Mohon tunggu...
Croissant Kezia
Croissant Kezia Mohon Tunggu... -

Satu-satunya ..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Biarkan Kursi Itu Kosong

15 Juli 2010   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dengan pandangan yang masih sedikit buram karena air mata, aku melihat Alice, Elisa, Jonathan, dan tema-teman sekelas mengitari kami. Beberapa menatapku dengan sedih. Alice dan Elisa bahkan menangis. Ya ampun... Ternyata mereka semua belum pulang. Aku jadi sedikit malu gara-gara mereka ngeliat aku nangis.

“Lihat? Kami semua teman-temanmu, Ran”, ujar Christ sambil tersenyum.
“Kami juga ngerasa kehilangan Anne, Ran. Bukan cuma kamu”, kata Alice, masih dengan air mata mengalir di pipinya.
“Ran, tolong jangan terus tenggelam dalam kesedihan itu. Anne sekarang udah punya kehidupan sendiri di atas sana, di surga. Dia udah bahagia. Tapi Ran, kamu masih punya kehidupanmu sendiri di sini.... bersama kita”

Aku terdiam, berusaha mencerna kata-kata mereka. Apa yang dikatakan mereka benar. Rasa sedih akibat kehilangan Anne telah membuat mata dan hatiku tidak dapat menyadari keberadaan dari teman-temanku yang lain. Air mataku yang selalu mengalir seolah menutupi keberadaan mereka.

“Maaf.... Maafkan aku...... teman-teman”, kataku pelan.

Alice langsung maju dan memelukku. Christ mengusap-usap kepalaku dengan tangannya yang besar. Ternyata seperti ini rasanya berada di antara teman-teman. Hangat dan nyaman....

**********************************************************************************

Jam masih menunjukkan pukul 06.15. Masih terlalu pagi. Koridor yang biasanya dipadati murid-murid tampak lenggang. Suasana yang jarang kulihat karena biasanya aku selalu nyaris telat. Aku membuka pintu kelas dan meletakkan tasku di atas meja dekat jendela. Kursi di sebelahku masih kosong, tapi itu nggak akan berlangsung lama. Beberapa menit kemudian, pintu kembali terbuka dan Christ masuk dengan headset menempel di telinganya. Dia berjalan mendekati mejaku.

“Boleh duduk di sini?”, tanya Christ.

Aku tersenyum dan mengangguk. Christ meletakkan tasnya dan duduk di sebelahku. Kursi ini sekarang udah nggak kosong lagi. Alice, Elisa, Christ, dan teman sekelas bergantian duduk di kursi Anne. Ternyata emang lebih menyenangkan kalo kursi di sebelahmu nggak dibiarkan kosong.

“Ran, dengerin nih”

Christ mengulurkan salah satu headsetnya kepadaku. Aku memasang benda itu di telingaku. Suara seorang penyanyi legendaris yang melantunkan sebuah lagu dengan lembut memenuhi pendengaranku. Bibirku spontan membentuk sebuah senyuman saat mendengar liriknya. Christ ikut tersenyum bersamaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun