Saya menatap gadis itu lekat-lekat. Parasnya masih cantik seperti dulu. Ia bahkan terlihat lebih menarik dengan balutan hijab hijau tosca yang dililit sedemikian rupa. Meski usianya sudah mendekati usia 30 tahun, namun penampilannya terlihat seperti anak kuliah yang baru memasuki usia 20 tahun.
“Kamu tidak berubah, masih aja hobi mengaduk teh tarik,” ucap Aya saat saya mengaduk-aduk secangkir teh tarik panas hingga buihnya melumer ke bibir cangkir.
“Kamu juga tidak berubah, selalu menanyakan hal yang sama sejak kita sekolah dulu,” jawab saya .
“Kalau suka teh tarik dingin, kenapa kamu tidak memesan es teh tarik saja?” tanyanya.
Saya memang sedikit berbeda terkait teh tarik. Meski hobi menyecap teh tarik dingin, saya lebih suka memesan teh khas Negeri Jiran itu panas-panas. Ada kenikmatan tertentu saat mengaduk buih teh tarik tersebut hingga dingin.
“Kirain setelah 10 tahun berlalu kamu tidak lagi meminum teh tarik seperti itu,” ujar Aya.
Saya hanya tersenyum. Ah, seandainya Aya tahu. Sebenarnya dia-lah yang menyebabkan saya memiliki hobi aneh seperti itu. Sejak memiliki perasaan yang sedikit spesial padanya, saya tidak lagi bisa menghabiskan waktu dengannya dengan perasaan tenang. Sehingga, untuk mengurangi kegugupan, saya selalu memesan teh tarik panas yang diaduk hingga dingin.
Setelah satu dasawarsa berlalu, kebiasaan tersebut masih terus saya lakukan. Apalagi sejak saya dan Aya berpisah karena Aya harus melanjutkan kuliah ke luar kota. Saat kangen masa-masa bersama Aya, biasanya saya akan memesan teh tarik sambil mengaduk buihnya hinga meluber ke sisi gelas.
“Ndi, apa enaknya sih minum teh tarik panas yang sudah dingin?” ulang Aya.
“Coba aja, Ya. Enak banget,” kataku berbohong. Padahal tidak ada rasa enak sama sekali. Teh tarik tersebut terasa anyep di lidah. Aromanya juga sudah habis menguar terbawa udara.
****
Ayana Dwipa, gadis itu saya kenal saat kami sama-sama masuk sekolah menengah. Entah apa yang menyebabkan kami bisa menjadi sahabat. Karakter saya dan Aya sangat jauh berbeda. Saya hobi bermain olahraga ekstrim seperti panjat tebing, sementara Aya aktif sebagai anggota cheerleaders di sekolah. Saya sangat introvet, sementara Aya sangat suka bergaul dengan banyak orang.
Selama duduk di bangku SMU saya tidak pernah pacaran sama sekali, sedangkan Aya terus berganti kekasih hampir setiap tiga bulan. Sejak kami masih menggunakan seragam putih-abu, saya sebenarnya sudah ingin mengutarakan perasaan. Namun entah mengapa saya selalu tak berani mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Saya takut kedekatan kami yang sudah terjalin bertahun-tahun akan hancur hanya karena saya ingin menjadi seseorang yang lebih spesial di hatinya.
“Maaf dari tadi aku sibuk berkomentar mengenai teh tarik, sampai lupa menanyakan kabar kamu. Apa kabar, Ndi? Maaf bila terkadang aku sedikit sulit dihubungi, maklum terkadang harus pergi ke beberapa daerah yang sinyalnya belum begitu baik,” ungkap Aya.
Sejak kuliah di Kota Gudeg, Aya memang sulit dihubungi. Jangankan untuk sesekali bertemu, sms dan telepon saja jarang ia jawab. Itu makanya, saat beberapa hari lalu ia tiba-tiba menelepon dan mengajak bertemu di Kota Batam, Kepulauan Riau, saya sempat terperanjat.
“Kabar saya baik, Ya. Tumben pulang kampung, ngajakin ketemu lagi. Ada apa?” telisik saya.
“Sebenarnya beberapa kali aku sempat mudik ke Batam, namun hanya sebentar. Belum sempat menghubungi kamu, aku sudah harus balik ke Jogya. Maaf ya, Ndi. Bukan ga inget kamu, tapi memang keadaan yang seperti itu,” ujarnya.
Saya hanya tersenyum samar. Kalimat Aya barusan semakin menguatkan saya untuk melupakan perasaan saya padanya. Tidak mungkin saya mendapatkan seorang Aya yang saat ini sudah semakin sukses sebagai seorang notaris di Jogya. Apalagi ia juga kini sudah berjilbab. Sejak Aya sulit dihubungi, perlahan saya memang sudah mulai melupakan gadis itu. Apalagi saat ini ada seseorang yang mulai saya timbang-timbang untuk dijadikan sebagai pendamping hidup.
“Ndi, sejak beberapa hari lalu aku memang sengaja ingin bertemu kamu. Aku ingin menyampaikan sesuatu,” ujarnya dengan serius.
“Ini, Ndi.... biar bagaimanapun kamu sahabatku. Kamu datang ya,” ujarnya sambil memberikan undangan pernikahan yang didominasi warna merah muda.
“Selamat ya, Ya,” kataku sedikit bergetar. Meski sudah sejak tiga tahun lalu berkomitmen untuk melupakan Aya, namun saat menerima undangan tersebut tetap saja saya merasa sedih dan patah hati.
“Semoga kamu cepat menyusul ya, Ndi,” doanya.
“Amien,” ucapku singkat.
“Setelah menikah, aku akan menetap di Batam. Saat ada waktu luang, kita jalan bareng lagi ya, Ndi. Maafkan aku yang sempat mengabaikanmu ya, Anindiya Prastiwi, maaf. Waktu di Jogya aku menyibukan diri agar tidak kangen Batam, kangen keluarga, kangen sahabatku yang manis dan tomboi kayak kamu. Aku janji tidak akan begitu lagi,” tegas Aya.
“Beneran janji ya, Ya,” ujarku.
Saya juga berjanji dalam hati hanya akan menganggap Aya sebagai sahabat. Saya juga sepertinya sudah harus mulai memutuskan untuk menapaki hidup bersama Arman, teman kuliah yang selalu menguatkan saya. Menjadi istri Arman, sekaligus menjadi sahabat Aya sepertinya akan menjadi sesuatu yang sempurna.
Benar kata Arman, perasaanku yang menyimpang pada Aya perlahan akan hilang. Anindiya Prastiwi akan menjadi seorang perempuan seutuhnya, bahkan bukan tidak mungkin menjadi seorang ibu. Ah, saya jadi tidak sabar untuk mengecek kalender agar bisa secepatnya mencari hari baik untuk melangsungkan pernikahan dengan Arman.
“Saya juga janji, Ya, untuk tidak lagi meminum teh tarik panas yang sudah didinginkan. Saya akan mencoba meminum es teh tarik, atau mungkin mencoba menyeruput teh tarik itu saat masih hangat.” (*)
Maaf terlambat mimin Fiksiana... haha terlambat empat hari =D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H