Aku pernah tak mencintaimu. Ya, itu kau tahu. Dulu, saat waktu baru saja bergulir sedikit untuk memberi kesempatan kita bertemu. Tapi bagaimana setelah waktu terus menggulung kita hingga separuh senja sudah menjelang?
“Ini rasaku, Ma,” aku hanya mampu membisikkannya. “Tak mampu berpikir tentang arti kehilangan dirimu.”
“Apakah itu cinta, Pa?” kau menyergah tiba-tiba.
“Cinta itu apa sebenarnya?” aku balik bertanya.
Kau kembali membisu menatap separuh senja. Tak mau menjawab? Ataukah tak mampu menjawab? Seperti aku juga tak mampu menjawab seribu kali tanya yang sudah kau ucapkan?
“Kita telah sekian lama bersama,” kuraih jemarimu dan kugenggam erat. “Telah menyatukan hati dan janji. Telah berusaha menyamakan langkah walaupun masih timpang sesekali.”
“Tapi apakah kau mencintaiku?”
Untuk kesekian kalinya pertanyaanmu membuatku mati kutu. Aku berusaha untuk tak kelihatan putus asa.
“Lalu kau pikir apa artinya kesetiaanku selama ini?” hanya itu yang bisa kuungkapkan, pada akhirnya.
“Karena kau sudah terlanjur berjanji untuk menikahiku dalam ikatan sehidup-semati.”
Telak. Kau menghantamku dengan begitu telak. Dan kau benar adanya. Tapi tak juga persis seperti itu!