Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Hidup Terkondisikan kala Bumi Mendidih

17 Mei 2024   20:54 Diperbarui: 17 Mei 2024   20:56 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

PENDAHULUAN    

            Setiap dinamika manusia senantiasa melibatkan organisme atau daya alami di luar manusia – baik itu yang hidup maupun tak hidup – dalam diputuskannya setiap tindakan-tindakan. Tentu, karena manusia berada dalam tatanan ruang bumi dan perlu usaha-usaha untuk mengondisikannya demi keberlangsungan hidup manusia dari skala individual hingga komunal. Namun, apakah usaha-usaha untuk melangsungkan hidup senantiasa berakhir pada kelangsungan hidup yang baik bagi semua mahkluk?

            Dilansir dari KBBI, lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Melalui pengertian ini, timbul suatu pertanyaan: apakah semua benda, daya dan keadaan, serta makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya saat ini, masih memengaruhi kehidupan dan kesejahteraannya sendiri sebagaimana mestinya?

Dalam benak penulis, pertanyaan di atas dapat semakin nyata dengan memperhatikan atensi global terhadap salah satu isu masalah lingkungan, yaitu perubahan iklim, karena isu ini mampu menjadi salah satu cermin nyata ekses tingkah laku manusia terhadap lingkungannya. Apa yang sejatinya dilakukan manusia hingga isu ini merupakan keadaan nyata? Maka, usaha mengondisikan menjadi topik bahasan sekaligus menjadi penggambaran dualistik terkait relasi manusia dengan organisme sekitarnya. 

ISI

Ancaman Serius

            Perlu diperhatikan arti dari perubahan iklim sendiri. Menurut tim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perubahan iklim mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca jangka panjang. Awalnya dinilai, perubahan ini bersifat alami. Namun, aktivitas manusia menjadi promotor utama perubahan ini terutama pada periode 1800-an karena pembakaran bahan bakar fosil.

            Selanjutnya, laporan “The Global Risks Report 2023” yang disusun oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF), menujukkan, ada lima dari 10 ancaman global bercorak lingkungan dengan dampaknya yang dirasakan dengan estimasi dua tahun ke depan.  Tiga dari lima ancaman itu yang erat kaitannya dengan perubahan iklim ialah kejadian cuaca ekstrem dan bencana alam, kegagalan mitigasi perubahan iklim, dan kegagalan adaptasi perubahan iklim.  

            Mari ambil salah satu turunan masalah dari tiga ancaman di atas, yaitu kenaikan suhu. Dampak kenaikan suhu ini dilaporkan oleh Nicholas H Wollf dan tim dalam jurnal Lancet Planetary Health (2021). Laporan ini merupakan hasil kajian di Berau, Kalimantan Timur, menyatakan, pemanasan global dan masifnya pembukaan hutan mengakibatkan suhu di Berau mengalami peningkatan hingga 0,95 derajat celcius dalam kurun 16 tahun. Hal berikut meningkatkan angka kematian menjadi 7,3-8,5 sejak tahun 2018.

            Hal di atas agaknya dapat semakin dikontekstualisasi dengan laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) “Provisional State of the Global Climate 2023”, yang menunjukkan, rata-rata suhu permukaan Bumi mencapai 14 derajat celcius (dengan margin ketidakpastian ± 0,12 derajat celcius) sepanjang tahun 2023. Lebih besar dari periode pra-industri tahun 1800-1900. Lebihnya lagi, tahun 2023 dinobatkan sebagai tahun terpanas karena rata-rata suhunya melebihi tahun 2016 dengan rata-rata suhu 1,29 derajat celcius, dan 1,27 derajat celcius di tahun  2020.

            Atensi berupa dampak ancaman bencana dari WEF nampaknya telah berbuah secara nyata. Tak perlu menanti dua tahun ke depan. Kajian di Kalimantan sendiri telah menujukkan impilkasi-implikasi nyata cuaca ekstrem berupa kenaikan suhu dan angka kematian. Meski kenaikan suhu sempat landai tiga tahun karena pandemi covid-19, keterlepasan dari penjara pandemi ternyata semakin mendidihkan suhu Bumi. Penobatan tahun 2023 sebagai tahun terpanas tidak hanya sebagai sinyal merah, namun harus sebagai alarm yang selalu berdengung setiap saat.

Umat manusia bergerak pada berbagai tindakan yang tanpa disadari, selalu didasari oleh kepentingan profit. Hal ini kembali mengisahkan kepada kepada kita sendiri bahwa alam (daya dan kekuatannya) mampu merepresentasikan tanda-tanda yang membuat kita bertanya: apa yang telah kita lakukan hingga tidak lagi berhadapan dengan bencana alami melainkan bencana yang tak luput dari komodifikasi?

 

Publik Merasakannya 

Dalam jajak pendapat oleh Litbang Kompas pada 18-20 Desember 2023 bertajuk “Publik Makin Merasakan Dampak Perubahan Iklim”, 88,4 persen dari 509 responden menyatakan bahwa pada tahun 2023, dampak perubahan iklim – termasuk cuaca panas ekstrem – terasa lebih nyata dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya di tahun 2023, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat tiga bencana dengan presentase kejadian paling besar akibat anomali iklim ini, yaitu 2.051 kejadian karhutla, 1.261 kejadian cuaca ekstrem, dan 1.255 kejadian banjir.

Tercatat oleh BNPB, dari 5.400 total bencana dari delapan bencana terjadi selama 2023 – termasuk tiga bencana dengan presentase kejadian paling besar – korban meninggal berjumlah 275 jiwa serta korban menderita dan mengungsi setidaknya berjumlah 8.491.288 jiwa. Tak lupa, korban hilang dan korban luka-luka masing-masing mencapai 33 jiwa dan 5.795 jiwa.

Dari data di atas, perubahan iklim menjadi gelombang nyata yang menerpa keberadaan hidup manusia. Catatan angka korban jiwa dalam bencana ini sepantasnya menjadi pesan bahwa setiap perilaku manusia tidak dapat melulu berpusat pada motivasi murni manusia karena kemampuan dalam memitigasi keadaan alam sepantasnya kini lebih jadi perhatian dalam mempertimbangkan tindakan. Mitigasi terhadap karakter alam semestinya jadi refleksi bersama untuk memusatkan motivasi dalam berkehendak. Bagaimana tidak, tiga dari total delapan bencana besar – dengan presentase kejadian yang tinggi – tidak dapat dikatakan murni bencana alam yang terjadi secara alamiah. Ada campur tangan nyata manusia di dalamnya.

Analogi Air Conditoner 

Sebelum melangkah lebih jauh, mari bertanya, mengapa karakter alam yang saat ini, yang dapat dimitigasi secara akurat, belum jadi pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan? Penulis menyuguhkan analogi air conditioner.

 Anda pasti tahu pengondisi udara atau air conditioner (AC)? Sistem berbentuk mesin yang mampu mengondisikan suhu udara dan kelembapan suatu ruangan. Lazimnya dipasang pada dinding ruangan, berada pada posisi yang tinggi agar mampu mengondisikan ruangan tersebut secara menyeluruh. Misalkan, suhu udara di Kota Depok saat ini adalah 30 derajat celcius. Lalu, dalam suatu rumah di Kota Depok, memiliki satu AC yang telah diaktifkan dan diatur dengan suhu 16 derajat celcius. Bagian dalam rumah tersebut tidak memiliki suhu yang sama dengan suhu di luar rumah. Anda pasti sudah tahu ruang bagian mana yang memiliki suhu lebih rendah.

Memang, banyak pertimbangan mengapa AC dipasang pada suatu ruangan bahkan satu gedung. Salah satu pertimbangaannya adalah kenyamanan bagi orang yang berada di dalam ruangan. Kenyamanan ini terkait dengan pengondisian suhu yang menghasilkan perbedaan suhu antara bagian dalam ruangan dan bagian luar ruangan. Namun, bagian pengondisian, menjadi perhatian. Saat AC diaktifkan, suhu di ruangan tersebut – di mana sebelumnya bersuhu tinggi – diserap dan dialihkan ke bagian luar ruangan. Suhu bagian dalam ruangan mengalami pengondisian. Namun, apakah udara yang dialihkan ke luar ruangan, juga mengalami pengondisian?

Di sinilah – dalam benak penulis – alasan bagi perubahan iklim pada era kini. Pengondisian dilakukan agar keadaan tertentu berada pada asas, alasan, atau nilai tertentu. Namun, pengondisian berarti menciptakan kondisi yang drastis dan bisa saja, tak terkendali, antara satu bagian dengan bagian lainnya. Kondisi ini mampu menciptakan gejolak dengan perbedaan signifikan karena adanya objektivikasi pada bagian tertentu dengan dilimpahkan ekses-ekses dari pengondisian. Alhasil, bagian tertentu menjadi “tempat sampah” dari pengondisian dan malah, menciptakan chaos dan ketidakstabilan di dalamnya.

            Pengondisian ini semakin diejahwantahkan dalam bentuk-bentuk yang sangat halus dan pragmatis, ambil contoh saja: ekonomi. Seluruh penerapan beragam bentuk bisnis senantiasa didasari oleh aspek ekonomi, karena dengan begitulah manusia dapat hidup. Aspek inilah pula yang agaknya sungguh menggiurkan namun memerangkap orang pada situasi terkondisikan.

            Setiap pemberdayaan, baik itu manusia maupun alam, harus tuntas pada titik keuntungan. Semua hal menjadi harus menguntungkan: pemberdayaan lahan dan kebun; perputaran roda perekonomian para pengemudi daring; produksi besar-besaran kendaraan berbahan bakar fosil; pembangunan real estate; dan sampai taraf pendidikan dengan tanduknya adalah menciptakan tenaga kerja handal di bidang indsutri. Besar dan luasnya aspek hidup, tiba-tiba, terkerucutkan dalam situasi terkondisikan oleh satu aspek perkara ekonomistis yang mengeneralisasi aspek-aspek lainnya.   

Alam Budak Pikiran 

            Dari hipotesis terkondisikan, dalam buku From Socrates to Sartre karya T.Z. Lavine, mengutip ucapan filsuf asal Jerman, Immanuel Kant, “Pikiran adalah pemberi hukum pada alam.” Jika demikian, pikiran tidak mencerap hukum dari alam. Namun sebaliknya, alam dibentuk, diatur, disusun, dan dikondisikan menurut pemikiran manusia. Berjalan menurut produksi pikiran manusia berupa hukumnya terhadap alam. Pemikiran ini tentu dilatarbelakngi oleh kritik atas empirisme Hume, di mana segala pengetahuan manusia ada karena kesan dari pancaindera dan  pengalaman, namun mengarah pada kesimpulan bahwa pengatahuan itu tidak ada. Menjadi tidak ada karena semua itu merupakan hasil dari kebiasaan, keyakinan, efek psikologis, dan dorongan semata.

            Dalam elaborasi yang lebih detail berkaitan tentang “pikiran pemberi hukum atas alam”, unsur pengideraan – seperti yang diajukan para penganut empirisme – sejatinya pun menjadi pintu masuk  bagi berkembanya pengetahuan. Aspek penginderaan bekerja dengan menerima efek atau kesan dari entitas eksternal. Itulah komponen pengideraan. Selepas penginderaan, rasio manusia bekerja untuk mengatur perubahan kesan atau efek dari penginderaan, mewujudkannya dalam bentuk sebab akibat atau hubungan timbal balik maupun dalam hal kualitas kuantitas. Pikiran manusia secara aktif menafsirkan dunia luar, dan inilah komponen rasional. Setelahnya, manusia memiliki apriori atau konsep murni (anggapan, konsep) yang bersifat mendahului dan tidak terikat pada pengalaman, universal, dan keharusan suatu kondisi.

            Konsep murni (apriori) dari Immanuel Kant memfondasikan segala gejala di dunia secara sistematis, dapat diatur, dan dikondisikan dengan bentuk sebab akibat.  Konsep inilah yang – setidaknya bagi penulis – mampu menjelaskan mengapa segala begitu mudah dikondisikan. Tanpa perlu adanya banyak pertimbangan dalam berbagai jangka dan asas atau alasan yang begitu general, keputusan manusia sudah masuk pada kerangka apriori; tanpa perlu pembuktian untuk menyatakan bahwa itu benar, secara rasional.  Akhirnya, manusia mampu memberikan hukum yang pula dilandasi oleh dan demi kepentingan manusia – pada alam karena kemampuan rasional manusia yang mampu memahami alam.

            Melalui teori yang diajukan Immanuel Kant, agaknya dapat diperhatikan, bahwa manusia dengan kemampuan rasionalnya, telah membentuk hukum bagi alam tempat ia tinggali. Dengan begitu, manusia semakin menciptakan beragam keteraturan dengan mengondisikan dirinya, dan dalam kontekstualisasinya, manusia semakin sadar bahwa dunia semakin panas. Kesadaran itulah yang akhirnya membuat manusia harus mengondisikan diri dengan menggunakan, misal pendingin ruangan. Maka, kesadaran seperti itulah yang akan terus berlanjut. Apakah hukum dan pengondisian macam inikah yang mampu menyelamatkan manusia?

Dalam jurnal The Psychology of Climate Anxiety (2021), termuat empat istilah psikologi untuk menggambarkan posisi rendahnya partisipasi individu dalam menghadapi perubahan iklim. Keempat istilah itu adalah faulty alarm hypothesis, social dilemma, ecopsychology, dan psychoanalysis. Sikap pengondisian ini sangat kental terarah pada bagian social dilemma (dilema sosial), ecopsychology (terputusnya hubungan individu dengan alam), dan psychoanalysis (penolakan dan sikap apatis). Kehidupan modern memicu benturan antara kepentingan pribadi dan kelompok karena beragamnya perspektif. Hal berikut, mampu memutuskan dan mengasingkan hubungan manusia dengan alam, dan berakhir pada sikap apatis terhadap perubahan iklim.  

PENUTUP

Kesimpulan 

            Perubahan paradigma, butuh perjuangan yang sangat keras dan ulet. Peralihan dari paradigma antroposentris  menuju biosentris, menjadi wacana yang indah di era kini, namun agak utopis untuk menjadi fokus utama. Namun, bagaimanapun, alam kita ini, baik berupa energi maupun hal-hal jasmaniah di dalamnya, tetap merupakan karya agung Tuhan. Semua ini diciptakan agar manusia mampu tetap hidup dengannya, namun seraya hidup berdampingan. Ini berarti manusia perlu menciptakan kondisi berimbang. Kondisi yang baik bagi keduanya dengan selalu mendiskresikan aksi dengan kesadaran bahwa, kehidupan tidak hanya ada pada manusia, namun terhadap beragam entitas alam nyata ini. 

 Rekomendasi

            Dilansir dari Kompas, konferensi perubahan iklim COP28 – dilaksanakan di Dubai pada 30 November-12 Desember 2023 – telah melahirkan kesepakatan sementara, yaitu komitmen pendaan kehilangan dan kerusakan dari sejumlah negara. Dari negara-negara pemberi dana sementara, terdapat area Asia Timur dan Pasifik yang membutuhkan biaya adaptasi terhadap perubahan iklim dengan estimasi 158 miliar dollar AS pada tahun 2023. Pembiayaan ini perlu dimaksimalkan baik dalam langkah mitigasi, adaptasi, maupun adaptasi dan mitigasi. Pendanaan ini dapat dimaksimalkan untuk memajukan gerakan-gerakan ramah lingkungan seperti yang dilakukan siswa SD Al-Ya’lu dan orangtuanya dalam memanfaatkan limbah bambu dan tebu menjadi pelet sebagai bahan bakar gas ramah lingkungan. Gerakan seperti ini perlu diperluas dengan memanfaatkan pendanaan tersebut. Juga dengan memanfaatkan penemuan-penemuan mutakhir dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kajian dari BRIN setidaknya beranjak dari kondisi nyata kemasyarakatan kita, dan dengan itu, alat teknologi yang dikembangkan serasi dengan permasalahan dan karakterisitik kebutuhan internal negeri.    

            

Daftar Pustaka 

Arif, Ahmad. "Krisis Iklim, Krisis Kesehatan Kita ." Kompas , Desember 6, 2023: 8.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendibudristek. KBBI VI Daring. 2016. https:kbbi.kemendikbud.go.id/entri/lingkungan%20hidup (accessed April 3, 2024).

Budianto, Yosep. "Publik Makin Merasakan Dampak Perubahan Iklim ." Kompas , Januari 10, 2024: 17.

—. "Membangun Kesadaran Menghadapi Perubahan Iklim ." Kompas, Desember 23, 2023: 17.

Forum, World Economic. Global Risks Report 2023. Januari 11, 2023. htpps://www.weforum.org/publications/global-risks-report-2023/ (accessed April 3, 2024).

Laksmi, Debora. "Asa Pendanaan Iklim dari COP28." Kompas, Desember 6, 2023: 17.

Lavine, T. From Socrates to Sartre: the Philosophic Quest. Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus, 2020.

Lince, Ester. "Inisiasi Pendidikan "Hijau" yang Semakin Meluas." Kompas, Desember 5, 2023: 8.

Organization, World Meteorlogical. Provisonal State of the Global Climate in 2023. November 30, 2023. https://wmo.int/publication-series/provisional-state-of-global-climate-2023 (accessed April 3, 2024).

Sidik, Budiawan. "Besarnya Ancaman Bencana Lingkungan di Dunia ." Kompas , Desember 5, 2023: 17.

Tulisan berikut dirilis setelah dikurasi pada Lomba Esai Ilmiah Dies Natalis ke-53 STFT Widya Sasana Malang. Tulisan ini adalah karya. Maka, tulisan ini diunggah setelah penulis mengetahui hasil penilaiannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun