Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Hidup Terkondisikan kala Bumi Mendidih

17 Mei 2024   20:54 Diperbarui: 17 Mei 2024   20:56 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umat manusia bergerak pada berbagai tindakan yang tanpa disadari, selalu didasari oleh kepentingan profit. Hal ini kembali mengisahkan kepada kepada kita sendiri bahwa alam (daya dan kekuatannya) mampu merepresentasikan tanda-tanda yang membuat kita bertanya: apa yang telah kita lakukan hingga tidak lagi berhadapan dengan bencana alami melainkan bencana yang tak luput dari komodifikasi?

 

Publik Merasakannya 

Dalam jajak pendapat oleh Litbang Kompas pada 18-20 Desember 2023 bertajuk “Publik Makin Merasakan Dampak Perubahan Iklim”, 88,4 persen dari 509 responden menyatakan bahwa pada tahun 2023, dampak perubahan iklim – termasuk cuaca panas ekstrem – terasa lebih nyata dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya di tahun 2023, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat tiga bencana dengan presentase kejadian paling besar akibat anomali iklim ini, yaitu 2.051 kejadian karhutla, 1.261 kejadian cuaca ekstrem, dan 1.255 kejadian banjir.

Tercatat oleh BNPB, dari 5.400 total bencana dari delapan bencana terjadi selama 2023 – termasuk tiga bencana dengan presentase kejadian paling besar – korban meninggal berjumlah 275 jiwa serta korban menderita dan mengungsi setidaknya berjumlah 8.491.288 jiwa. Tak lupa, korban hilang dan korban luka-luka masing-masing mencapai 33 jiwa dan 5.795 jiwa.

Dari data di atas, perubahan iklim menjadi gelombang nyata yang menerpa keberadaan hidup manusia. Catatan angka korban jiwa dalam bencana ini sepantasnya menjadi pesan bahwa setiap perilaku manusia tidak dapat melulu berpusat pada motivasi murni manusia karena kemampuan dalam memitigasi keadaan alam sepantasnya kini lebih jadi perhatian dalam mempertimbangkan tindakan. Mitigasi terhadap karakter alam semestinya jadi refleksi bersama untuk memusatkan motivasi dalam berkehendak. Bagaimana tidak, tiga dari total delapan bencana besar – dengan presentase kejadian yang tinggi – tidak dapat dikatakan murni bencana alam yang terjadi secara alamiah. Ada campur tangan nyata manusia di dalamnya.

Analogi Air Conditoner 

Sebelum melangkah lebih jauh, mari bertanya, mengapa karakter alam yang saat ini, yang dapat dimitigasi secara akurat, belum jadi pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan? Penulis menyuguhkan analogi air conditioner.

 Anda pasti tahu pengondisi udara atau air conditioner (AC)? Sistem berbentuk mesin yang mampu mengondisikan suhu udara dan kelembapan suatu ruangan. Lazimnya dipasang pada dinding ruangan, berada pada posisi yang tinggi agar mampu mengondisikan ruangan tersebut secara menyeluruh. Misalkan, suhu udara di Kota Depok saat ini adalah 30 derajat celcius. Lalu, dalam suatu rumah di Kota Depok, memiliki satu AC yang telah diaktifkan dan diatur dengan suhu 16 derajat celcius. Bagian dalam rumah tersebut tidak memiliki suhu yang sama dengan suhu di luar rumah. Anda pasti sudah tahu ruang bagian mana yang memiliki suhu lebih rendah.

Memang, banyak pertimbangan mengapa AC dipasang pada suatu ruangan bahkan satu gedung. Salah satu pertimbangaannya adalah kenyamanan bagi orang yang berada di dalam ruangan. Kenyamanan ini terkait dengan pengondisian suhu yang menghasilkan perbedaan suhu antara bagian dalam ruangan dan bagian luar ruangan. Namun, bagian pengondisian, menjadi perhatian. Saat AC diaktifkan, suhu di ruangan tersebut – di mana sebelumnya bersuhu tinggi – diserap dan dialihkan ke bagian luar ruangan. Suhu bagian dalam ruangan mengalami pengondisian. Namun, apakah udara yang dialihkan ke luar ruangan, juga mengalami pengondisian?

Di sinilah – dalam benak penulis – alasan bagi perubahan iklim pada era kini. Pengondisian dilakukan agar keadaan tertentu berada pada asas, alasan, atau nilai tertentu. Namun, pengondisian berarti menciptakan kondisi yang drastis dan bisa saja, tak terkendali, antara satu bagian dengan bagian lainnya. Kondisi ini mampu menciptakan gejolak dengan perbedaan signifikan karena adanya objektivikasi pada bagian tertentu dengan dilimpahkan ekses-ekses dari pengondisian. Alhasil, bagian tertentu menjadi “tempat sampah” dari pengondisian dan malah, menciptakan chaos dan ketidakstabilan di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun