Mohon tunggu...
Chris D.a
Chris D.a Mohon Tunggu... -

Just an ordinary man. Hard-worker, husband, father

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[FKK] Alegori Kota Dingin

14 Juni 2014   03:22 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:49 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku hampir tertawa mendengar kalimat jahil itu. Dan aku menatapnya. Memuaskan mataku. Entah apakah aku masih bisa berkenalan dengannya ataukah tidak.

Sepenuhnya dia persis seperti gambaran anak laki-laki yang kuinginkan. Itu menimbulkan rasa nyeri di hati. Gabriel-ku sudah terbang pergi hanya kurang dari dua jam setelah dia dilahirkan beberapa tahun lalu. Dan kau memiliki Gabriel-mu yang sempurna.

Apakah itu adil?

Kurasa cukup adil karena aku masih memiliki Patricia-ku di rumah. Seorang anak perempuan yang kulihat tak ada dalam kumpulan hangat di mejamu. Patricia, sebuah nama yang kau inginkan untuk anak perempuan kita kelak. Patricia, sebuah nama yang jadi salah satu alasan untuk membuatku mengangguk ketika ibunya memintaku untuk jadi ayah dari anaknya itu.

Dan dalam diam kunikmati semangkok bakso yang terhidang di depanku. Masih seenak dulu. Ataukah karena punggungmu berada tepat di depanku?

Aku terpaksa menyerah pada detik berlari yang tak bisa kuhentikan. Lalu semuanya berakhir dan kau beranjak pergi tanpa sedikit pun menengok ke arahku. Dalam sesak di dada kuhabiskan tetes-tetes terakhir es teh manis dalam gelasku.

Kau menghilang ke dalam city car berwarna biru muda itu. Bersama orang-orang yang mencintaimu. Dan aku tahu kau cintai juga. Melaju pergi entah ke mana.

Aku tak tahu haruskah sedih atau bahagia melihat senyummu. Tapi dari mawar-mawar yang kau tinggalkan di makam keluargaku, aku tahu kau masih peduli. Dari senyum dan tawamu yang sempat kulihat dan kudengar, aku tahu kau bahagia dengan hidupmu. Aku harus bahagia untuk itu kan? Walau ada sebersit rasa sedih masih bersemayam dalam hatiku. Karena kau tak lagi boleh jadi milikku.

Kuputuskan untuk menyudahi saja perjalananku lebih cepat. Karena entah kenapa sekarang kota ini terasa begitu dingin buatku. Aku tak lagi punya tempat bernama rumah di sini karena semuanya berakhir ketika ibu keduaku berpulang.

Kuurungkan niatku untuk menikmati sarapan di Pecel Glintung atau Pecel Kawi esok pagi. Atau menikmati Rujak Tenes esok siang. Atau Sego Buk. Atau Mie Gang Jangkrik. Atau menjes goreng dan weci dengan cocolan sambal petis. Atau segalanya yang mengingatkanku padamu dan tawa riangmu.

Dan angkot biru ini pada akhirnya membawaku pergi membelah jalanan menuju ke utara. Aku ingin sejenak pulang pada sebuah rumah tempatku pernah melepaskan penat dan segala sesak hatiku. Rumah eyangku, yang sekarang dihuni keluarga sepupuku. Kamarku masih ada di sana. Sekedar menampungku sejenak ketika aku ingin mengembalikan ingatan dan kenanganku pada sebuah episode hidupku di kota ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun