Dan akhirnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di-bully.Alasannya karena AHY enggan hadir dalam debat kandidat pilgub DKI yang digelar televisi swasta. Media massa pun riuh. Buzzer medsos ramai-ramai mengkontruksi citra negatif untuk AHY. Mulai dari AHY takut dibully, AHY tak siap jadi pemimpin, AHY tak punya program, AHY tak pandai berdebat, dan lainnya.
Tidak ada aturan kampanye yang dilanggar. Tetapi toh klarifikasi tim pemenangan AHY-Silvi tampaknya tidak digubris. Alasan bahwa AHY-Silvi lebih mengutamakan blusukan ketimbang debat, dan debat di sejumlah TV itu bukanlah debat yang resmi, tidak lantas menghentikan tsunami pembullyan ini.
Lantas, sedemikian pentingkah debat? Jika iya penting untuk siapa? Untuk menjawab hal ini kita bisa berpanduan pada riset Laswell dalam The American Political Science Review. Bapak perintis ilmu komunikasi modern ini menyebut “efek” dan “pengaruh” komunikasi massa dapat dianalisa dengan pertanyaan : 1) siapa; 2) mengatakan apa; 3) di saluran mana; 4) kepada siapa; 5) dengan akibat (efek) apa”. Kelima faktor ini wajib dianalis untuk menentukan strategi kampanye yang paling efektif.
Menyibukan Diri Bersama Rakyat
Survei Indikator yang dihelat pada 15-22 November 2016 menegaskan hampir seluruh pemilih DKI Jakarta sudah mengenal semua Cagub. Popularitasnya masing-masing: Basuki Tjahaya Purnama (100%); AHY (97%) dan Anies Baswedan (92%).
Artinya, strategi sudah bergeser dari popularitas menuju meningkatkan elektabilitas. Titiannya adalah disukai. Kebetulan, tingkat kesukaan AHY adalah 68%, lebih tinggi 1% dari Anies. Sementara tingkat kesukaan Ahok ada pada posisi buncit, yaitu 52%. Sebagai muka baru dalam jagad politik DKI Jakarta, artinya strategi kampanye AHY sudah pada track yang benar, yaitu blusukan, atau meminjam istilah AHY, “menyibukkan diri bersama rakyat”
Saat popularitas sudah seimbang, pertanyaannya menjadi: dapatkah debat di televisi meningkatkan tingkat kesukaan pada kandidat? Jawabannya dapat. Syaratnya harus berulang-ulang dan terus-menerus. Agitasi! Di sini kecenderungan politik media yang mengambil-alih, yaitu dengan menentukan arah dan intensitas pemberitaan untuk membangun citra positif kandidat yang dipilih. Intinya, bagi kandidat yang bukan media darling, efektifitas debat televisi dalam meningkatkan tingkat kesukaan pemilih tergolong lemah.
Lagi pula, data survei indikator juga menemukan hanya 24% pemilih yang sudah menentukan pilihan akan mengubah pilihan. Massa mengambang tersisa 19%. Pemilih yang 24% ini sulit “tergoda” hanya dengan menonton debat televisi. Sebaliknya, dengan gencarnya kabar-berita Pilgub Jakarta, besar potensi massa mengambang adalah kalangan yang amat selektif. Mereka jelas tidak ujug-ujug berubah hanya karena informasi dari media mainstream.
Sehingga strategi terbaik untuk menarik dukungan mereka bukan dengan “serangan udara”, tetapi “serangan hati”; komunikasi interpersonal alias blusukan. Joseph A Devito, pakar psikologi komunikasi, mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera. Komunikasi jenis ini paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan.Intinya, lewat blusukan peluang untuk mempengaruhi tingkat kesukaan publik jauh lebih besar.
Terkait hal ini, kita juga bisa membaca pandangan Peneliti LIPI Siti Zuhro bahwa debat diperlukan sebagai klimaks atau puncak dari kampanye sehingga masyarakat pemilih bisa merekonfirmasi semua keunggulan dan kelemahan calon. "Memperkenalkan diri, menyapa, berdialog langsung dan bertanya ke rakyat adalah penting ketimbang semata-mata hanya dilihat di televisi,” katanya. (1)
Maka menjadi amat wajar jika AHY-Sylvi lebih mengutamakan menuntaskan janji temu dengan kalangan Tionghoa ketimbang ikut debat di televisi yang jadwalnya bertubrukan itu. Pasalnya, survei Indikator menemukan 79,1% pemilih Tionghoa sudah mendukung Ahok. Melakukan komunikasi interpersonal jelas lebih efektif untuk menggambil ceruk suara pemilih Tionghoa yang belum mendukung Ahok-Djarot. Sungguh sangat disayangkan jika peluang ini dilepaskan untuk mengejar “serangan udara”.