise, seharian itu kami juga berkeliling ke Kawah Gunung Bromo, Pasir Berbisik dan Bukit Teletubbies. Saat kami berkunjung, kebetulan sedang musim kemarau sehingga udara sedikit berdebu. Pasir yang terpijak oleh pengunjung, lebih mudah berterbangan.

Oleh karena itu ada baiknya mengenakan sepatu nyaman tertutup sehingga pasir-pasir halus tidak masuk kedalam sepatu. Selain itu, berkunjung ke obyek wisata tersebut disarankan jangan mengenakan sepatu kesayangan. Bukan apa-apa, debu-debu pasir membuat sepatu yang kita kenakan tidak akan lagi terlihat sama -- tidak kinclong lagi aka jadi bluwek.

Penjual oleh-oleh. | Dokumentasi Pribadi
Penjual oleh-oleh. | Dokumentasi Pribadi
Saat berkunjung ke Kawasan Wisata Gunung Bromo, pengunjung juga wajib mengenakan baju tebal. Saya saja yang sudah mengenakan dua lapis baju dan berkunjung saat musim kemarau masih terasa kedinginan. Saya sempat menyesal mengapa tidak membawa satu lagi jaket untuk menghangatkan badan. Apalagi rasa dingin tersebut awet hingga hari menjelang siang.

Rasa dingin sempat hilang saat kami mendaki ke puncak mentigen. Setelah itu, kembali menyusup, bahkan rasanya hingga ke tulang. Sedikit berlebihan mungkin, tapi rasanya memang seperti itu. Mungkin karena saya tidak lagi terbiasa dingin, karena beberapa tahun terakhir menetap di Batam yang udaranya jauh dari dingin.

Meski demikian, Bromo memang indah. Rasa letih, lelah, dan dingin saat menjelajah objek wisata tersebut terbayar dengan panoramanya yang luar biasa. Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun