Indikasinya, netizen Indonesia cenderung mudah untuk terpapar disinformasi (informasi yang sengaja disebarkan dengan tujuan menipu) maupun misinformasi (informasi tidak akurat yang bisa tersebar karena ketidaksengajaan).
Kebijakan jurnalistik
Sebuah informasi dianggap kredibel apabila dipaparkan oleh sumber yang kompeten. Misalnya, penjelasan mendalam mengenai penyebab dan cara mengatasi suatu penyakit akan lebih dapat diandalkan jika dijelaskan oleh seseorang yang berprofesi sebagai dokter, bukan pengacara.
Sama halnya dengan produk berita. Artikel berita yang ditulis oleh seorang jurnalis kompeten selayaknya dapat dipercaya dibandingkan dengan tulisan yang dimuat di blog oleh sosok tanpa kompetensi di bidang jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) diputuskan oleh Dewan Pers sejak masa setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1968, dengan wujud terbaru yang disahkan pada tahun 2006. KEJ berfungsi sebagai pagar penjaga bagi jurnalis untuk memproduksi dan mendistribusikan berita tanpa merugikan pihak manapun.
Kredibilitas produk berita jurnalistik diatur seperti dalam KEJ Pasal 1 dan Pasal 2. Bunyi dari Pasal 1 adalah "Jurnalis Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk." dengan penafsiran pada poin B yaitu "Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.". Pasal 2 berbunyi "Jurnalis Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik." dengan penafsiran cara-cara profesional pada poin G yaitu "tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan jurnalis lain sebagai karya sendiri;".
Selain KEJ, Dewan Pers (2012) telah mengeluarkan Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS), khusus mengenai kebijakan terhadap publikasi berita di media online.
Dalam pedoman tersebut, perihal kredibilitas tertuang pada poin 2 yakni "Verifikasi dan keberimbangan berita". Inti dari poin tersebut adalah bahwa sebuah berita harus memiliki sumber yang kredibel dan kompeten.
Kedua kebijakan di atas menunjukkan bahwa sebuah produk berita semestinya bersifat akurat dan terhindar dari plagiarisme.
Studi kasus akurasi berita
Jurnal "Ada Apa Dengan Media Siber?" oleh Bangun (2018) menceritakan mengenai media berita online yang diadukan ke Dewan Pers yang terbagi dalam dua pengelompokkan -- media mainstream bereputasi, memiliki badan hukum Indonesia, serta dikelola oleh jurnalis bersertifikat yang telah menerapkan standar dari Dewan Pers dan media baru yang belum berbadan hukum, tidak dikelola oleh jurnalis utama, serta pengelolaan redaksi tidak sesuai standar.