Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Fiksi Kuliner] Kisah Pada Secangkir Teh Tarik Panas

9 Juni 2016   17:39 Diperbarui: 9 Juni 2016   19:04 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayana Dwipa, gadis itu saya kenal saat kami sama-sama masuk sekolah menengah. Entah apa yang menyebabkan kami bisa menjadi sahabat. Karakter saya dan Aya sangat jauh berbeda. Saya hobi bermain olahraga ekstrim seperti panjat tebing, sementara Aya aktif sebagai anggota cheerleaders di sekolah. Saya sangat introvet, sementara Aya sangat suka bergaul dengan banyak orang.

Selama duduk di bangku SMU saya tidak pernah pacaran sama sekali, sedangkan Aya terus berganti kekasih hampir setiap tiga bulan. Sejak kami masih menggunakan seragam putih-abu, saya sebenarnya sudah ingin mengutarakan perasaan. Namun entah mengapa saya selalu tak berani mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Saya takut kedekatan kami yang sudah terjalin bertahun-tahun akan hancur hanya karena saya  ingin menjadi seseorang yang lebih spesial di hatinya.

 “Maaf dari tadi aku sibuk berkomentar mengenai teh tarik, sampai lupa menanyakan kabar kamu. Apa kabar, Ndi? Maaf bila terkadang aku sedikit sulit dihubungi, maklum terkadang harus pergi ke beberapa daerah yang sinyalnya belum begitu baik,” ungkap Aya.

Sejak kuliah di Kota Gudeg, Aya memang sulit dihubungi. Jangankan untuk sesekali bertemu, sms dan telepon saja jarang ia jawab. Itu makanya, saat beberapa hari lalu ia tiba-tiba menelepon dan mengajak bertemu di Kota Batam, Kepulauan Riau, saya sempat terperanjat.

“Kabar saya baik, Ya. Tumben pulang kampung, ngajakin ketemu lagi. Ada apa?” telisik saya.

“Sebenarnya beberapa kali aku sempat mudik ke Batam, namun hanya sebentar. Belum sempat menghubungi kamu, aku sudah harus balik ke Jogya. Maaf ya, Ndi. Bukan ga inget kamu, tapi memang keadaan yang seperti itu,” ujarnya.

Saya hanya tersenyum samar. Kalimat Aya barusan semakin menguatkan saya untuk melupakan perasaan saya padanya. Tidak mungkin saya mendapatkan seorang Aya yang saat ini sudah semakin sukses sebagai seorang notaris di Jogya. Apalagi ia juga kini sudah berjilbab. Sejak Aya sulit dihubungi, perlahan saya memang sudah mulai melupakan gadis itu. Apalagi saat ini ada seseorang yang mulai saya timbang-timbang untuk dijadikan sebagai pendamping hidup.

“Ndi, sejak beberapa hari lalu aku memang sengaja ingin bertemu kamu. Aku ingin menyampaikan sesuatu,” ujarnya dengan serius.

“Ini, Ndi.... biar bagaimanapun kamu sahabatku. Kamu datang ya,” ujarnya sambil memberikan undangan pernikahan yang didominasi warna merah muda.

“Selamat ya, Ya,” kataku sedikit bergetar. Meski sudah sejak tiga tahun lalu berkomitmen untuk melupakan Aya, namun saat menerima undangan tersebut tetap saja saya merasa sedih dan patah hati.

“Semoga kamu cepat menyusul ya, Ndi,” doanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun