Mohon tunggu...
cristanovalya
cristanovalya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perilaku Menyimpang pada Remaja Ditinjau dari Perspektif Kognitif

24 Desember 2024   16:03 Diperbarui: 24 Desember 2024   16:49 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa remaja merupakan periode transisi yang krusial dalam perkembangan individu, ditandai dengan perubahan fisik, emosional, dan sosial yang signifikan. Perubahan-perubahan ini seringkali memicu munculnya berbagai perilaku, termasuk perilaku yang menyimpang dari norma sosial yang berlaku. Perilaku penyimpang pada remaja menjadi perhatian serius karena dapat berdampak jangka panjang pada kehidupan individu maupun masyarakat.

Masa remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap. Di samping itu, masa remaja adalah masa yang rawan oleh pengaruh-pengaruh negatif, seperti narkoba, kriminal, dan lain sebagainya. Remaja mempunyai berbagai kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi. Hal itu merupakan sumber timbulnya berbagai problem pada remaja. Problem remaja adalah masalah yang dihadapi para remaja sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat remaja itu hidup dan berkembang (Willis,2005).

Kenakalan remaja merupakan masalah sosial yang kompleks dan seringkali menjadi perhatian publik. Perilaku menyimpang seperti vandalisme, pencurian, hingga penggunaan narkoba seringkali dikaitkan dengan masa remaja. Untuk memahami akar permasalahan ini, berbagai teori telah diajukan, salah satunya adalah teori kognitif. Teori ini menekankan peran pikiran dan persepsi dalam membentuk perilaku individu.

Remaja yang terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh negatif tersebut akan melakukan tindakan yang melanggar aturan atau berperilaku delinkuen. Sarwono (2002) mengungkapkan delinkuen pada remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa delinkuen pada remaja adalah suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan mengganggu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan delinkuen pada remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.

Dalam penelitian Hartati disebutkan bahawa penelitian dilakukan dalam rangka pendekatan kognitif untuk remaja. Pendekatan bertujuan untuk membantu remaja agar lebih mampu dalam menilai dan mengkritik diri yang negatif, sehingga remaja bisa mengetahui hal negatif yang ada dalam dirinya, dan kemudian bisa merubahnya menjadi positif. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah pendekatan kognitif untuk melihat pengaruh kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja. Rancangan penelitian menggunakan desain eksperimen ulang non-random (non-randomized pre-test post-test, control group design) dengan follow-up. Subjek berjumlah 10 orang remaja laki-laki dan perempuan berusia 13-15 tahun yang memiliki nilai kecenderungan perilaku delinkuen tinggi dan sedang , lima orang pada kelompok eksperimen dan lima orang pada kelompok kontrol. Saat intervensi subjek diberikan materi mengenai perilaku delinkuen dan pendekatan kognitif, setelah itu subjek diminta menuliskan kritik negatif tentang diri mereka. Intervensi dilakukan sebanyak lima kali pertemuan, dan diukur menggunakan skala kecenderungan perilaku delinkuen pada pertemuan pertama (pre-test), pertemuan ke lima (post-test), dan pada followup. Hasil uji Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan adanya penurunan kecenderungan perilaku delinkuen subjek setelah pendekatan kognitif, yaitu pada saat pre-test ke post-test dengan nilai Z = -1.753 dan taraf signifikansi 0,04 (p < 0,05). Saat post-test ke follow-up, dengan nilai Z = - 0,944 dan taraf signifikansi 0,173 (p > 0,05). Saat pre-test ke follow-up dengan nilai Z = - 0,677 dan taraf signifikansi 0,249 (p > 0,05). Hasil yang didapatkan memperlihatkan bahwa menuliskan kritik negatif tentang diri dalam pendekatan kognitif mampu untuk menurunkan kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja.

Untuk memahami akar penyebab dan dinamika perilaku penyimpang pada remaja, perlu dilakukan kajian dari berbagai perspektif. Salah satu perspektif yang relevan adalah perspektif kognitif. Perspektif ini menekankan peran proses mental seperti persepsi, pikiran, dan keyakinan dalam membentuk perilaku individu. Dengan kata lain, perilaku penyimpang pada remaja dapat dipandang sebagai hasil dari cara remaja memproses informasi dan menafsirkan dunia di sekitarnya.

Untuk mengurangi kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja, maka alternatif yang diberikan adalah intervensi melalui pendekatan kognitif. Penelitian ini difokuskan pada faktor kognisi yang diasumsikan sebagai salah satu penyebab perilaku delinkuen.

Teori Kognitif dan Kenakalan Remaja

Teori kognitif berpendapat bahwa cara seseorang berpikir dan menginterpretasikan informasi akan sangat mempengaruhi perilakunya. Dalam konteks kenakalan remaja, teori ini menggarisbawahi beberapa faktor kognitif yang dapat berkontribusi pada perilaku menyimpang, antara lain:

1. Pengetahuan yang Salah

Remaja yang memiliki pengetahuan yang salah tentang konsekuensi dari tindakan mereka cenderung lebih berani melakukan tindakan yang melanggar norma. Misalnya, mereka mungkin berpikir bahwa menggunakan narkoba tidak akan menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan mereka.

2. Keyakinan yang Distorsi

Keyakinan yang tidak realistis atau distorsi kognitif dapat mendorong remaja untuk melakukan tindakan impulsif dan agresif. Misalnya, remaja yang merasa dirinya tidak diterima oleh teman-temannya mungkin melakukan tindakan vandalisme untuk mendapatkan perhatian.

3. Atribusi yang Negatif

Cara seseorang menjelaskan penyebab suatu kejadian juga dapat mempengaruhi perilakunya. Remaja yang sering menyalahkan orang lain atas kegagalannya atau memiliki atribusi internal yang negatif (misalnya, menganggap dirinya tidak berguna) cenderung mengalami kesulitan dalam mengelola emosi dan lebih mudah terlibat dalam perilaku berisiko.

4. Perencanaan yang Buruk

Remaja yang memiliki kesulitan dalam merencanakan tindakan dan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang cenderung lebih impulsif dan kurang mampu mengendalikan dorongan mereka.

Implikasi Teori Kognitif dalam Pencegahan Kenakalan Remaja

Memahami peran kognitif dalam kenakalan remaja memiliki implikasi penting dalam upaya pencegahan. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan berdasarkan teori kognitif antara lain:

1. Pendidikan

Memberikan pendidikan yang tepat tentang konsekuensi dari tindakan yang melanggar norma dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis pada remaja dapat membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik.

2. Psikoterapi Kognitif

Terapi kognitif-behavioral dapat membantu remaja mengidentifikasi dan mengubah pola pikir yang tidak sehat serta mengembangkan keterampilan coping yang lebih efektif.

3. Program Pengembangan Diri

Program-program yang fokus pada pengembangan diri, seperti pelatihan keterampilan sosial dan pengambilan keputusan, dapat membantu remaja meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan orang lain.

Kenakalan remaja merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor kognitif. Dengan memahami bagaimana pikiran dan persepsi remaja mempengaruhi perilaku mereka, kita dapat mengembangkan intervensi yang lebih efektif untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Pendekatan yang komprehensif yang menggabungkan pendidikan, psikoterapi, dan program pengembangan diri merupakan kunci untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan remaja.

Berdasarkan proses dan hasil penelitian yang telah dilakukan pada sepuluh subjek di SMP swasta Yogyakarta, disimpulkan bahwa pendekatan kognitif dapat menurunkan kecenderungan perilaku delinkuen pada subjek penelitian ini, yaitu anak kelas VIII SMP, berusia 13 sampai 15 tahun dan melakukan perilaku delinkuen yaitu bolos sekolah,bolos pada jam pelajaran sekolah, merokok, berpakaian tidak rapi, tidak mengikuti PBM dengan baik dan komunikasi yang tidak baik.

Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir semester III mata kuliah Psikologi Kognitif dengan dosen pengampu Ibu Flora Grace Putrianti, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog. Nama Anggota : 

1) Fazdad Taufiqurrahman (20190110910) 

2) Yokebet Septin Revivani (2023011069) 

3) Aldi Nugroho (2023011075) 

4) Crista Novalya (2023011103) 

Referensi: 

Santrock, J.W. (2002). Perkembangan Masa Hidup. Jilid 2. Edisi Kelima alih bahasa: Damanik, J & Chusairi,A. Jakarta : Erlangga. 

Santrock, J.W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Alih bahasa: Adelan,B.S & Saragih.S.Jakarta : Erlangga. 

Sarwono, S.W. (2002). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 

Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental. Jilid 3. Yogyakarta: Kanisius. Sterm B.S & Smith A.C. (1995). Family Processes and Delinquency in an Ecological Context. Journal The Social Service Review, Vol. 69, No. 4 (Dec., 1995), pp. 703-731 diakses tanggal 14 Januari 2010. http://www.jstor.org/stable/30012875. 

Turgey, A. (2009). Psychopharmacological Treatment of Oppositional Defiant Disorder, Journal ADHD Toronto Clinic University of Toronto, Toronto, Ontario, Canada, CNS Drugs 2009; 23

Willis, S.S.(2005). Remaja dan Permasalahannya. Bandung: CV Alfabeta. 31 Pelajar Kena Razia. (2010, 9 Oktober). Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun