Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cerpen: Kopi Gayo dan Balqis

21 Agustus 2016   14:05 Diperbarui: 21 Agustus 2016   14:43 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu Balqis masih berkutat dalam kemacetan. Sejak satu jam lalu, mobil yang ia kendarai belum juga melaju sejengkal pun. Kendaraan berwarna merah bata itu masih diam ditempat. Mobil tersebut masih terimpit deretan kendaraan roda empat lain yang sedang menunggu giliran untuk segera keluar dari Jalan Jenderal Sudirman.

Suara klakson mulai terdengar bersahutan. Beberapa supir bimbar – angkutan umum khas Kota Batam, Kepulauan Riau – membunyikan klakson berulang-ulang. Mereka sepertinya sudah mulai tak sabar mengantre. Balqis sempat terpancing untuk ikut membunyikan klakson, namun niat tersebut urung saat melihat sebotol body lotion beraroma kopi yang sengaja ia letakan disamping kemudi.

Perempuan berambut sebahu tersebut meraih botol body lotion. Ia kemudian menuangkan sejengkal body lotion tersebut ke telapak tangannya. Setelah cairan tersebut terbalur rata, ia menghirup aromanya dalam-dalam. Bau kopi yang menguar membuat emosinya sedikit menurun. Rasa kesal karena macet akibat hujan sedikit berkurang.

Sejak sering bepergian dengan menggunakan roda empat, Balqis memang rajin menyisipkan sebotol body lotionaroma kopi yang ia buat di dalam mobil. Berdasarkan beberapa artikel yang ia baca melalui internet, kopi mampu menurunkan stress. Oleh karena itu, sejak beberapa bulan lalu, ia sengaja membuat body lotion rumahan yang beraroma kopi.

Body lotion beraroma kopi tersebut semakin mengukuhkan dirinya sebagai seorang pengusaha kopi. Cut Balqis Al Fidli semakin terkenal sebagai seorang pengusaha rumahan yang menjual beragam produk terkait kopi. Tak hanya kopi kemasan, ia juga menjual cake, roti, hingga lulur beraroma kopi.

“Maaf saya terlambat, Mbak, tapi sebentar lagi sampai kok,” ungkap Balqis kepada seseorang disebrang sana melalui sambungan telepon. “Padahal tadi saya sudah berangkat lebih cepat,” tambahnya.

Balqis tidak berbohong. Gedung tinggi menjulang di Kawasan Sukajadi tersebut hanya berjarak sekitar 300 meter lagi. Gedung itu sudah terlihat sangat jelas, namun macet yang mengular akibat hujan deras membuat Balqis hanya bisa menghirup body lotion aroma kopi itu lebih dalam.

***

“Mbak Balqis ya?” sapa wanita itu. “Silakan masuk, Mbak, kami sudah menunggu kopi dan kuenya. Oh ya, saya Winda dan ini Bapak Abin, atasan saya. Beliau yang merekomendasikan B & B Cofee untuk acara ulang tahun kantor kami.”

Balqis sedikit tertegun saat menatap atasan Winda. Abin… apakah itu Bintoro Abadi……

“Hallo Balqis, lama tak berjumpa sekarang sudah menjadi pengusaha sukses,” ucap Abin sambil mengulurkan tangan.

“Hai….” Ucap Balqis sedikit gelagapan.

Abin masih seperti dulu. Ia masih terlihat menarik dan tampan.

“Akhirnya aku menemukanmu, Balqis. Tak menyangka kamu merintis usaha kuliner, di Kota Batam lagi,” ujarnya.

“Maaf Pak Abin, Mbak Winda, saya buru-buru. Saya harus mengantar pesanan ke tempat lain. Terimakasih sudah memesan cake dan kopi kami,” ucap Balqis.

***

Balqis menyesap Kopi Gayo yang sudah mulai mendingin. Meski rasanya sudah tak senikmat saat hangat, rasa gurih dari kopi tersebut masih tersisa. Kopi Gayo memang berbeda dengan kopi lain. Rasa kopi tersebut manis, tidak ada rasa pahit yang tersisa di lidah usai kita meneguk cairan itu.

Awalnya Balqis enggan meminum kopi favoritnya itu. Ia hanya ingin menghirup aromanya untuk sedikit meringankan rasa berat di kepalanya. Oleh karena itu ia sempat membiarkan kopi itu hingga 45 menit. Namun mengingat harga Kopi Gayo yang lumayan mahal, ia akhirnya memutuskan untuk menyesap cairan hitam tersebut.

“Migren Mbak Balqis kambuh lagi?”

Haya salah satu staf di café yang dikelola Balqis mendekatinya dengan khawatir.

“Perlu Haya ambilkan obat, Mbak?” tanya Haya yang masih memiliki pertalian kerabat dengan Balqis.

Balqis menggelang. Ia tidak membutuhkan obat pusing ataupun migren. Ia hanya membutuhkan obat untuk melupakan beberapa kejadian yang terjadi dalam hidupnya tiga tahun ke belakang.

“Saya baik-baik saja. Tolong biarkan saya sendiri,” Balqis mengusir Haya dengan halus. Saat itu ia hanya ingin duduk-duduk di ruang tamu rumahnya dengan santai.

“Mbak, ada yang mencari Mbak diluar. Mas Abin,” ucap Haya. “Ia menunggu di café. Katanya ada yang mau dibicarakan. Kok, dia bisa ada di Batam ya, Mbak?”

“Dia kerja di Batam. Saya tidak mau ketemu dia. Tolong bilang saya sedang keluar.”

***

Bintoro Abadi…

Terkadang Balqis bertanya pada dirinya sendiri mengapa ia susah melupakan nama itu. Mengapa ia kesulitan menghapus nama itu dalam ingatannya. Apakah karena nama itu sudah terlanjur tercetak di undangan merah jambu yang sudah terlanjur tersebar di senatero Banda Aceh? Entahlah.

Namun saat semua pernak-pernik pesta pernikahan siap dan tiba-tiba Abin menghilang karena tuntutan pekerjaan ia rasanya ingin bunuh diri. Ia malu. Abin ternyata lebih memilih karir dibanding melangsungkan pesta pernikahan dengannya.

Ia lebih memilih untuk membentangkan karir ke Manila, Filipina, dibanding menjadi pengantin dan bersanding dengannya. Padahal pesta pernikahan sudah di depan mata. Parahnya, Abin pergi tanpa penjelasan apapun. Ia sepertinya takut tekanan dari keluarga Balqis akan menyurutkan langkahnya meraih jabatan yang lebih tinggi.

Saat itu Abin hanya meninggalkan sepucuk surat yang ia kirim melalui e-mail. Tidak ada penjelasan langsung, apalagi permohonan maaf yang diucapkan kepada keluarga besar Balqis. Abin pergi begitu saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Rasa malu yang mendera, membuat Balqis sempat ingin bunuh diri. Kalau saja saat itu tidak ada Mulkan, sahabat karibnya sejak ia berusia lima tahun, mungkin saat ini ia hanya tinggal nama.

***

“Saya memaafkanmu,” kata Balqis lirih saat akhirnya bertemu kembali dengan Abin.

“Apakah masih ada kesempatan kedua?” tanya Abin.

“Pecinta kopi tidak pernah meminum kopi pada cangkir dan waktu yang sama untuk kedua kalinya.”

“Maafkan saya Balqis. Saya sangat merasa bersalah. Oleh karena itu saya terus mencarimu, hingga akhirnya menemukan tokomu melalui salah satu aplikasi online. Saya juga sengaja mengajukan diri untuk ditugaskan ke Batam agar bisa kembali bertemu denganmu.”

“Saya memaafkanmu. Saya juga berterimakasih karena kamu sudah menempatkan saya pada situasi sulit. Sehingga akhirnya saya malah bisa mengoptimalkan potensi saya. Sebagai bentuk terimakasih, itu makanya saya menamakan café saya B & B Café, Balqis dan Bintoro Café.”

“Benarkah tidak ada kesempatan kedua?” ulang Abin.

Balqis menggelang. “Saya sudah menikah dengan Mulkan,” ujar Balqis sambil menunjukan cincin yang melingkar di jari tengahnya. (*)

Blog ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi menulis Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarkana oleh Giordano dan Nulisbuku.com.

Sudah dipublikasikan di blog saya pribadi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun