Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tangan dan Waktu Insan Terdidik dalam Kuasa Algoritma

21 Agustus 2024   10:50 Diperbarui: 21 Agustus 2024   11:08 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Merasakan atmosfer di dalam kelas yang hening, tidak selalu bernilai positif. Sembari duduk di kursi, mata tiap mahasiswa berkelindan dengan gawainya yang sudah “panas”. Jelas terdengar berbagai macam backsound dengan instrumen musik dan syair yang campur aduk. Sesekali terdengar dialog antarmahasiswa yang hanya membincangkan barang terbaru dan ternama. Beberapa kali, video aksi dan joget kelakar seseorang diperbincangkan atau ditunjukkan ke yang lain. Tak dapat dibantah, algoritma reels TikTok telah membekukan mata dan jari jemari mereka.

Pemandangan di atas ternyata cukup kontinu; belum ada pemandangan lain yang mampu menandinginya. Yakinlah, pemandangan di atas niscaya tak terjadi di tiap kelas perguruan tinggi. Namun sayang, pemandangan di atas agaknya berbuntut pada kebiasaan rutin mengandalkan Chat GPT atau medium sejenisnya kala menggarap tugas. Hal itu terekam melalui tugas yang lebih memerlukan elaborasi naratif. Pertanyaannya, apa kaitannya mematung di depan TikTok dengan mengandalkan Chat GPT?

Pertanyaan di atas agaknya memerlukan kajian psikologis dan pendidikan. Namun, pertanyaan itu menggiring keraguan soal disposisi intelektual seseorang yang dengan sadar (dan tanggung jawab) memutuskan belajar di perguruan tinggi. Menurut Pasal 1 Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012, tertulis, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses belajar agar peserta didik dapat mengembangkan potensi diri, beberapa di antaranya adalah pengendalian diri, kecerdasan, dan akhlak mulia. Sedangkan, salah satu prinsip perguruan tinggi adalah pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika yang adalah mahasiswa dan dosen.

Dari pengertian pendidikan dan prinsip perguruan tinggi, ini berarti, perguruan tinggi adalah arena pertanggungjawaban keputusan tiap insan memanfaatkan ketersediaan waktu dan ruang untuk menenggak ilmu pengetahuan, sedalam-dalam dan seluas-luasnya, dengan usaha dan akhlak mulia. Maka, melalui fenomena itu, apakah pencarian kebenaran dengan usaha serta sikap yang jujur dan terkendali terlihat samar dan layak ditabrak – karena kebebasan untuk berteknologi pula – oleh insan muda kini?

Neraka adalah algoritma

ChatGPT merupakan perangkat lunak produksi OpenAI yang rilis 30 November 2022. Layaknya WhatsApp dan aplikasi serupa, perangkat berbasis kecerdasan artifisial  ini memampukan penggunanya untuk mengutarakan pertanyaan atau pernyataan berbasis percakapan dengan corak keseharian. Bahkan, perangkat ini dinilai lebih praktis daripada Google, karena perangkat ini mampu mencocokan kata kunci yang dicari dengan beragam sumber informasi.

Chat GPT mungkin praktis dan kencang. Tetapi, proses intelektual, yang sepantasnya diwarnai dengan studi literatif dan diskusif, berbuntut pada ketergantungan terhadap “yang artifisial”. Tawaran akan hasil yang cepat saji, mendekadensi kekuatan berpikir dengan membungkam imajinasi seraya meredupkan eksplorasi gagasan. Seakan-akan sebelum membuka buku, rasa berat dan spirit “ingin cepat selesai” mengorbankan potensi intelektual, berserah pada “yang artifisial” yang superfisial. Apakah ada keraguan tersirat pada “berpikir sendiri” sehingga lebih baik menjadi dependen?

Meminjam pemikiran filsuf asal Prancis, Jean Paul Sartre, tentang konflik, yaitu eksistensi orang lain yang mampu mengobjekkan keberadaan diri. Meskipun sebagai diri atau subjek memiliki kesadaran, pengamatan orang lain atas kehadiran diri membuahkan persepsi tentang diri yang beragam. Subjek tidak lagi menjadi ‘bebas’ karena diawasi, diperhatikan, bahkan dibentuk oleh orang lain. Subjek yang berkesadaran pun menjadi objek. Hal ini semakin nyata dewasa ini karena pemikiran Sartre mengakomodasi dalam melihat, bahwa bukan orang lain lagi yang mengobjekkan subjek atau seseorang, melainkan kedigdayaan algoritma. Ia hadir sebagai ‘orang lain’ yang memicu konflik karena pandangannya mempermainkan persepsi subjek tentang dirinya. Kehadirannya bisa mempersempit kebebasan sang subjek melalui tawaran dalam for you page (FYP), notification, like, dan semacamnya.

Yuval Noah Harari melalui bukunya 21 Pelajaran untuk Abad 21 pada bab 19 “Edukasi”, menggarisbawahi, tidak sepenuhnya tepat dikatakan pada era ini manusia hidup dalam hacking komputer. Baginya, kehidupan kini adalah era hacking manusia. akselerasi teknologi memudahkan emosi dan hasrat seseorang dimanipulasi. Perusahaan raksasa mengendalikan emosi, hasrat, bahkan pikiran seseorang, yang akhirnya menyukarkan seseorang mengenali antara dirinya sendiri dengan keinginan pasar perusahaan. Mengikuti suara hati adalah tantangan.

Doktor ilmu sejarah itu menegaskan, jika algoritma lebih mengerti apa yang terjadi pada diri manusia lebih dari manusia itu, algoritma akan mengambil alih. Namun, teknologi tidaklah buruk karena ia sangat membantu si pengguna mencapai tujuan, sejauh tujuan itu memang ditetapkan. Tetapi, jika nirtujuan, teknologi yang mengambil alih kehidupan.

Selain Yuval, Nita Farahany menekankan hal yang serupa pada artikelnya “Conggress is right to want to curtail TikTok’s power and influence” yang dimuat pada theguardian.com (15/3/2024). Dalam artikel itu disebutkan, penelitian oleh National Natural Science of China terkait dampak feed dan short video pada sisi psikologis penggunanya. Algoritmanya menumbuhkan kecanduan melalui respon berupa konten yang dibentuk melalui interaksi dan profil pengguna. Terjadi pengurangan pada kontrol diri dan berkembangnya konsumsi yang kompulsif.

Totalitarian digital

Performa kontrol diri yang melemah akibat performa sang algoritma, menciptakan kerangka berpikir tentang ‘kemudahan yang instan’. Apa maksudnya? Paradigma tentang kemudahan yang teramat mudah dalam memperoleh sesuatu. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan menatap diri pada satu arah dan pergerakan jari tangan yang konstan (scrolling). Hanya perlu mempraktikkan dua hal tersebut, seseorang sudah bisa menerima informasi dalam skala yang mungkin tak terhitung.

Saat keberlimpahan dengan mudah diperoleh, peluang untuk memilih sarana yang lebih cepat menuju penyelesaian, berpeluang besar untuk selalu digunakan. Nilai kejujuran dan orisinalitas dikesampingkan. Kehidupan sudah direduksi menjadi perkara “cepat tuntas”, namun sejatinya nirmakna dan minim pemberdayaan total intelektual. Hal berikut akan sangat mudah digambarkan dengan sistem pemerintahan totalitarian. Bukan untuk menyusupkan hal politis, namun sekiranya menggambarkan lebih jelas pengalaman di atas.

Menurut filsuf kelahiran Jerman, Hannah Arendt, teror adalah aksi yang selalu dijalankan rezim totalitarian saat tujuan psikologis, yaitu menciptakan kontrol atas massa dengan pemahaman tertentu – misal melalui propaganda – sudah tercapai. Instrumen penting sistem ini dalam mewujudkan totalitarianisme adalah propaganda, dan teror, adalah esensi pemerintahan totalistik. Lantas, di mana kaitannya? Pertama, orang dikendalikan dengan propaganda algoritma berupa limpahan konten yang mengonstruksi profil orang itu. Ia dipaksa pada pencarian diri dan kepuasan yang memuat keberlimpahan informasi sesuai profilnya.

Kedua, setelah dipropaganda dan dibentuk profilnya, orang itu semakin masuk pada teror tentang kemudahan. Terkait profil saja, kelimpahan tersedia pada benda yang tergenggam ini, apalagi jika itu hal-hal di luar dirinya, tentu dapat diakses dengan mudah. Ketiga, kecerdasan artifisial yang totalistik semakin nyata saat perilaku kedua telah dilakukan tanpa menyadari disposisi, dalam kasus ini, sebagai mahasiswa. Totalistik karena ia sudah mewujudkan stabilitas algoritmis pada gawai dengan menciptakan instabilitas psikologis pada penggunanya. Tidak lagi menerima “kemudahan” pada satu aspek, namun membentangkannya pada aspek lain, dalam hal ini pendidikan.

Orang tidak perlu banyak membaca, berdebat, dan berdiskusi. Kembali ke pengalaman di awal. Cukup membuka laptop atau gawai yang terkoneksi dengan internet, membuka situs atau medium kecerdasan artifisial, isi dari tugas (presentasi atau teks) beres dalam lima menit. Ironi ‘kah?

Integrasi dengan dunia

Melansir detik.com, Muhammad Abbas, profesor di FAST School of Management di National University of Computer and Emerging Sciences di Pakistan, bersama rekan-rekan penelitinya mengungkapkan, tingkat beban dan tekanan waktu kerja akademik menjadi pemicu signifikan penggunaan Chat GPT. Tak dapat ditampik, eksistensi AI bisa sangat menguntungkan. Dalam konteks akademik, ia banyak bersumbangsih pada percepatan dan ketepatan dalam pengerjaan karya tulis, meliputi pencarian sumber dan akurasi terhadap gagasan tertentu.

Clemens Dion Yusila Timur pada majalah Basis (2021) bertajuk “Paulo Freire: Demokrasi Radikal dan Pendidikan Demokratis” menerangkan pemikiran tokoh pendidikan asal Brazil itu tentang demokrasi sebagai tatanan yang memanusiakan. Untuk menerangkannya, Clemens mendahului dengan pemikiran tentang arti manusia melalui penggambaran antara manusia dengan hewan. Ia menuliskan, “Manusia menggunakan fakultas kognitifnya untuk menentukan tanggapan macam apa yang terbaik untuk ditindaklanjuti. Manusia tidak sekadar dideterminasi oleh dunia lantas beradaptasi dengan mengikuti satu pakem tunggal yang tersedia.”

Apakah mahasiswa tengah diteror dengan satu pakem tunggal, yaitu algoritma? Apakah hal itu lantas meracuni segi lain? Mendasarkan diri pada TikTok dan Chat GPT atau aplikasi serupa lainnya, perlu ditinjau secara mendasar. Apakah sebagai sarana atau tujuan? Apakah tepat jika dasar pemikiran didasarkan pada kecerdasan artifisial? Apakah tepat jika potensi akal budi murni justru diredam oleh kecerdasan yang merupakan hasil kejeniusan manusia pula?

Mahasiswa, tentu dapat bisa berintegrasi dengan keadaan dunia saat ini. Ia tidak perlu berpaling dari kecerdasan artifisial. Justru melaluinya, ia menemukan kelimpahan sarana untuk mengonstruksi sendiri pemikirannya. Pemikiran yang lahir melalui pengolahan intelektual yang mendalam sekaligus menggandeng percepatan artifisial. Kesadaran inilah kiranya yang semakin mendewasakan seseorang dalam menatap dan memainkan jarinya.

Otonomi utama justru ada pada mahasiswa – dan manusia pada umumnya – dan bukan algoritma, karena kesadaran soal tujuan sebagai mahasiswa, tentang bagaimana ia memperluas dan memperdalam cakrawala. Algoritma justru tunduk pada proses pencarian sang pengguna. Algoritma memberi limpahan opsi. Bukan limpahan kebenaran. Dengan begitu, waktu dan kesempatan di perguruan tinggi adalah eksplorasi melalui beragam medium untuk menenggak ilmu pengetahuan, sedalam-dalam dan seluas-luasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun