“Saya baik-baik saja. Tolong biarkan saya sendiri,” Balqis mengusir Haya dengan halus. Saat itu ia hanya ingin duduk-duduk di ruang tamu rumahnya dengan santai.
“Mbak, ada yang mencari Mbak diluar. Mas Abin,” ucap Haya. “Ia menunggu di café. Katanya ada yang mau dibicarakan. Kok, dia bisa ada di Batam ya, Mbak?”
“Dia kerja di Batam. Saya tidak mau ketemu dia. Tolong bilang saya sedang keluar.”
***
Bintoro Abadi…
Terkadang Balqis bertanya pada dirinya sendiri mengapa ia susah melupakan nama itu. Mengapa ia kesulitan menghapus nama itu dalam ingatannya. Apakah karena nama itu sudah terlanjur tercetak di undangan merah jambu yang sudah terlanjur tersebar di senatero Banda Aceh? Entahlah.
Namun saat semua pernak-pernik pesta pernikahan siap dan tiba-tiba Abin menghilang karena tuntutan pekerjaan ia rasanya ingin bunuh diri. Ia malu. Abin ternyata lebih memilih karir dibanding melangsungkan pesta pernikahan dengannya.
Ia lebih memilih untuk membentangkan karir ke Manila, Filipina, dibanding menjadi pengantin dan bersanding dengannya. Padahal pesta pernikahan sudah di depan mata. Parahnya, Abin pergi tanpa penjelasan apapun. Ia sepertinya takut tekanan dari keluarga Balqis akan menyurutkan langkahnya meraih jabatan yang lebih tinggi.
Saat itu Abin hanya meninggalkan sepucuk surat yang ia kirim melalui e-mail. Tidak ada penjelasan langsung, apalagi permohonan maaf yang diucapkan kepada keluarga besar Balqis. Abin pergi begitu saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Rasa malu yang mendera, membuat Balqis sempat ingin bunuh diri. Kalau saja saat itu tidak ada Mulkan, sahabat karibnya sejak ia berusia lima tahun, mungkin saat ini ia hanya tinggal nama.
***