Ketika ada redefinisi etika di kalangan milineal ini, suara mayoritas pemilu 2024. Ketika kalangan non milineal menganggap ada penurunan etika dari kaum milineal. Sehingga keputusan pragmatismenya adalah bagaimana mendapatkan suara kaum milineal dengan "memahami" mereka. Permasalahannya, pemahaman etika itu butuh waktu, sehingga tidak bisa berubah dengan cepat atau memaksakan. Kaum banyak boomer ketika bicara dikalangan mereka sendiri beranggapan itu ada masalah etika, tapi kalangan milineal sebaliknya.
Hasil survei menunjukkan suara Prabowo-Gibran bertambah walaupun ada isu etika di MK. Banyak yang mendukung dan tidak. Mendukung ada masalah etika karena pamannya "Gibran" adalah Ketua MK pada waktu itu, walau yang tidak mendukungnya mempunyai alasan jika penuntutnya tidak langsung Gibran dan dampaknya kepada semua orang. Ketika isu anak Presiden seharusnya tidak ikut, maka yang menolaknya kemudian melihat kedirinya masing-masing, khususnya kaum milineal menengah ke atas yang berasal dari orang tua yang mapan, merasa mereka seolah-olah dilarang berkontribusi di dalam aksi nyata.
Etika kaum milineal itu lebih pragmatis tapi juga melankolis sekaligus rasional. Sehingga mereka cenderung bukan komunitas yang dituntut loyalitas penuh, mereka punya pikiran sendiri dan agak kesulitan dalam melakukan pemaksaan kepada mereka. Sehingga ingin tahu mereka, tidak bisa hanya merefleksikan kepada diri kita sendiri, tapi membawa diri kita kepada diri mereka juga tidak mudah karena perbedaan nilai dan zaman.
Fenomena Dinasti
Mau tidak mau, Presiden Jokowi adalah tokoh fenomenal. Secara common sense, ia adalah korban dari Ibu Megawati, sebutan Petugas Partai, cara memperlakukan Presiden di depan umum, dst. Dengan alasan itu, alih2 ke PDI Perjuangan, ia memperjuangkan anaknya ke Cawapres  (berhasil jadi Walkot) dan anak bungsunya menjadi Ketum PSI dengan segala kontroversialnya. Seolah-olah ingin melawan ketidakadilan. Ini cukup menarik perhatian pemilih potensial.
Sehingga ketika isu "ordal" atau ""dinasti/keluarga" menjadi tidak relevan digoreng. Seorang Jokowi, tidak punya partai, pada masanya anaknya Wali Kota Solo, Wali Kota Medan, dan Ketum PSI, bahkan menjadi Cawapres bersama Prabowo dengan potensi kemenangan yang besar sekali.Â
Secara politik, semua partai di Indonesia banyak yang dinasti, karena modal partai tersebut hanya dari segelintir orang seperti Nasdem dengan Prananda Surya Paloh, Perindo juga sama ada Angela Tanoesoedibyo, PDIP ada Puan Maharani dan Prananda Prabowo, Demokrat dengan AHY-nya, ditambah Kaesang Jokowi dengan PSI-nya. Apa yang terjadi di PDIP saat ini dan Demokrat sebelumnya dengan isu dinasti akan terjadi juga di partai-partai tersebut ke depannya.Â
Bahkan Anies Baswedan sendiri masuk ke dalam kekuatan Surya Paloh dengan dinastinya. Kecuali Anies Baswedan kemudian mendirikan partai sendiri dengan segala aksi perubahannya, tapi selama di bawah Nasdem maka ada dinasti Surya Paloh. Hal yang sama dengan Ganjar, seperti yang dialami oleh Jokowi, ia kemudian dianggap petugas partai yang dikuasai oleh dinasti Megawati. Berbeda dengan Prabowo, sampai saat ini belum terlihat dinastinya, kita akan melihat ke depan. Semua calon Presiden dan Wapres kita tidak terlepas dari pengaruh dinasti.Â
Potensi
Pilpres 2024 ini, seharusnya lebih kepada program, tidak kepada personal. Karena ketika membahas isu personal hanya akan menampar mukanya sendiri. Dalam bayangan saya, kaum milenial hanya akan menertawakannya dan akan lebih memihak kepada yang paling ditekan atau dipojokkan.
Isu program perubahan dan tidak perubahan kemudian terbagi, Prabowo sebagai status quo dan Anies sebagai Perubahan, maka Ganjar yang status quo dan perubahan. Ketika Kaesang menanyakan kemana arah Ganjar itu menjadi perhatian yang penting sebenarnya.