Â
Ada untuk DirinyaÂ
Â
      Fenomena yang diinterpretasi Sartre, terkait mauvaise foi dan reifikasi, mewujud sebagai permulaan untuk menuju "kebebasan". Mengapa kebebasan? Pertama, Sartre menolak segala bentuk determinasi, dan kedua, ia berpadangan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri.[9] Dua pemahaman ini menjadi peralihan being in-itself (ada dalam dirinya) menuju being for-itself (ada untuk dirinya).
Â
      Pertama, being in-itself yang digambarkan Sartre sebagai situasi pejal, reifikatif, inheren, determinasi, dan tidak dapat menjadi "yang lain", dinegasikan oleh kesadaran manusia yang menciptakan "ketiadaan" dari dirinya. Negasi ini dapat digambarkan ketika kesadaran yang ada dalam diri manusia menyadari esensi dari dirinya sekaligus menidak atau menyangkal esensi dari dirinya.Â
Sadar bahwa ia tidak harus melulu seperti itu dan mampu menjadi "yang lain"; yang tiada dari dirinya.[10] Kesadaran, baginya, adalah sadar dirinya akan kenyataan sekaligus mempertanyakan /kenyataan. Inilah yang dalam pemikiran Sartre disebut kebebasan.Â
Â
Melalui pemikiran Satre ini, kita diundang untuk keluar dari arus sekat-sekat politik yang mampu memperbudak dan merugikan pihak lain atas dasar kepentingan subjektif atau golongan tertentu. Dalam menciptakan kesadaran akan kebebasan, dalam arti tidak dipersempit oleh fenomena tersebut, seseorang perlu sadar bahwa ia tidak harus menjadi pengikut total kubu tertentu.Â
Perlunya bersikap netral, baik itu berkubu atau sebaliknya. Artinya, meski berpihak, seseorang menjalankan apa yang baik dan benar untuk dijalankan sekaligus menidak bahkan mengkonfrontir apa yang tidak tepat dan tidak benar untuk dilakukan. Â Â Â Â Â Â
Â