Untuk sistem demokrasi yang berbasiskan popularitas, maka "siapa" yang "telah" melakukan "apa" akan menjadi "bahan" kampanye. Ini sebenarnya, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh founding father dan pejuang kemerdekaan lainnya, mereka yang berpikir "apa" yang diberikan demi bangsa "tanpa" harus mendapatkan "apa-apa".
Masa perjuangan kemerdekaan memang berbeda dengan masa mengisi kemerdekaan atau damai. Masa perdamaian dipenuhi dengan masa pemenuhan materi, masa pemenuhan kesejahteraan, masa gengsi dan martabat pribadi/kelompok/golongan menjadi utama, baik secara materi maupun non materi.
Fenomena Menarik 2024
Pada 2024 ini ada beberapa fenomena menarik. Fenomena Muhaimin, Mahfudz MD, dan Gibran, dalam diskusi yang berkembang diawal, elektabilitas  capres dan cawapres amat diperhitungkan, tapi dalam kenyataannya tidak. Ketiganya sama sekali tidak mempunyai elektabilitas yang tinggi. Hanya saja, pemilihannya lebih berdasarkan pengaruh NU yang melekat pada Muhaimin, pengaruh figur Jokowi yang melekat pada Gibran, dan pengaruh orang berani dan bersih dari korupsi yang melekat pada Mahfudz. Bukan elektabilitas.Â
Fenomena PSI juga menarik, partai ini dengan jadinya Kaesang menjadi Ketum, telah mendongkrak suara dari partai ini, diakui atau tidak. Pengaruh Jokowi untuk partai diarahkan ke PSI dan untuk penggantinya diarahkan ke Gibran. Fenomena lainnya adalah bergabungnya Muhaimin dengan Anies Baswedan juga memberikan perspektif tersendiri akan begitu cairnya perpolitikan di Indonesia saat ini.
Ketika Prabowo memilih Gibran sebagai cawapresnya, bahkan setelah adanya narasi Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Keluarga karena ada kesan semua kekuatan atau skenario menggolkan Gibran agar bisa menjadi Cawapres. Tetap saja elektabilitas Prabowo-Gibran menguat, ada kecenderungan naik. Tentu saja ini menjadi pemikiran bagi banyak Ahli.Â
Padahal jawabannya adalah sederhana. Jika memang pemilih saat ini adalah generasi muda, generasi z dan milenial. Maka bisa jadi pendekatan dari Prabowo dan Gibran lebih disukai oleh pemilih terbanyak itu, generasi yang suka didiskreditkan sebagai generasi strawberry ini. Generasi yang tidak mengalami gejolak 66, 98, bahkan pra kemerdekaan, bahkan sejarah tentang masa tersebut saja, bisa jadi belum paham sekali. Tidak tahu mereka mengerti apa itu marhaen, apa itu Pancasila, apa itu Pan Islam, komunisme dan Marxisme, sosialis dan kapitalisme, dst.
Redefinisi Etika?
Etika adalah konsep nilai pada diri seseorang atau kelompok. Etika ini berkembang dan berubah sesuai keadaan zamannya. Ketika zaman kerajaan, seorang anak Raja menjadi Raja, itu tidak melanggar etika. Karena nilai yang paling tinggi adalah kesejahteraan, selama sejahtera sebagian besar masyarakat tidak memperdulikannya, bahkan menghormati orang yang "mengurusi" mereka.
Etika berpolitik "loyalitas", dahulu menjadi acuan yang paling penting, kini semakin memudar. Ketika ideologi adaptif dan pragmatisme untuk mencapai tujuan utama lebih dikedepankan dibandingkan ideologi partai atau agama. Sehingga seseorang atau kelompok kemudian berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Sebenarnya ini terjadi di daerah-daerah, ketika ketokohan daerah lebih dilihat, apapun partai tokoh di sebuah daerah, maka ia akan mengikutinya.
Etika "Balas Budi" yang juga dahulu menjadi penting, juga semakin memudar. Ketika semua orang dihadapi kenyataan bahwa kekuatan suara rakyat adalah yang menentukan, belum lagi pemisahan suara legislatif berdasarkan profil seseorang dan juga Presiden berdasarkan profil seseorang juga. Strategi pilpres dan pileg kemudian menjadi berbeda.Â