Kembali ke pertanyaan: mengapa penyempitan normalitas kehidupan ke dalam dimensi politik dapat terjadi? Penulis mengundang kita meninjau gejala berikut melalui pemikiran seorang filsuf eksistensialisme asal Prancis, Jean Paul Sartre, ihwal dasar tema sentral eksistensialisme humanistiknya, yaitu kebebasan.
Â
Â
Dilema Eksistensial Â
Â
Sebelumnya, pemikiran Sarte tentang kebebasan memiliki dua poin dasar. Pertama, pemikiran Sartre ini dilandasi oleh ateisme. Kedua, ia mengkritik dan menolak segala bentuk nilai-nilai (esensi) dari aliran tertentu yang menentukan gerak-gerak eksistensi manusia di dunia, seperti agama, biologisme, dan psikoanalisis.[5] Kunci kebebasan manusia yang dimaksud Sartre adalah kesadaran akan "ketiadaan". Namun sebelumnya, perlu dibeberkan dua situasi eksistensial korelatif yang mendahului kesadaran tersebut.Â
Â
      Pertama, bagi Sartre, adanya kemunculan mauvaise foi (diartikan: sikap tidak autentik) karena nyaman pada situasi determinis. Sikap mauvaise foi terlihat manakala seseorang mengikuti dan menyesuaikan diri dengan kategori-kategori seksual, sosial, atau psikologis yang dikenakan kepadanya.[6] Orang memerankan peran tertentu yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Sartre menilai, orang tersebut menolak kebebasannya[7] karena hanya menjadi manusia yang ditetapkan oleh pakem (esensi) tertentu, tanpa secara bebas, memperjuangkan diri seutuhnya seturut kesadarannya. Kedua, sikap ini pun mampu mengeras, menjadikan dirinya sebagai benda (esensi) tertentu. Satre menyebutnya sebagai reifikasi (pembendaan).[8] Manusia menjebak dirinya sendiri pada pembatasan tertentu, mengikuti arus besar di ranah publik, dan  karenanya, ia bertindak hanya seturut motivasi dan arahan dari pembatasan atau arus tersebut. Â
Â
Dalam kaitannya dengan situasi terkini, penyempitan normalitas terjadi karena determinasi sekat-sekat dalam ranah politik melalui parpol maupun kubu pro-kontra. Sekat ini bukan masalahnya. Namun, apakah tidak menjadi masalah jika digagas untuk menciptakan ruang diskriminatif dan saling serang terhadap orang dari kubu lain? Esensi dengan 'kader parpol', 'buzzer', dan istilah-istilah serupa, mendukung pemahaman dirinya untuk berpikir dan bertindak sesuai esensi tersebut. Tak jarang, massa yang telah terbentuk kemudian digerakkan seturut kumpulan statement dari sosok yang dijadikan kiblat serta informasi yang mendiskreditkan pihak/kubu lainnya, entah untuk menjatuhkannya dan atau mengundang orang lain untuk bergabung. Tepat di sinilah, masyarakat "dibendakan" dalam kadar politik semata tanpa melihat nilai yang secara mandiri diperjuangkan.
Â