Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tangan dan Waktu Insan Terdidik dalam Kuasa Algoritma

21 Agustus 2024   10:50 Diperbarui: 21 Agustus 2024   11:08 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Totalitarian digital

Performa kontrol diri yang melemah akibat performa sang algoritma, menciptakan kerangka berpikir tentang ‘kemudahan yang instan’. Apa maksudnya? Paradigma tentang kemudahan yang teramat mudah dalam memperoleh sesuatu. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan menatap diri pada satu arah dan pergerakan jari tangan yang konstan (scrolling). Hanya perlu mempraktikkan dua hal tersebut, seseorang sudah bisa menerima informasi dalam skala yang mungkin tak terhitung.

Saat keberlimpahan dengan mudah diperoleh, peluang untuk memilih sarana yang lebih cepat menuju penyelesaian, berpeluang besar untuk selalu digunakan. Nilai kejujuran dan orisinalitas dikesampingkan. Kehidupan sudah direduksi menjadi perkara “cepat tuntas”, namun sejatinya nirmakna dan minim pemberdayaan total intelektual. Hal berikut akan sangat mudah digambarkan dengan sistem pemerintahan totalitarian. Bukan untuk menyusupkan hal politis, namun sekiranya menggambarkan lebih jelas pengalaman di atas.

Menurut filsuf kelahiran Jerman, Hannah Arendt, teror adalah aksi yang selalu dijalankan rezim totalitarian saat tujuan psikologis, yaitu menciptakan kontrol atas massa dengan pemahaman tertentu – misal melalui propaganda – sudah tercapai. Instrumen penting sistem ini dalam mewujudkan totalitarianisme adalah propaganda, dan teror, adalah esensi pemerintahan totalistik. Lantas, di mana kaitannya? Pertama, orang dikendalikan dengan propaganda algoritma berupa limpahan konten yang mengonstruksi profil orang itu. Ia dipaksa pada pencarian diri dan kepuasan yang memuat keberlimpahan informasi sesuai profilnya.

Kedua, setelah dipropaganda dan dibentuk profilnya, orang itu semakin masuk pada teror tentang kemudahan. Terkait profil saja, kelimpahan tersedia pada benda yang tergenggam ini, apalagi jika itu hal-hal di luar dirinya, tentu dapat diakses dengan mudah. Ketiga, kecerdasan artifisial yang totalistik semakin nyata saat perilaku kedua telah dilakukan tanpa menyadari disposisi, dalam kasus ini, sebagai mahasiswa. Totalistik karena ia sudah mewujudkan stabilitas algoritmis pada gawai dengan menciptakan instabilitas psikologis pada penggunanya. Tidak lagi menerima “kemudahan” pada satu aspek, namun membentangkannya pada aspek lain, dalam hal ini pendidikan.

Orang tidak perlu banyak membaca, berdebat, dan berdiskusi. Kembali ke pengalaman di awal. Cukup membuka laptop atau gawai yang terkoneksi dengan internet, membuka situs atau medium kecerdasan artifisial, isi dari tugas (presentasi atau teks) beres dalam lima menit. Ironi ‘kah?

Integrasi dengan dunia

Melansir detik.com, Muhammad Abbas, profesor di FAST School of Management di National University of Computer and Emerging Sciences di Pakistan, bersama rekan-rekan penelitinya mengungkapkan, tingkat beban dan tekanan waktu kerja akademik menjadi pemicu signifikan penggunaan Chat GPT. Tak dapat ditampik, eksistensi AI bisa sangat menguntungkan. Dalam konteks akademik, ia banyak bersumbangsih pada percepatan dan ketepatan dalam pengerjaan karya tulis, meliputi pencarian sumber dan akurasi terhadap gagasan tertentu.

Clemens Dion Yusila Timur pada majalah Basis (2021) bertajuk “Paulo Freire: Demokrasi Radikal dan Pendidikan Demokratis” menerangkan pemikiran tokoh pendidikan asal Brazil itu tentang demokrasi sebagai tatanan yang memanusiakan. Untuk menerangkannya, Clemens mendahului dengan pemikiran tentang arti manusia melalui penggambaran antara manusia dengan hewan. Ia menuliskan, “Manusia menggunakan fakultas kognitifnya untuk menentukan tanggapan macam apa yang terbaik untuk ditindaklanjuti. Manusia tidak sekadar dideterminasi oleh dunia lantas beradaptasi dengan mengikuti satu pakem tunggal yang tersedia.”

Apakah mahasiswa tengah diteror dengan satu pakem tunggal, yaitu algoritma? Apakah hal itu lantas meracuni segi lain? Mendasarkan diri pada TikTok dan Chat GPT atau aplikasi serupa lainnya, perlu ditinjau secara mendasar. Apakah sebagai sarana atau tujuan? Apakah tepat jika dasar pemikiran didasarkan pada kecerdasan artifisial? Apakah tepat jika potensi akal budi murni justru diredam oleh kecerdasan yang merupakan hasil kejeniusan manusia pula?

Mahasiswa, tentu dapat bisa berintegrasi dengan keadaan dunia saat ini. Ia tidak perlu berpaling dari kecerdasan artifisial. Justru melaluinya, ia menemukan kelimpahan sarana untuk mengonstruksi sendiri pemikirannya. Pemikiran yang lahir melalui pengolahan intelektual yang mendalam sekaligus menggandeng percepatan artifisial. Kesadaran inilah kiranya yang semakin mendewasakan seseorang dalam menatap dan memainkan jarinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun