“Tuhan menyayangimu dan Ia akan memberimu.”
Lelaki itu menoleh ke kanan. Di kanan tengah di sebelah ranting yang patah, sesuatu yang ia tahu.
Apa yang akan Tuhan berikan?
“Sesosok yang lain, agar kau tak asing.”
Apakah ia sesuatu yang kutahu?
“Belum. Tapi kau akan tahu, persis ketika Ia mencuri salah satu rusukmu.”
Percakapan yang singkat. Tak tergoda bahkan oleh hujan yang pekat. Sesuatu itu lenyap. Lelaki itu kembali sendiri.
Ada perubahan warna menjadi sangat muda dan pudar dan hambar. Masih biru, tapi nyaris putih memuih. Lalu sebuah bunyi, bukan suara. Sebuah bunyi yang tak mengenal warna. Seperti ada kabut, dan di baliknya benda-benda jadi silhuet yang berpindah-pindah dengan cepat.
Satu detik. Tiga detik. Setengah menit. Satu menit. Lalu bunyi itu pergi. Hening. Warna melindap gelap. Satu-satu, benda-benda tampak tertata di sana.
Sesosok lelaki yang beberapa saat lalu terlihat, tampak sedang tidur mendengkur di sebuah ruang yang memang lengang. Sebuah pohon di sebelah kirinya tak berbuah. Sesuatu di sebelah kanannya bukanlah rumah. Sebuah suara, berat menjerat, seolah titah bagi seberkas cahaya untuk lambat mendekat. Perlahan, muncul tangan. Perlahan, sebuah kejadian.
Meski beberapa saat di layar itu terang gelap saling bergantian, angin selain lain juga berpilin, burung-burung terbang tiba-tiba untuk lesap saat itu juga, lelaki itu tampak tak berontak ketika tangan itu mematahkan dan mencuri sebuah rusuknya, tulang yang kelak hilang. Gerakan lambat. Kondisi serupa masih terjaga. Baru ketika tangan itu terhisap pusat cahaya, dan cahaya itu bergeser ke kanan hingga tak ada, gelap melengkap dan angin mati. Dari atas, turun terbata-bata, sebuah tubuh yang sama rapuh. Menjejak kakinya, sosok baru itu menoleh menatap lelaki itu. Ia seperti mengenali, tapi tak mungkin, sebab ia baru ada. Di samping kanan lelaki itu, ia berbaring. Seketika ia tak sadar dan itu wajar. Sebab ia baru saja ada. Dan semua yang menyaksikan sungguh yakin, sosok baru itu belum tahu apa-apa tentang dirinya, tentang untuk apa ia dicipta.