Menurut teori filsafat hidup terapan yang sedang saya kembangkan, manusia menentukan jati dirinya dari dua hal: harga diri dan nilai diri.
Harga diri sifatnya temporal dan dapat ditentukan oleh diri sendiri.
Nilai diri sifatnya lebih permanen, dibentuk dalam jangka waktu panjang, dan dibentuk oleh lingkungan.
Perwujudan jati diri yang seimbang, biasanya memiliki harga diri dan nilai diri yang seimbang pula. Namun banyak pula yang timpang jauh.
Ketika Nilai Diri < Harga Diri
Orang yang nilai dirinya < harga diri biasanya mudah marah atau mudah tersinggung. Hal ini disebabkan karena
1) orang berpikir bahwa harga diri itu sama dengan nilai diri. Maka dari itu acapkali orang menyerang harga diri sebagai salah satu senjata merendahkan orang lain.
2) orang yang memiliki nilai diri < harga diri berpikir bahwa satu-satunya yang dia bisa kendalikan adalah harga dirinya.Â
Maka dari itu ketika orang berusaha merendahkan dirinya, diaakan meninggikan dirinya sendiri. Sayangnya, harga diri sifatnya sangat rapuh. Bukan saja karena dia bersifat sementara, namun juga karena sebenarnya nilai diri sifatnya jauh kebih konkrit dan mengakar.
Orang pada level ini juga biasanya melakukan hal-hal yang destruktif terhadap diri mereka sendiri dan senang mensabotase kehidupan mereka sendiri karena dalam hati kecil mereka, mereka berpikir bahwa nilai diri mereka amatlah rendah. Dan karena nilai diri mereka rendah, mereka terus menerus mengisi harga diri supaya jiwa mereka penuh.
Ketika Nilai Diri > Harga Diri
Sebaliknya, orang yang memiliki nilai diri > harga diri biasanya lebih pemaaf, lebih sabar dan lebih legowo karena dia menyadari bahwa orang yang menyerang harga dirinya, tidak menentukan nilai dirinya. Merek menyadari bahwa meski orang lain mengambil seluruh harga dirinya, nilai dirinya sudah cukup tinggi di dalam jiwa mereka.
Pengambilan Keputusan Sebagai Manifestasi Pembentukan Nilai Diri.
Lalu apa hubungannya dengan anak-anak?
Saya selalu sampaikan kepada teman-teman saya untuk melatih anak-anak mereka cara mengambil keputusan yang baik. Dan bahwa di setiap keputusan memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri.Â
Sebagai orang tua, acapkali kita tidak tega melihat anak kita menanggung konsekuensi dari keputusan buruk yang diambil anak kita. Betul, tidak semua anak bisa belajar dari trauma. Namun tidak semua anak pun bisa belajar melalui kasih.
Membiarkan anak mengambil keputusan adalah satu bentuk penghormatan dan kasih dari orang tua kepada anak.Â
Karena ketika mereka mengambil keputusan, yang mereka sedang kejar adalah pembentukan nilai diri yang pada akhirnya akan berujung pada penemuan jati diri. Jadi, ketika kita melarang anak kita untuk mengambil keputusan, kita secara otomatis mencegah mereka untuk membentuk nilai diri mereka, dan secara tidak langsung pula mencegah mereka menemukan jati diri mereka.Â
Maka tak heran ada banyak anak yang menyimpan begitu kemarahan karena memiliki orang tua yang over-controlling: yang menentukan mereka harus makan apa, pergi kemana dengan baju apa, bahkan hal2 sepele seperti macam masker apa yang mereka harus kenakan.
Orang tua yang terlalu over-controling, yang tidak mengajarkan anaknya untuk mengambil keputusan akan menciptakan dua macam anak: antara mereka menciptakan anak yang sangat penurut yang sangat bergantung pada orang tuanya hingga dewasa, atau menciptakan anak pembangkang yang merasa bahwa orang tuanya terlalu membatasi dia.Â
Dan kedua hal ini benangnya satu: ANAK TIDAK MEMILIKI JATI DIRI. Dan ketika seorang manusia tidak memiliki jati diri, dia akan selalu merasa tersesat, tidak peduli ada anda yang selalu membisiki langkah-langkahnya.
Mencegah anak mengambil keputusan buruk, berarti mencegah mereka mengalami hal yang buruk. Ketika seseorang tidak pernah mengalami hal buruk, maka mereka tidak akan pernah menghargai hal yang baik. Ketika mereka tidak dapat menghargai hal yang baik, maka mereka tidak akan menjadi manusia yang baik pula.
Kembali ke premis di atas, karena tidak semua anak bisa belajar dari kasih. TERUTAMA, anak-anak yang lahir dan tumbuh di keluarga yang tidak memiliki kasih. Karena satu bahasa yang mereka pahami adalah belajar melalui trauma.
Dibutuhkan proses panjang untuk mengolah trauma menjadi kasih. Dibutuhkan proses panjang untuk memahami bahwa harga diri itu berbeda dengan nilai diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H