Lagipula, lewat komunikasi interpersonal, AHY-Sylvi dapat memastikan program kerja mereka benar-benar berkorespondensi dengan kebutuhan publik. Blusukan menjadi ajang uji publik yang sebenar-benarnya, sekaligus instrument untuk menghimpun kegiatan-kegiatan turunan dari program-program yang telah disusun. Lagipula, kalau kita mau jujur, bukankah strategi ini yang diterapkan oleh Jokowi ketika maju pilgub maupun pilpres tempo silam?
Benarkah AHY-Sylvi Takut Berdebat?
Pertanyaan ini amat subjektif, tetapi jawabannya jelas tidak. Mengapa? Pertama, AHY telah memiliki modal intelektual yang cukup. Membaca trackrecord-nya, AHY jelas bukan seorang perwira militer yang semata-mata bertempur. AHY adalah alumnus SMA Taruna Nusantara, yang kesohor sebagai sekolah calon pemimpin. Rekrutmennya tidak semata-mata sistem rayon sekolah atau nilai akhir SMP; tetapi ada tes-tes khusus baik secara intelektual, fisik dan karakter. SMA Taruna Nusantara dikenal dengan penekanan pada nilai-nilai kejuangan, kebangsaan dan kebudayaan yang diejawantahkan ke dalam terpadunya aspek prestasi akademik, kesamaptaan jasmani dan kemandirian. Sederhananya, input berkualitas dan proses yang berkualitas akan memproduksi output yang berkualitas.
Selanjutnya, AHY melanjutkan pendidikan di Akedemi Militer Magelang, yang lagi-lagi rekrutmennya amat selektif. Kecuali kursus-kursus kemiliteran tingkat internasional, AHY juga menyandang tiga gelar master dari universitas di luar negeri masing-masing di bidang studi ilmu strategi (Nanyang Technological University), administrasi publik (Harvard University), serta kepemimpinan dan manajemen (Webster university). Bekal ini menegasikan adanya harapan akan terobosan-terobosan out of box.
Kedua, AHY telah berpengalaman menjadi nara sumber, instruktur dan pembicara di berbagai forum dan seminar, baik tingkat nasional maupun internasional. Untuk skala internasional, AHY pernah menjadi narasumber UN Day (2008), International Peacekeeper Day (2011), ASEAN Regional Forum Heads of Defense Universities/ Colleges/ Institutions Meeting (2011). The International Conference on Futurology (2011 & 2012) Forum International Conference on Global Terrorism (2013). (2) Dengan pengalaman skala internasional ini, AHY tentu tidak canggung untuk berdebat perihal pilgub DKI Jakarta.
Ketiga, AHY didampingi oleh “ekslopedia hidup” Pemrov DKI Jakarta, Sylviana Murni. Siapa yang meragukan wawasan Sylvi terkait pemerintahan DKI Jakarta, sampai yang tetek-bengeknya sekalipun. Sylvi sudah mengabdi selama 31 tahun sebagai birokrat. Ia pernah mengisi 11 jabatan yang berbeda dan mengabdi pada masa kepemimpinan 7 gubernur di Jakarta. Bidang yang diurus Sylvi pun amat beragam, dari pembinaan mental masyarakat, seni budaya, sosial, dukcapil, pendidikan dasar, legislator, tata pemerintahan, sampai Satpol PP. Posisi puncak Sylvia adalah Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan. (3) Adakah kandidat lainnya yang memiliki pengalaman di pemprov DKI Jakarta sekaya Sylvi?
Dengan modal intelektual, gemblengan militer dan dukungan “ekslopedia hidup” Pemprov DKI Jakarta, menjadi amat janggal bila AHY dituding takut debat pilgub. Alasannya yang paling tepat, hal ini semata-mata hanya strategi pemenangan yang berbeda dengan kandidat lainnya.
Debat, siapa yang paling diuntungkan?
Paslon mana yang paling diuntungkan dengan debat di televisi tempo hari? Jawabannya adalah paslon Ahok-Djarot. Pasalnya, paslon no urut 2 ini sedang tertimpa masalah. Sebagai dampak dari dugaan kasus penistaan agama, tingkat elektabilitas Ahok menurun drastis. Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi menyebutnya dengan istilah “ada perbedaan antara hati dan pikiran”. Maksudnya, yang puas dengan kinerja Ahok tetapi tidak memilihnya.
Akibatnya, Ahok-Djarot harus melancarkan strategi hati. Metode yang paling efektif adalah blusukan. Masalahnya, areal blusukan Ahok-Djarot tidak seluas dulu. Padahal, para pengunjung Rumah Lembang tentu tidak bisa menjangkau segenap representasi warga Jakarta.
Akibat keterbatasan ruang gerak, strategi hati terpaksa dilakukan lewat udara. Amati baik-baik. Porsi gembar-gembor keberhasilan Ahok-Djarot cenderung menurun, bergeser pada hal-hal emosional. Ambil contoh menangis di persidangan, kakak angkat yang merangkul dengan penuh duka, sampai ucapan-ucapan “kasar” ala Ahok yang sontak lenyap dari media massa maupun media sosial.