Angin berhembus dan menyentakkan kesadaranku. Dalam setiap bait doa yang kupanjatkan padaNya tersirat rinduku yang mendalam pada semua orang tercinta yang jasad utuhnya pernah terbaring di dalam tanah tempat ini. Ketika semuanya sudah tuntas aku pun beranjak.
"Ke mana lagi, Pak?" tanya sopir taksi itu, yang sudah menungguku dengan sabar.
"Bakso Presiden ya, Pak....," jawabku.
Bakso Presiden.... Dan waktuku seolah terbang kembali pada masa di mana ada sebuah bioskop Presiden pernah berdiri kukuh menyembunyikan lokasi warung bakso itu di belakang punggungnya, sebelum berganti menjadi sebuah department store. Warung bakso tempatku berkencan denganmu pada setiap kesempatan yang ada dalam kesempitan waktu yang kita punya. Menghadapi dua mangkok bakso dan menghabiskannya pelan-pelan sambil sesekali bertukar ucapan dan tatapan. Dan waktu seakan selalu berhenti berputar di sekitar kita....
Masihkah kau mengingatnya?
"Ditunggu lagi, Pak?"
Aku menimbang sejenak pertanyaan sopir taksi itu. Kemudian aku menggeleng.
"Ndak usah, Pak, makasih."
Dan dia berkali-kali mengucapkan terima kasih karena aku membayarnya lebih dari yang dia minta. Sedikit penghargaan karena dia sudah memenuhi permintaanku untuk sekedar membantuku me-review kenangan pada tempat yang kuinginkan.
Entah kenapa seolah ada magnet yang menarik tatapanku untuk jatuh pada sebuah city car berplat nomor B yang parkir di depanku. Ada seorang anak laki-laki yang sedang mengambil sesuatu di dalamnya. Sepertinya aku pernah melihat mobil itu....
Dan aku tercekat ketika melihat sesuatu yang tergenggam oleh tangannya. Setangkai mawar segar. Mawar itu.... Aku hendak bertanya tapi anak laki-laki itu sudah berlari menjauh setelah mengunci pintu mobilnya.