Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bebas Eksis Melampaui Sekat Politik

18 April 2024   20:50 Diperbarui: 18 April 2024   23:42 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan 

"Lebih jauh lagi, ruang politik tiba-tiba seperti bergerak meluas dan mendalam. Normalitas kehidupan sehari-hari yang berjalan ajek, aktivitas ekonomi yang berjalan rutin, seketika terkerucutkan ke dalam dimensi politik. Kita mulai waswas, mulai bergunjing sana-sini di ruang makan keluarga maupun di ruang medsos, mulai mengamati sikap serta pilihan politik orang-orang di sekitar kita."[1] 

 

Pilihan politik adalah hal yang patut diterima sebagai buah dari kehidupan berdemokrasi. Namun dilematis, apabila kehidupan secara aktual dipersempit jika seseorang dinilai dari pilihan politiknya. Jika hal tersebut dimaknai sebagai ancaman, tindakan diskriminatif dapat merongrong ranah publik dan privat, menyerang secara mental maupun fisik. Gejala seperti ini mampu membutakan realitas pluralitas di dalam masyarakat. Padahal, melalui pluralitas di masyarakat, dapat tumbuh kesempatan untuk saling mencecap dan belajar agar mampu memperkaya khazanah kehidupan. Pertanyaannya, mengapa penyempitan normalitas kehidupan ke dalam dimensi politik dapat terjadi?

 

Determinasi Sekat 

 

Jajak pendapat oleh Litbang Kompas[2] pada 15-17 Januari 2024, merekam, ihwal perhatian akan aksi ancaman sampai kekerasan terhadap sejumlah pendukung parpol atau relawan pasangan capres-cawapres Pemilu 2024. Dari hasil wawancara terhadap 510 respoden dari 34 provinisi, lebih dari 70 persennya menemukan konten pemberitaan terkait tindak kekerasan (pemukulan, pengeroyokan, dan lain sebagainya) kepada para pendukung salah satu capres. Sebanyak 47,9 persen responden menemukannya melalui media sosial. Sedangkan melalui televisi dan cerita orang lain (keluarga, teman, dsb.), masing-masing 17,8 persen dan 8,0 persen responden.

 

Adanya pembelahan sosial dan menguatnya kubu-kubu politik berpotensi dalam pemilu tahun ini. [3]  Forum-forum debat capres tahun ini, secara visual, mempertontonkan kekerasan verbal. Para capres saling mengomentari maupun menyanggah pernyataan. Hal berikut merupakan wujud kampanye hitam, tentu dengan tujuan merendahkan lawan politiknya dan menaikkan statistik elektabilitas.[4]  Masyarakat pun riskan terjebak pada sekat-sekat ungkapan, yang lantas memunculkan penglihatan serta penilaian sengit dan dangkal terhadap rekan maupun keluarga tentang pilihan politiknya. Penilaian baik yang prematur dan mendewakan pasangan tertentu, dapat menyingkirkan cakrawala "perbedaan politik" dengan membantai secara verbal mereka yang tidak satu suara. Kemunculan fenomena tersebut mampu menyempitkan ruang dialogis-objektif tentang arah kebijaksanaan dan kebijakan setiap pasangan/calon. 

 

            Kembali ke pertanyaan: mengapa penyempitan normalitas kehidupan ke dalam dimensi politik dapat terjadi? Penulis mengundang kita meninjau gejala berikut melalui pemikiran seorang filsuf eksistensialisme asal Prancis, Jean Paul Sartre, ihwal dasar tema sentral eksistensialisme humanistiknya, yaitu kebebasan.

 

 

Dilema Eksistensial  

 

Sebelumnya, pemikiran Sarte tentang kebebasan memiliki dua poin dasar. Pertama, pemikiran Sartre ini dilandasi oleh ateisme. Kedua, ia mengkritik dan menolak segala bentuk nilai-nilai (esensi) dari aliran tertentu yang menentukan gerak-gerak eksistensi manusia di dunia, seperti agama, biologisme, dan psikoanalisis.[5] Kunci kebebasan manusia yang dimaksud Sartre adalah kesadaran akan "ketiadaan". Namun sebelumnya, perlu dibeberkan dua situasi eksistensial korelatif yang mendahului kesadaran tersebut. 

 

            Pertama, bagi Sartre, adanya kemunculan mauvaise foi (diartikan: sikap tidak autentik) karena nyaman pada situasi determinis. Sikap mauvaise foi terlihat manakala seseorang mengikuti dan menyesuaikan diri dengan kategori-kategori seksual, sosial, atau psikologis yang dikenakan kepadanya.[6] Orang memerankan peran tertentu yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Sartre menilai, orang tersebut menolak kebebasannya[7] karena hanya menjadi manusia yang ditetapkan oleh pakem (esensi) tertentu, tanpa secara bebas, memperjuangkan diri seutuhnya seturut kesadarannya. Kedua, sikap ini pun mampu mengeras, menjadikan dirinya sebagai benda (esensi) tertentu. Satre menyebutnya sebagai reifikasi (pembendaan).[8] Manusia menjebak dirinya sendiri pada pembatasan tertentu, mengikuti arus besar di ranah publik, dan  karenanya, ia bertindak hanya seturut motivasi dan arahan dari pembatasan atau arus tersebut.  

 

Dalam kaitannya dengan situasi terkini, penyempitan normalitas terjadi karena determinasi sekat-sekat dalam ranah politik melalui parpol maupun kubu pro-kontra. Sekat ini bukan masalahnya. Namun, apakah tidak menjadi masalah jika digagas untuk menciptakan ruang diskriminatif dan saling serang terhadap orang dari kubu lain? Esensi dengan 'kader parpol', 'buzzer', dan istilah-istilah serupa, mendukung pemahaman dirinya untuk berpikir dan bertindak sesuai esensi tersebut. Tak jarang, massa yang telah terbentuk kemudian digerakkan seturut kumpulan statement dari sosok yang dijadikan kiblat serta informasi yang mendiskreditkan pihak/kubu lainnya, entah untuk menjatuhkannya dan atau mengundang orang lain untuk bergabung. Tepat di sinilah, masyarakat "dibendakan" dalam kadar politik semata tanpa melihat nilai yang secara mandiri diperjuangkan.

 

 

Ada untuk Dirinya 

 

            Fenomena yang diinterpretasi Sartre, terkait mauvaise foi dan reifikasi, mewujud sebagai permulaan untuk menuju "kebebasan". Mengapa kebebasan? Pertama, Sartre menolak segala bentuk determinasi, dan kedua, ia berpadangan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri.[9] Dua pemahaman ini menjadi peralihan being in-itself (ada dalam dirinya) menuju being for-itself (ada untuk dirinya).

 

            Pertama, being in-itself yang digambarkan Sartre sebagai situasi pejal, reifikatif, inheren, determinasi, dan tidak dapat menjadi "yang lain", dinegasikan oleh kesadaran manusia yang menciptakan "ketiadaan" dari dirinya. Negasi ini dapat digambarkan ketika kesadaran yang ada dalam diri manusia menyadari esensi dari dirinya sekaligus menidak atau menyangkal esensi dari dirinya. 

Sadar bahwa ia tidak harus melulu seperti itu dan mampu menjadi "yang lain"; yang tiada dari dirinya.[10] Kesadaran, baginya, adalah sadar dirinya akan kenyataan sekaligus mempertanyakan /kenyataan. Inilah yang dalam pemikiran Sartre disebut kebebasan. 

 

Melalui pemikiran Satre ini, kita diundang untuk keluar dari arus sekat-sekat politik yang mampu memperbudak dan merugikan pihak lain atas dasar kepentingan subjektif atau golongan tertentu. Dalam menciptakan kesadaran akan kebebasan, dalam arti tidak dipersempit oleh fenomena tersebut, seseorang perlu sadar bahwa ia tidak harus menjadi pengikut total kubu tertentu. 

Perlunya bersikap netral, baik itu berkubu atau sebaliknya. Artinya, meski berpihak, seseorang menjalankan apa yang baik dan benar untuk dijalankan sekaligus menidak bahkan mengkonfrontir apa yang tidak tepat dan tidak benar untuk dilakukan.            

 

Dalam mewujudkannya, seseorang perlu meninjau keadaan serta pertimbangan akan nilai dan tujuan, salah satunya pluralitas dalam masyarakat. Dengan "menidak" pada arus tersebut, seseorang terbuka pada cakrawala lain yang kontekstual, penuh pertimbangan, dan "lebih baik" dari arus sekat tersebut. Kesanggupan untuk memandang pluralitas, mewujudkan sinkronisasi seseorang akan jalannya suatu kepentingan yang tidak melangkahi keadaan. Keduanya dijalankan dengan prinsip dan pilihan yang berani dipertanggungjawabkan. Kebebasan inilah yang mampu menciptakan iklim realitas pluarlitas tetap hidup. 

 

 

Penutup  

 

            "If freedom is absolute, responsibility is also absolute and hence I am really what I have made myself."[11] Transedensi -- menjadi manusia yang bebas, tidak melulu membenam pada "arus-arus" terkini -- bukti manusia sadar diri serta lingkungannya. Maka setiap manusia, dengan kesadarannya, dapat menjadi autentik bila ia mampu melampaui konstruksi tren besar masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun