Saya punya pengalaman buruk terkait dengan manajemen tiket, di satu pertandingan besar antara PSM vs Persija di Makassar, saya sudah membeli tiket kelas VIP tidak bisa mendapatkan kursi di tribun, bahkan untuk berdiri menyaksikan pertandingan sangat sulit karena saya hanya sampai di tangga berjubel dengan penonton yang lain. Dari pengalaman itu saya kapok ke Mattoanging hingga waktu lama.
Penyelenggara juga bersama broadcaster, dan tentu saja PSSI konon tetap memaksakan pertandingan dilaksanakan pada malam hari, meski pihak Arema dan Kepolisian sudah meminta supaya laga besar yang potensi rusuh ini dimajukan ke sore, supaya petugas lebih sigap mengantisipasi jika terjadi bentrokan. Alasan penolakan sudah pasti karena keuntungan maksimal dapat diraih kalau pertandingan ditayangkan pada pukul 20.00 WIB (prime time).
PSM Makassar sebagai contoh, sering menjadi korban dari jadwal yang mengikuti kehendak sponsor, laga malam PSM yang biasanya dimulai pukul 19.00 Wita, harus diundur dua jam ke pukul 21.00 demi menyesuaikan waktu prime time televisi, tanpa peduli kenyamanan dan keselamatan suporter dan pemain yang bertanding hingga tengah malam. Semuanya demi uang besar yang bisa diraup.
Petugas keamanan pertandingan dalam hal ini adalah Polres Malang dan Polda Jatim juga harus bertanggung jawab. Tindakan melepaskan gas air mata secara massif di kerumunan ribuan penonton di lapangan adalah blunder sangat fatal. Aturan FIFA sangat jelas melarang membawa gas air mata ke arena pertandingan karena sangat membahayakan keselamatan umum.
Sebelum penonton menyerbu lapangan, polisi juga ditengarai lalai dan tak bersiap menjelang pertandingan berakhir. Mereka menilai laga ini akan aman dari kerusuhan karena tidak ada pendukung 'Bonek" Persebaya yang hadir di Kanjuruhan. Perlu investigasi menyeluruh terkait tindakan petugas keamanan sebelum pertandingan hingga kerusuhan meletus setelah pertandingan selesai.
Salah urus PSSI dan pembinaan suporter
Tragedi Kanjuruhan sekali lagi membuktikan dengan gamblang, bahwa ada salah urus dalam pembinaan suporter sepak bola negara kita. Di Liga Indonesia, hapir semua tim punya suporter fanatik berjumlah besar, namun begitu mudah terbakar emosinya oleh provokasi-provokasi segelintir oknum ketika tim favoritnya mengalami kekalahan beruntun.
Suporter belum berjiwa lapang menerima kekalahan, dan ini adalah masalah besar jika tidak segera dibenahi, kekerasan fans fanatik adalah masalah abadi, sudah begitu mengakar sangat dalam.Â
Pengamatan saya selama 30 tahun menggemari sepak bola Indonesia, nyaris tak ada suporter di Indonesia yang tidak pernah berbuat kerusuhan saat timnya kalah, mulai skala kecil hingga skala seperti di Kanjuruhan.Â
Banyak faktor di luar sepak bola, seperti faktor ekonomi, faktor pendidikan, kecewa pada pemerintahan, bisa menjadi penyebab mengapa suporter bola kita kerap bertindak agresif dan brutal.
Saya meyakini untuk mengatasinya butuh upaya kolektif dan perlu waktu lama mendidik suporter sepak bola Indonesia menjadi lebih dewasa dan berjiwa besar menerima hasil pertandingan sepak bola. Jika akar permasalahan berjiwa besar menerima kekalahan tidak tumbuh, kejadian ini terulang tidak bisa dihindari.
Pada akhirnya kita harus sekali lagi mengecam bahwa pengelolaan sepak bola kita memang sudah sangat parah, salah urus. PSSI sebagai otoritas sepak bola Indonesia tak pernah peduli untuk membenahi sistem kompetisi, dan sistem pembinaan yang merupakan jalur menuju prestasi.