Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Hidup Terkondisikan kala Bumi Mendidih

17 Mei 2024   20:54 Diperbarui: 17 Mei 2024   20:56 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Pengondisian ini semakin diejahwantahkan dalam bentuk-bentuk yang sangat halus dan pragmatis, ambil contoh saja: ekonomi. Seluruh penerapan beragam bentuk bisnis senantiasa didasari oleh aspek ekonomi, karena dengan begitulah manusia dapat hidup. Aspek inilah pula yang agaknya sungguh menggiurkan namun memerangkap orang pada situasi terkondisikan.

            Setiap pemberdayaan, baik itu manusia maupun alam, harus tuntas pada titik keuntungan. Semua hal menjadi harus menguntungkan: pemberdayaan lahan dan kebun; perputaran roda perekonomian para pengemudi daring; produksi besar-besaran kendaraan berbahan bakar fosil; pembangunan real estate; dan sampai taraf pendidikan dengan tanduknya adalah menciptakan tenaga kerja handal di bidang indsutri. Besar dan luasnya aspek hidup, tiba-tiba, terkerucutkan dalam situasi terkondisikan oleh satu aspek perkara ekonomistis yang mengeneralisasi aspek-aspek lainnya.   

Alam Budak Pikiran 

            Dari hipotesis terkondisikan, dalam buku From Socrates to Sartre karya T.Z. Lavine, mengutip ucapan filsuf asal Jerman, Immanuel Kant, “Pikiran adalah pemberi hukum pada alam.” Jika demikian, pikiran tidak mencerap hukum dari alam. Namun sebaliknya, alam dibentuk, diatur, disusun, dan dikondisikan menurut pemikiran manusia. Berjalan menurut produksi pikiran manusia berupa hukumnya terhadap alam. Pemikiran ini tentu dilatarbelakngi oleh kritik atas empirisme Hume, di mana segala pengetahuan manusia ada karena kesan dari pancaindera dan  pengalaman, namun mengarah pada kesimpulan bahwa pengatahuan itu tidak ada. Menjadi tidak ada karena semua itu merupakan hasil dari kebiasaan, keyakinan, efek psikologis, dan dorongan semata.

            Dalam elaborasi yang lebih detail berkaitan tentang “pikiran pemberi hukum atas alam”, unsur pengideraan – seperti yang diajukan para penganut empirisme – sejatinya pun menjadi pintu masuk  bagi berkembanya pengetahuan. Aspek penginderaan bekerja dengan menerima efek atau kesan dari entitas eksternal. Itulah komponen pengideraan. Selepas penginderaan, rasio manusia bekerja untuk mengatur perubahan kesan atau efek dari penginderaan, mewujudkannya dalam bentuk sebab akibat atau hubungan timbal balik maupun dalam hal kualitas kuantitas. Pikiran manusia secara aktif menafsirkan dunia luar, dan inilah komponen rasional. Setelahnya, manusia memiliki apriori atau konsep murni (anggapan, konsep) yang bersifat mendahului dan tidak terikat pada pengalaman, universal, dan keharusan suatu kondisi.

            Konsep murni (apriori) dari Immanuel Kant memfondasikan segala gejala di dunia secara sistematis, dapat diatur, dan dikondisikan dengan bentuk sebab akibat.  Konsep inilah yang – setidaknya bagi penulis – mampu menjelaskan mengapa segala begitu mudah dikondisikan. Tanpa perlu adanya banyak pertimbangan dalam berbagai jangka dan asas atau alasan yang begitu general, keputusan manusia sudah masuk pada kerangka apriori; tanpa perlu pembuktian untuk menyatakan bahwa itu benar, secara rasional.  Akhirnya, manusia mampu memberikan hukum yang pula dilandasi oleh dan demi kepentingan manusia – pada alam karena kemampuan rasional manusia yang mampu memahami alam.

            Melalui teori yang diajukan Immanuel Kant, agaknya dapat diperhatikan, bahwa manusia dengan kemampuan rasionalnya, telah membentuk hukum bagi alam tempat ia tinggali. Dengan begitu, manusia semakin menciptakan beragam keteraturan dengan mengondisikan dirinya, dan dalam kontekstualisasinya, manusia semakin sadar bahwa dunia semakin panas. Kesadaran itulah yang akhirnya membuat manusia harus mengondisikan diri dengan menggunakan, misal pendingin ruangan. Maka, kesadaran seperti itulah yang akan terus berlanjut. Apakah hukum dan pengondisian macam inikah yang mampu menyelamatkan manusia?

Dalam jurnal The Psychology of Climate Anxiety (2021), termuat empat istilah psikologi untuk menggambarkan posisi rendahnya partisipasi individu dalam menghadapi perubahan iklim. Keempat istilah itu adalah faulty alarm hypothesis, social dilemma, ecopsychology, dan psychoanalysis. Sikap pengondisian ini sangat kental terarah pada bagian social dilemma (dilema sosial), ecopsychology (terputusnya hubungan individu dengan alam), dan psychoanalysis (penolakan dan sikap apatis). Kehidupan modern memicu benturan antara kepentingan pribadi dan kelompok karena beragamnya perspektif. Hal berikut, mampu memutuskan dan mengasingkan hubungan manusia dengan alam, dan berakhir pada sikap apatis terhadap perubahan iklim.  

PENUTUP

Kesimpulan 

            Perubahan paradigma, butuh perjuangan yang sangat keras dan ulet. Peralihan dari paradigma antroposentris  menuju biosentris, menjadi wacana yang indah di era kini, namun agak utopis untuk menjadi fokus utama. Namun, bagaimanapun, alam kita ini, baik berupa energi maupun hal-hal jasmaniah di dalamnya, tetap merupakan karya agung Tuhan. Semua ini diciptakan agar manusia mampu tetap hidup dengannya, namun seraya hidup berdampingan. Ini berarti manusia perlu menciptakan kondisi berimbang. Kondisi yang baik bagi keduanya dengan selalu mendiskresikan aksi dengan kesadaran bahwa, kehidupan tidak hanya ada pada manusia, namun terhadap beragam entitas alam nyata ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun