Kecintaan orang Indonesia terhadap sepak bola barangkali yang terbesar di benua Asia, tapi tidak seiring dengan prestasi tim nasional. Justru kecintaan dan semangat fanatisme yang ekstrem menciptakan banyak sekali bentrok, kerusuhan, dan tragedi sepak bola yang memilukan.
Musibah Kanjuruhan adalah bencana kemanusiaan melampaui duka sepak bola. Gianni Infantino, Presiden FIFA, menyebut penyerbuan suporter ke lapangan dan respon petugas keamanan menembakkan gas air mata sebagai "tragedi di luar pemahaman'.
Apa yang terjadi di Kanjuruhan adalah 'puncak gunung es' dari rangkaian panjang musibah sepak bola Indonesia. Kita semua sudah tidak asing dengan kerusuhan sepak bola di Indonesia. Siapa pun yang pernah menghadiri langsung pertandingan Liga Indonesia, pasti merasakan kekhawatiran potensi perkelahian antara kelompok pendukung yang saling bersaing, ataupun bentrokan dengan petugas keamanan yang kadang tak kalah agresif.
Stadion di Liga Indonesia tak ada yang benar-benar aman, seketika bisa mencekam, seringkali tim tandang harus dikawal pergi dan pulang dari stadion dengan kendaaran taktis polisi lapis baja, layaknya berperang.Â
Sebagai contoh, pertandingan final Piala Indonesia 2019 leg-2, tim Persija Jakarta mulanya enggan bertanding karena terintimadasi teror suporter PSM di Stadion Mattoanging.
Mereka memilih balik ke Jakarta pada hari pertandingan. Baru seminggu kemudian Persija 'melunak' dan bersedia bertanding dengan syarat pengawalan super maksimal, mulai dari kedatangan di bandara, tempat menginap, dan di arena. Rasanya gelar juara PSM, tim favorit saya, menjadi hambar dengan situasi horor di Mattoanging.
Pada 2018, liga dihentikan setelah kematian Haringga Sirila, fans Persija yang dikeroyok sampai mati oleh suporter fanatik Persib Bandung. Aksi pemabalasan dua tahun sebelumnya, fans Persib, Muhammad Rovi Arrahman, mengalami nasib yang sama di tangan pendukung Persija Jakarta.
Dikutip Kompas, riset Our Soccer, lembaga pemantau sepak bola nasional, mencatat setidaknya 70 suporter bola tewas akibat vandalisme sepak bola Indonesia sejak tahun 1995. Dalam lima tahun terakhir, sebelum tragedi Kanjuruhan, tujuh nyawa menjadi korban akibat kekerasan sepak bola.
Apa yang salah pada malam itu di Kanjuruhan?
Saya meyakini tragedi Kanjuruhan pada malam minggu lalu disebabkan oleh semua unsur yang terlibat dalam pelaksanaan pertandingan sepak bola, mulai dari panitia penyelenggara, suporter, petugas keamanan, dan tentunya yang paling bertanggung jawab adalah PSSI sebagai federerasi otoritas sepak bola Indonesia.
Kesatu, pihak penyelenggara, PT Liga Indonesia Baru (LIB) mesti bertanggung jawab. Penyelenggara ditengarai menjual tiket yang melebihi kapasitas tribun sebanyak 38.000 orang, diperkirakan tidak kurang 42 ribu Aremania hadir pada laga tersebut.
Saya punya pengalaman buruk terkait dengan manajemen tiket, di satu pertandingan besar antara PSM vs Persija di Makassar, saya sudah membeli tiket kelas VIP tidak bisa mendapatkan kursi di tribun, bahkan untuk berdiri menyaksikan pertandingan sangat sulit karena saya hanya sampai di tangga berjubel dengan penonton yang lain. Dari pengalaman itu saya kapok ke Mattoanging hingga waktu lama.
Penyelenggara juga bersama broadcaster, dan tentu saja PSSI konon tetap memaksakan pertandingan dilaksanakan pada malam hari, meski pihak Arema dan Kepolisian sudah meminta supaya laga besar yang potensi rusuh ini dimajukan ke sore, supaya petugas lebih sigap mengantisipasi jika terjadi bentrokan. Alasan penolakan sudah pasti karena keuntungan maksimal dapat diraih kalau pertandingan ditayangkan pada pukul 20.00 WIB (prime time).
PSM Makassar sebagai contoh, sering menjadi korban dari jadwal yang mengikuti kehendak sponsor, laga malam PSM yang biasanya dimulai pukul 19.00 Wita, harus diundur dua jam ke pukul 21.00 demi menyesuaikan waktu prime time televisi, tanpa peduli kenyamanan dan keselamatan suporter dan pemain yang bertanding hingga tengah malam. Semuanya demi uang besar yang bisa diraup.
Petugas keamanan pertandingan dalam hal ini adalah Polres Malang dan Polda Jatim juga harus bertanggung jawab. Tindakan melepaskan gas air mata secara massif di kerumunan ribuan penonton di lapangan adalah blunder sangat fatal. Aturan FIFA sangat jelas melarang membawa gas air mata ke arena pertandingan karena sangat membahayakan keselamatan umum.
Sebelum penonton menyerbu lapangan, polisi juga ditengarai lalai dan tak bersiap menjelang pertandingan berakhir. Mereka menilai laga ini akan aman dari kerusuhan karena tidak ada pendukung 'Bonek" Persebaya yang hadir di Kanjuruhan. Perlu investigasi menyeluruh terkait tindakan petugas keamanan sebelum pertandingan hingga kerusuhan meletus setelah pertandingan selesai.
Salah urus PSSI dan pembinaan suporter
Tragedi Kanjuruhan sekali lagi membuktikan dengan gamblang, bahwa ada salah urus dalam pembinaan suporter sepak bola negara kita. Di Liga Indonesia, hapir semua tim punya suporter fanatik berjumlah besar, namun begitu mudah terbakar emosinya oleh provokasi-provokasi segelintir oknum ketika tim favoritnya mengalami kekalahan beruntun.
Suporter belum berjiwa lapang menerima kekalahan, dan ini adalah masalah besar jika tidak segera dibenahi, kekerasan fans fanatik adalah masalah abadi, sudah begitu mengakar sangat dalam.Â
Pengamatan saya selama 30 tahun menggemari sepak bola Indonesia, nyaris tak ada suporter di Indonesia yang tidak pernah berbuat kerusuhan saat timnya kalah, mulai skala kecil hingga skala seperti di Kanjuruhan.Â
Banyak faktor di luar sepak bola, seperti faktor ekonomi, faktor pendidikan, kecewa pada pemerintahan, bisa menjadi penyebab mengapa suporter bola kita kerap bertindak agresif dan brutal.
Saya meyakini untuk mengatasinya butuh upaya kolektif dan perlu waktu lama mendidik suporter sepak bola Indonesia menjadi lebih dewasa dan berjiwa besar menerima hasil pertandingan sepak bola. Jika akar permasalahan berjiwa besar menerima kekalahan tidak tumbuh, kejadian ini terulang tidak bisa dihindari.
Pada akhirnya kita harus sekali lagi mengecam bahwa pengelolaan sepak bola kita memang sudah sangat parah, salah urus. PSSI sebagai otoritas sepak bola Indonesia tak pernah peduli untuk membenahi sistem kompetisi, dan sistem pembinaan yang merupakan jalur menuju prestasi.
Pengurus elite PSSI hanya memanfaatkan popularitas sepak bola untuk tujuan pribadi dan kelompok mereka sendiri. Mantan Ketua Umum Nurdin Halid pada 2007 memimpin PSSI dari penjara karena terbukti korupsi.Â
Setelah era Nurdin berakahir di PSSI karena dilarang FIFA, terjadi perebutan kekuasaan bernuansa politik yang menciptakan dualisme federasi, liga, dan tim nasional, sehingga terjadi pembekuan. Pada 2015 FIFA melarang negara kita berkiprah di ajang internasional buntut dari kekacauan internal PSSI.
Namun ketika sanksi dicabut setahun kemudian, hampir tidak ada yang berubah, justru semakin rusak. PSSI lagi-lagi digunakan sebagai ajang pencitraan untuk kepentingan politik, Ketua Umum PSSI pada 2016, Eddy Rahmayadi berhasil menjadi Gubernur Sumatera Utara dan ketua umum saat ini Mohammad Iriawan berhasrat mencalonkan Gubernur Jawa Barat pada 2024 dengan panggung Ketua Umum PSSI sebagai modal besarnya.
Bencana mematikan pada  Sabtu kelam di Kanjuruhan diharapkan bisa menjadi momentum untuk membenahi sistem sepak bola kita. Pelajaran yang sangat berharga bagi mereka yang terlibat dalam sepak bola, pada waktu nanti gelarlah pertandingan dengan aman, tertib, dan memberikan hiburan bagi penggemar sepak bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H