[caption id="attachment_320415" align="aligncenter" width="560" caption="http://kompasiana.com"][/caption]
Inilah klimaks rangkaian panjang kompetisi politik pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Dari gedung Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdiri kokoh sembilan pilar sebagai simbol jumlah hakim pengawal konstitusi, Kamis (21/8-2014), mengukuhkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sebagai pemimpin baru Indonesia masa bakti 5 tahun ke depan.
Palu yang diketuk Hamdan Zoelva adalah ketetapan hukum bersifat final yang harus diterima hampir 250 juta rakyat Indonesia, tak terkecuali. Boleh dikatakan inilah keputusan terbesar MK dan paling banyak dinanti. Putusan MK diyakini akan meredakan kondisi bangsa negara yang terus mengalami persaingan sengit dua kubu pasangan calon pemimpin sepanjang enam bulan terakhir. Kompetisinya sangat panjang dan berliku sehingga menguras energi, emosi, dan banyak hal lagi.
Dimulai pemilu legislatif tanggal 9 April, yang dimenangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai Golkar nomor dua, dan Partai Gerindra yang mengandalkan sosok Prabowo berhasil meraih suara signifikan, menempati peringkat ketiga, mengungguli partai pemenang pemilu sebelumnya, Partai Demokrat.
Kepopuleran Jokowi dari PDIP dan Prabowo dari Gerindra, membuat panggung politik Indonesia untuk calon presiden hanya dikuasai mereka berdua, menyisihkan kandidat-kandidat calon lain yang sudah lama beredar, termasuk Aburizal Bakrie dari Golkar, yang tak kunjung menaikkan elektabilitasnya ke dua digit.
Jokowi dan Prabowo punya posisi tawar yang tinggi untuk mengajak politisi dari partai lain bergabung. Keduanya memang butuh bantuan partai lain karena hasil pemilu legislatif, tak ada satupun partai mendapatkan 20 persen suara sah, sebagai syarat mengajukan pasangan calon.
Pada waktunya, Jokowi menggandeng tokoh senior politisi-pengusaha, Jusuf Kalla. Duet muda-pengalaman ini diusung PDIP. Partai Banteng mengajak Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Keadilan Persatuan Pembangunan (PKPI). Gabungan ini mereka menamakan dengan koalisi “Indonesia Hebat”, dengan identitas baju kotak-kotak dan kemeja putih. Slogannya ‘salam dua jari tengah dan telunjuk”.
Di jalur berseberangan, sang rival, Prabowo Subianto memilih si-rambut perak, Hatta Rajasa. Duet partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN) ini juga disokong beberapa partai berpengalaman. Ada Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),dan Partai Bulan Bintang (PBB). Bahkan masuk belakangan partai yang tengah berkuasa, Partai Demokrat. Inilah koalisi merah putih dengan slogan “Indonesia Bangkit”. Di kertas suara pasangan ini mengenakan kemeja putih berkantong empat dan berkopiah.
Pertama kali dalam sejarah reformasi Indonesia, Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Pada awalnya banyak yang suka dengan head to head semacam ini, lebih seru dan menegangkan. Dipastikan tak ada putaran kedua yang akan menguras energi dan tentu saja menghemat APBN triliunan rupiah.
Namun rupa-rupanya apa yang terjadi, masa-masa kampanye menuju tanggal pemungutan suara, 9 Juli, Indonesia dan seluruh rakyatnya dihinggapi kekhawatiran dan kecemasan atas rivalitas keras dua calon pemimpin ini.
Indonesia seperti terbelah dua. Inilah pemilu paling heboh dan menyita perhatian, dalam artian negatif. Banyak yang bilang Pilpres kali ini adalah pemilu paling beringas dan mencekam. Segala cara dihalalkan untuk meraih tujuan masing-masing. Fitnah dan kebencian tersuguh setiap hari, di semua lini kehidupan, dari berbagai media resmi maupun tak resmi. Kampanye kotor murahan dilakukan secara vulgar dan kasar, saling ejek dan menghina antar pendukung beredar di media sosial Facebook, Twitter, Path, dan BBM.
Ada diantara mereka tak sungkan membawa-bawa nama suku, agama, ras, dan antar golongan yang jelas-jelas melanggar konstitusi dan aturan pemilu. Apa yang terjadi selama menunjukkan buruknya mutu para politisi kita dan masih mentahnya pembangunan demokrasi di negara ini.
Hari ‘H’ Rabu 9 Juli, semestinya kita sudah tahu siapa presiden dan wakil presiden terpilih berdasarkan hitung cepat beberapa lembaga survei yang selama ini kita yakini. Namun ternyata lembaga-lembaga survei pun terbelah dua. Ada yang menyatakan Jokowi-JK sebagai pemenang, namun ada juga yang mengunggulkan Prabowo-Hatta. Masyarakat makin bingung dan kembali harus bersabar menunggu ketetapan KPU. Padahal biasanya hasil KPU tidak klimaks lagi, karena hanya mengkonfirmasi Quick Countpada hari pencoblosan.
Bulan lalu menjelang lebaran, Selasa malam (22/7-2014), Husni Kamil Malik, ketua KPU, dengan resmi menetapkan pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode bakti 2014-2019. Pasangan nomor urut 2 ini dipilih hampir 71 juta masyarakat Indonesia yang tersebar di 33 Provinsi. Perhitungan manual KPU selama 14 hari tersebut, dengan sendirinya mengkonfirmasi secara tegas akurasi hasil hitung cepat delapan lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Sekaligus juga mematahkan manipulasi data empat lembaga survei berbeda yang menyatakan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa-lah sebagai pemenang.
Sebelum perhitungan selesai dan pembacaan penetapan, mengetahui perrhitungannya kalah, kubu Prabowo mengajukan pengunduran diri dari proses Pilpres. Tapi sikap tersebut tak mempengaruhi keabsahan hasil penetapan KPU. Anehnya, tidak lama setelah menyatakan menarik diri, mereka malah menggugat KPU ke MK.
Lagi-lagi pertarungan belum selesai. Rivalitas politik berpindah ke ranah hukum. Sebenarnya tak ada yang istimewa menjadikan MK sebagai upaya terakhir bagi pihak yang tidak siap kalah dalam pemilihan langsung. Megawati Soekarnoputri yang dua kali dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono juga melayangkan gugatan ke MK, dan hasilnya kita sudah ketahui, ditolak.
Ini semacam fenomena reformasi menggelar pemilihan pemimpin secara langsung. Nyaris semua pemilihan kepala daerah harus berakhir di MK. Kalah, segera layangkan gugatan. Siapa tahu bisa menang, meski pun probabilitasnya sangat kecil.
Maka terjadilah yang harus terjadi. Akhirnya setelah menggelar sidang perselisihan hasil pemilu Presiden sejak 6 Agustus, Mahkamah menolak seluruh gugatan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Dalil-dalil yang diajukan seperti kesalahan rekapitulasi KPU, maupun pelanggaran Terstruktur- Sistematik -dan Massif (TSM) tidak bisa dibuktikan.
Pertarungan itu sudah menemui ujungnya. Jokowi-JK secara konstitusional sah untuk dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. Semoga amanah rakyat Indonesia bisa diemban dengan baik oleh kedua pemimpin kita tersebut. Lebih dari sekadar siapa yang menang dan siapa yang kalah, Pemilu kita ini dapat dilalui tanpa kerusuhan dan perpecahan yang dicemaskan.
Terlepas banyaknya ketidaksempurnaan sistem dan mental kita berdemokrasi, setidaknya kita sudah membuktikan bukan bangsa yang suka rusuh. Sebab di atas segalanya, kita mencintai Indonesia.
Salam Persatuan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H