Namun rupa-rupanya apa yang terjadi, masa-masa kampanye menuju tanggal pemungutan suara, 9 Juli, Indonesia dan seluruh rakyatnya dihinggapi kekhawatiran dan kecemasan atas rivalitas keras dua calon pemimpin ini.
Indonesia seperti terbelah dua. Inilah pemilu paling heboh dan menyita perhatian, dalam artian negatif. Banyak yang bilang Pilpres kali ini adalah pemilu paling beringas dan mencekam. Segala cara dihalalkan untuk meraih tujuan masing-masing. Fitnah dan kebencian tersuguh setiap hari, di semua lini kehidupan, dari berbagai media resmi maupun tak resmi. Kampanye kotor murahan dilakukan secara vulgar dan kasar, saling ejek dan menghina antar pendukung beredar di media sosial Facebook, Twitter, Path, dan BBM.
Ada diantara mereka tak sungkan membawa-bawa nama suku, agama, ras, dan antar golongan yang jelas-jelas melanggar konstitusi dan aturan pemilu. Apa yang terjadi selama menunjukkan buruknya mutu para politisi kita dan masih mentahnya pembangunan demokrasi di negara ini.
Hari ‘H’ Rabu 9 Juli, semestinya kita sudah tahu siapa presiden dan wakil presiden terpilih berdasarkan hitung cepat beberapa lembaga survei yang selama ini kita yakini. Namun ternyata lembaga-lembaga survei pun terbelah dua. Ada yang menyatakan Jokowi-JK sebagai pemenang, namun ada juga yang mengunggulkan Prabowo-Hatta. Masyarakat makin bingung dan kembali harus bersabar menunggu ketetapan KPU. Padahal biasanya hasil KPU tidak klimaks lagi, karena hanya mengkonfirmasi Quick Countpada hari pencoblosan.
Bulan lalu menjelang lebaran, Selasa malam (22/7-2014), Husni Kamil Malik, ketua KPU, dengan resmi menetapkan pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode bakti 2014-2019. Pasangan nomor urut 2 ini dipilih hampir 71 juta masyarakat Indonesia yang tersebar di 33 Provinsi. Perhitungan manual KPU selama 14 hari tersebut, dengan sendirinya mengkonfirmasi secara tegas akurasi hasil hitung cepat delapan lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Sekaligus juga mematahkan manipulasi data empat lembaga survei berbeda yang menyatakan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa-lah sebagai pemenang.
Sebelum perhitungan selesai dan pembacaan penetapan, mengetahui perrhitungannya kalah, kubu Prabowo mengajukan pengunduran diri dari proses Pilpres. Tapi sikap tersebut tak mempengaruhi keabsahan hasil penetapan KPU. Anehnya, tidak lama setelah menyatakan menarik diri, mereka malah menggugat KPU ke MK.
Lagi-lagi pertarungan belum selesai. Rivalitas politik berpindah ke ranah hukum. Sebenarnya tak ada yang istimewa menjadikan MK sebagai upaya terakhir bagi pihak yang tidak siap kalah dalam pemilihan langsung. Megawati Soekarnoputri yang dua kali dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono juga melayangkan gugatan ke MK, dan hasilnya kita sudah ketahui, ditolak.
Ini semacam fenomena reformasi menggelar pemilihan pemimpin secara langsung. Nyaris semua pemilihan kepala daerah harus berakhir di MK. Kalah, segera layangkan gugatan. Siapa tahu bisa menang, meski pun probabilitasnya sangat kecil.
Maka terjadilah yang harus terjadi. Akhirnya setelah menggelar sidang perselisihan hasil pemilu Presiden sejak 6 Agustus, Mahkamah menolak seluruh gugatan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Dalil-dalil yang diajukan seperti kesalahan rekapitulasi KPU, maupun pelanggaran Terstruktur- Sistematik -dan Massif (TSM) tidak bisa dibuktikan.
Pertarungan itu sudah menemui ujungnya. Jokowi-JK secara konstitusional sah untuk dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. Semoga amanah rakyat Indonesia bisa diemban dengan baik oleh kedua pemimpin kita tersebut. Lebih dari sekadar siapa yang menang dan siapa yang kalah, Pemilu kita ini dapat dilalui tanpa kerusuhan dan perpecahan yang dicemaskan.
Terlepas banyaknya ketidaksempurnaan sistem dan mental kita berdemokrasi, setidaknya kita sudah membuktikan bukan bangsa yang suka rusuh. Sebab di atas segalanya, kita mencintai Indonesia.