“Benar apa kata Bapakmu, le,” alih-alih mendukungku, Ibu malah mengamini ucapan Bapak. “Kita ini betul boleh jadi orang susah, tapi jangan sampai jadi orang bodoh. Jangan mau ditipu. Sudah, buang saja bungkus kopi itu.”
Aku terdiam.
_____
Pak Diran membolak-balik bungkus kopi di tangannya. Aku menatapnya kosong. Otakku sudah tak mampu berpikir apa-apa lagi.
Kemarin aku tak menuruti kata-kata Ibu untuk membuang saja bungkus kopi itu. Diam-diam aku menyimpannya sambil memikirkan bagaimana menelisik kebenaran tulisan dalam hologram di dalamnya. Kami tak mempunyai pesawat telepon yang bisa digunakan untuk memeriksa kebenaran hologram itu.
Hingga semalam aku menemukan siapa yang mungkin bisa kumintai tolong. Pak Diran. Kepala SMA tempatku menuntut ilmu. Hampir aku tak bisa memicingkan mata menunggu pagi datang.
“Kelihatannya asli, Bi,” ucap Pak Diran, hati-hati.
Jantungku langsung berdebar kencang.
“Tapi jangan senang dulu, kita cek dulu,” Pak Diran meraih gagang telepon di mejanya.
Beberapa saat kemudian, ketika melihat betapa shock wajah Pak Diran setelah melakukan sambungan telepon, aku tahu hidupku akan berubah.