Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tas Merah Bata dan Kenangan 40 Tahun Silam

15 Agustus 2016   08:44 Diperbarui: 15 Agustus 2016   20:50 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak ingin kehilangan lagi orang yang saya sayangi, orang yang saya cintai.

Rayhima sepertinya sudah mulai  putus asa meyakinkan sang suami untuk ikut pindah ke Singapura. Sejak beberapa bulan terakhir, ia memang sudah tidak lagi berniat tinggal di pulau berbentuk kalajengking tersebut. Menurutnya, sudah cukup banyak orang-orang yang ia cintai menjadi korban. Sehingga, ia tidak lagi ingin tinggal ditengah hamparan lahan kosong tanpa fasilitas apapun.

Sudah cukup orangtua saya dan anak sulung kita yang menjadi korban. Bang, disini tidak ada rumah sakit, tidak ada kendaraan. Saya tidak mau mengorbankan dua anak kita yang lain. Saya takut salah satu dari kita kembali terkena malaria. Ayo kita pindah, Bang, mencari kehidupan di negeri orang.

Namun Rayhima tidak juga mampu meyakinkan sang suami. Lelaki itu tetap kukuh dengan pendiriannya. Saat Rayhima mengepak pakaian dan beberapa benda yang sekiranya diperlukan di Singapura ke dalam tas besar berwarna merah bata, sang suami hanya berdiri mematung. Lelaki itu tidak mencegah, tidak juga membantu.

Untuk apa tinggal di wilayah terpencil seperti ini? Kerabat kita sudah banyak yang pindah. Mumpung ada kesempatan, mengapa tidak kita manfaatkan untuk mencari kehidupan yang lebih baik?

Lelaki itu tetap diam. Tak ada kata yang ia ucapkan. Ia hanya memandangi sang istri yang membabi buta memasukan beragam barang ke dalam travelling bag berwarna merah bata.

Jalanan itu masih tanah merah, Bang.  Tidak ada listrik, tidak ada air. Abang tak ingin ya menikmati air olahan, air bersih yang memang khusus untuk mandi dan minum? Bukan air hujan?

Lelaki itu masih tetap diam.

Kesal dengan sang suami yang tetap ingin bertahan di Batam, Rayhima nekat berangkat ke Singapura tanpa didampingi si belahan hati. Ia hanya membawa satu dari dua anaknya yang masih hidup. Ia masih ingat, saat itu – saat langit mulai berubah menjadi jingga, ia memutuskan melayari Selat Malaka, menuju Negeri Singa.

***

“Welcome to Batam, Grandma,”ucap sang cucu saat mereka sudah melewati imigrasi Pelabuhan Internasional Batamcentre.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun