Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gunakan PMS, Kebocoran Air Lebih Terkontrol

25 November 2015   18:14 Diperbarui: 25 November 2015   18:26 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Dok ATB/Peta Kota Batam."][/caption]

 

Oktober 2015, PT. Adhya Tirta Batam (ATB) berhasil menekan tingkat kebocoran air hingga 13,37 persen dengan menerapkan Pressure Management System (PMS). Angka tersebut jauh diatas rata-rata tingkat kebocoran air nasional yang masih 33-34 persen. Bagaimana proses ATB hingga akhirnya berhasil menekan tingkat kebocoran air sampai titik terendah? Beberapa waktu lalu saya sempat mewawancarai salah satu Direksi ATB. Yuk, cek ulasannya.

 [caption caption="Dok ATB/Salah satu kebocoran air di areal pelayanan ATB."]

[/caption]

Kebocoran air selalu menjadi momok bagi perusahaan air minum. Tidak sedikit PDAM yang terpaksa menyandang status Kurang Sehat hanya karena tidak mampu mengendalikan tingkat kebocoran air.

 

Tidak hanya di Indonesia, kebocoran air juga menjadi kendala tersendiri di perusahaan air minum mancanegera. Ada banyak perusahaan air minum luar negeri yang masih berkutat dengan beragam program untuk menurunkan tingkat kebocoran air.

 

“Kebocoran air menjadi isu utama dalam manajemen pengelolaan air minum. Hal tersebut dikarenakan, menurunkan tingkat kebocoran air relatif tidak mudah. Ada banyak teori yang dipaparkan terkait kebocoran air, ada banyak pakar yang juga sudah berbagi ilmu. Namun, tingkat kebocoran air tidak serta merta dapat diturunkan begitu saja,” ungkap Wakil Presiden Direktur ATB Benny Andrianto, Jumat (13/11).

 

Ia melanjutkan, ATB juga sempat kesulitan mempertahankan tingkat kebocoran air. Pada tahun-tahun pertama mengelola air bersih di Pulau Batam, tingkat kebocoran air ATB masih diatas 40 persen. Tahun 2000, tingkat kebocoran air dapat diturunkan menjadi 24 persen. Namun tiga tahun kemudian, tingkat kebocoran air kembali meningkat menjadi 36 persen.

 

“Pada saat itu ATB belum memiliki SDM handal di bidang kebocoran air, belum ada departemen khusus yang menangani kebocoran air, belum memiliki alat maupun teknologi untuk mendeteksi kebocoran air, belum memiliki master plan mengenai kebocoran air. ATB, hampir tidak memiliki apapun untuk menurunkan tingkat kebocoran air. ATB hanya menggunakan metode find and fixed – menemukan titik kebocoran, dan memperbaikinya secepat mungkin,” papar Benny.

 

Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut menuturkan, tahun 2004 saat kebocoran air ATB diangka 35 persen, ATB membentuk departemen khusus untuk menangani kebocoran air. Setelah departemen tersebut dibentuk, kebocoran air ATB berangsur menurun hingga mencapai 26 persen.

 

“Meski sudah membentuk bagian khusus untuk menangani kebocoran air, ATB masih menggunakan metode yang sangat konservatif. Akibatnya tingkat kebocoran air ATB perlahan meningkat. Tingkat kebocoran air yang awalnya sudah mencapai 26 persen kembali naik menjadi 31 persen,” tuturnya.

 

Saat itu, Benny menjelaskan, untuk menurunkan tingkat kebocoran air, ATB masih menggunakan metode reaktif bukan preventif. ATB menangani kebocoran setelah kebocoran itu terjadi, bukan melakukan pencegahan agar kebocoran air tidak terjadi.

 

“Banyak perusahaan air minum yang tidak bisa mempertahankan kebocoran air yang sudah rendah. Perusahaan air umumnya memikirkan bagaimana menurunkan angka kebocoran air dari angka yang tinggi ke rendah dan tidak memikikan jangka panjang agar kebocoran air yang sudah rendah tetap berada di level tersebut meski jumlah pelanggan, jumlah jaringan pipa dan kapasitas Instalasi Pengolahan Air (IPA) bertambah,” terangnya.

 [caption caption="Dok ATB/Petugas saat melakukan deteksi kebocoran di rumah pelanggan."]

[/caption]

Seiring waktu, Benny menuturkan, ATB menyadari bahwa hal paling mendasar dalam menekan tingkat kebocoran air, bukan seberapa cepat menurunkan kebocoran, namun seberapa handal sistem yang dimiliki perusahaan untuk mendukung penurunan tingkat kebocoran air.

 

“ATB akhirnya sadar, agar tingkat kebocoran air bisa tetap rendah, harus melakukan pembenahan sistem. Sejak itu, ATB mulai membentuk DMZ (District Metric Zone) dan Sub DMZ, melengkapi alat yang dibutuhkan untuk membantu menurunkan tingkat kebocoran air, memasang alat monitoring di beberapa titik, hingga membangun Geographic Information System (GIS). Proses tersebut membutuhkan waktu lumayan panjang, yakni dari tahun 2004 hingga 2011,” jelas Benny.

 

Ia menegaskan, ATB mulai berhasil menurunkan tingkat kebocoran air hingga angka terendah setelah menempatkan kebocoran sebagai bagian dari sistem. ATB melakukan pembenahan sistem dan menjadikan penurunan angka kebocoran sebagai prioritas utama.

 

“Sebelum menerapkan PMS pada 2013, tingkat kebocoran air ATB masih diatas 25 persen. Padahal saat itu ATB sudah mulai menggunakan beragam teknologi untuk membantu menurunkan tingkat kebocoran air. Setelah menggunakan PMS, baru tingkat kebocoran ATB terus menurun hingga akhirnya mencapai angka 13,37 persen,” bebernya.

 [caption caption="Dok ATB/Petugas saat mengecek PRV."]

[/caption]

Benny melanjutkan, pressure management system sebenarnya bukan hal baru di perusahaan air minum. Hanya saja belum banyak yang tahu seperti apa sistem manajemen tersebut. Perusahaan air minum umumnya menganggap PMS sebagai sesuatu yang rumit, butuh keahlian khusus, dan memerlukan dana besar.

 

Padahal Benny menegaskan kenyataannya tidak seperti itu. PMS tidak se-complicated yang dibayangkan. Sebagai sebuah sistem, pengelola hanya melakukan control pressure pada jaringan pipa. Mengatur tekanan air agar tidak berlebihan dan menyebabkan kebocoran. Meski tekanan air diatur seminimal mungkin, namun tekanannya tetap cukup hingga lokasi pelanggan.

 

“Disitulah seninya, bagaimana kita melakukan startegi mengontrol tekanan air, memilih lokasi dan mengelola sistem sehingga kebocoran dapat dicegah. Untuk lebih mempermudah pengontrolan, kami memanfaatkan GIS dan memasang sekitar 300 logger,” terangnya.

 

Benny menuturkan, logger berfungsi mendata aliran dan tekanan air agar dapat dilakukan pengitungan kondisi setiap DMZ. Berdasarkan penghitungan tersebut akan didapatkan data kondisi setiap DMZ sehingga bisa ditentukan daerah prioritas.

 

“Melalui data logger kita dapat mengetahui mana DMZ yang over supply, mana daerah yang mengalami kebocoran paling tinggi. ATB mulai membenahi daerah dengan jumlah kebocoran tertinggi – bukan berdasarkan nilai kebocoran tertinggi, sehingga pengontrolan pressure jadi lebih efektif,” ujarnya.

 

Ia melanjutkan, jumlah investasi yang digelontorkan ATB untuk mendukung PMS memang tidak murah. Perusahaan yang memiliki tagline “Kepercayaan Anda di Setiap Tetesnya” tersebut harus menggelontorkan dana sekitar Rp11 miliar.

 

“Dana tersebut digunakan untuk membeli sekitar 300 logger seharga Rp6 miliar, membeli 100 Pressure Reducing Valve (PRV) seharga Rp2,5 milliar, dan biaya lain-lain Rp2,5 milliar, sehingga total investasi jaringan kebocoran air ATB selama 10 tahun terakhir sekitar Rp11 milliar,” tutur Benny.

 

Meski tidak murah, investasi tersebut sangat sebanding dengan manfaat yang didapat ATB. Tingkat kebocoran air ATB terus menurun sehingga berpengaruh pada biaya perbaikan kebocoran. Bila sebelumnya ATB harus mengeluarkan biaya 1,8 milliar/bulan, dalam kurun waktu 2013 hingga 2015, hanya mengeluarkan biaya Rp500 juta/bulan untuk biaya perbaikan kebocoran. Itu berarti selama dua tahun terakhir, ATB dapat menghemat biaya kebocoran 1,3 milliar/bulan atau bila di total dapat menyelamatkan dana hingga Rp31,2 milliar selama 24 bulan.

 

“Itu belum termasuk volume air yang kembali terjual ke pelanggan. Selama satu tahun terakhir, ATB mampu menyelamatkan air bersih sekitar 600 m3/bulan. Kebocoran air yang sebelumnya mencapai 1,8 juta m3/bulan, kini perlahan menurun menjadi 1,2 juta m3/bulan. Bila kita pukul rata 1 m3 adalah Rp3.000, berarti per bulan ATB mampu menghemat Rp1,8 milliar/bulan, atau total Rp21,6 milliar selama satu tahun terakhir,” jelasnya.

 

Bila dikalkulasikan biaya penghematan perbaikan kebocoran air dengan volume air yang terjual, ATB dapat mendapat benefit hingga Rp52,8 milliar. Dikurangi biaya investasi logger dan PRV sebesar Rp11 milliar, ATB masih mendapatkan benefeti hingga Rp41,8 milliar.

 

“Penurunan tingkat kebocoran air tidak hanya mengurangi biaya perbaikan akibat kebocoran dan volume kebocoran, namun juga dapat meningkatkan penjualan. Air yang seharusnya terbuang, bisa diterima oleh pelanggan. Sehingga, selain sales meningkat, suplai air kepada pelanggan juga semakin handal,” tegasnya.

 

Benny menuturkan, sistem find and fixed tidak efektif. Sistem tersebut malah memberikan beban kerja yang cukup besar kepada petugas. Menggunakan pressure management system jauh lebih efektif. Selama dua tahun terakhir, kebocoran air ATB terus menurun hingga akhirnya mencapai 13,37 persen.

 

“Untuk pengelolaan tekanan air yang baik, harus ada sistem dan strategi yang baik. Membabi buta memasang alat dilapangan dengan biaya yang cukup besar tidak selalu efektif. Mengaplikasikan manajemen yang tepat bisa lebih mudah mengontrol tingkat kebocoran air. Sudah saatnya perusahaan air minum menggunakan pressure management system agar masalah kebocoran air dapat dilihat secara holistik. ATB sangat welcome bila ada perusahaan air minum yang ingin studi banding bagaimana menerapkan PMS untuk menekan tingkat kebocoran air,” pungkasnya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun