Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bebas Eksis Melampaui Sekat Politik

18 April 2024   20:50 Diperbarui: 18 April 2024   23:42 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Kembali ke pertanyaan: mengapa penyempitan normalitas kehidupan ke dalam dimensi politik dapat terjadi? Penulis mengundang kita meninjau gejala berikut melalui pemikiran seorang filsuf eksistensialisme asal Prancis, Jean Paul Sartre, ihwal dasar tema sentral eksistensialisme humanistiknya, yaitu kebebasan.

 

 

Dilema Eksistensial  

 

Sebelumnya, pemikiran Sarte tentang kebebasan memiliki dua poin dasar. Pertama, pemikiran Sartre ini dilandasi oleh ateisme. Kedua, ia mengkritik dan menolak segala bentuk nilai-nilai (esensi) dari aliran tertentu yang menentukan gerak-gerak eksistensi manusia di dunia, seperti agama, biologisme, dan psikoanalisis.[5] Kunci kebebasan manusia yang dimaksud Sartre adalah kesadaran akan "ketiadaan". Namun sebelumnya, perlu dibeberkan dua situasi eksistensial korelatif yang mendahului kesadaran tersebut. 

 

            Pertama, bagi Sartre, adanya kemunculan mauvaise foi (diartikan: sikap tidak autentik) karena nyaman pada situasi determinis. Sikap mauvaise foi terlihat manakala seseorang mengikuti dan menyesuaikan diri dengan kategori-kategori seksual, sosial, atau psikologis yang dikenakan kepadanya.[6] Orang memerankan peran tertentu yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Sartre menilai, orang tersebut menolak kebebasannya[7] karena hanya menjadi manusia yang ditetapkan oleh pakem (esensi) tertentu, tanpa secara bebas, memperjuangkan diri seutuhnya seturut kesadarannya. Kedua, sikap ini pun mampu mengeras, menjadikan dirinya sebagai benda (esensi) tertentu. Satre menyebutnya sebagai reifikasi (pembendaan).[8] Manusia menjebak dirinya sendiri pada pembatasan tertentu, mengikuti arus besar di ranah publik, dan  karenanya, ia bertindak hanya seturut motivasi dan arahan dari pembatasan atau arus tersebut.  

 

Dalam kaitannya dengan situasi terkini, penyempitan normalitas terjadi karena determinasi sekat-sekat dalam ranah politik melalui parpol maupun kubu pro-kontra. Sekat ini bukan masalahnya. Namun, apakah tidak menjadi masalah jika digagas untuk menciptakan ruang diskriminatif dan saling serang terhadap orang dari kubu lain? Esensi dengan 'kader parpol', 'buzzer', dan istilah-istilah serupa, mendukung pemahaman dirinya untuk berpikir dan bertindak sesuai esensi tersebut. Tak jarang, massa yang telah terbentuk kemudian digerakkan seturut kumpulan statement dari sosok yang dijadikan kiblat serta informasi yang mendiskreditkan pihak/kubu lainnya, entah untuk menjatuhkannya dan atau mengundang orang lain untuk bergabung. Tepat di sinilah, masyarakat "dibendakan" dalam kadar politik semata tanpa melihat nilai yang secara mandiri diperjuangkan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun