Lalu tatapanku jatuh padanya. Seorang perempuan yang menyambut anak laki-laki itu dengan senyum. Menerima setangkai mawar itu sambil mengucapkan terima kasih yang terdengar walau samar di telingaku. Lalu menatap laki-laki tinggi besar di sampingnya masih dengan senyum yang terukir indah.
Perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari bahwa perempuan penggenggam mawar itu adalah kau. Yang sudah meletakkan lima tangkai mawar masing-masing satu pada tiap makam keluargaku.
Haruskah aku menyapamu? Perempuan yang selalu kucintai seumur hidupku? Aku terpaksa menggeleng.
Dan ketika satu-satunya meja yang tersisa adalah di belakang punggungmu dan laki-laki tinggi besar itu, maka aku terpaksa duduk di sana. Terpaksa? Kau tidak tahu betapa debar itu penuh bertalu di sekujur jantungku walau hanya bisa menatap punggungmu. Antara ingin dan rindu. Itukah yang namanya terpaksa?
"Ibu, boleh aku tambah lagi?"
Aku menatapnya. Anak laki-laki kecil itu. Anakmu. Lalu kudengar tawamu.
"Gabriel, habiskan dulu yang ada di mangkokmu, baru kamu boleh tambah lagi," bahkan suaramu masih teralun sama seperti dulu.
Dan siapa, katamu? Gabriel? Hei! Bukankah itu nama malaikat yang kuinginkan untuk anak laki-laki kita kelak?
"Tapi lama antrinya, Bu," suara itu penuh rajukan.
"Mm.... Ya sudah, pesanlah lagi. Tapi janji nanti dihabiskan ya?"
"Kan bisa dibantu Bapak."