Mohon tunggu...
Pecandu Sastra
Pecandu Sastra Mohon Tunggu... Penulis - Blogger dan Penulis

Blue | Read | Black Coffee | Social and Humanity | DSF7296 | pecandusastra96 | Ungkapkan Kebenaran Meski itu Sakit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luck

30 Juni 2024   14:32 Diperbarui: 30 Juni 2024   14:35 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Pixabay 

 “Ayah, bisa bantu ikatkan rambutku?” sambil kuserahkan ikat rambutku padanya.

 “Bisa dong, kemarilah,” dengan tersenyum seperti biasa. Namun benar dugaanku, Ayah tak pandai mengikatkan rambut meski ia terus berusaha. 

“Sudahlah yah, aku biasa pakai pin pada rambutku,” kemudian ayah berdiri lalu pergi mencari payung. Dan aku masih menggerutu -  “Ibu selalu sibuk setiap pagi,” - tiba-tiba ayah menyahut “Kamu cantik dengan pin itu,” sambil terus tersenyum dan berjalan keluar rumah untuk berangkat bekerja. Aku pun ikut bergegas untuk berangkat ke sekolah sambil menenteng payung merahku. 

“Sayang, jangan cemberut dong,” bujuk ibu padaku yang masih diam. “Ibu janji besok akan mengikat rambutmu yang cantik,” 

“Ibu selalu bilang begitu,” gerutuku.

“Maafkan ibu sayang, mau ibu antar sampai ke sekolah?” tanyanya. 

Baca juga: Resah dan Setelah

“Tidak ibu, aku bisa berangkat sendiri," kataku pasti sambil tersenyum padanya. 

“Baiklah, hati-hati ya sayang.”

 Aku terus berjalan melewati jalan yang sudah tak asing kulewati setiap hari. Pagi itu hujan turun sedikit lebat, aku tak melihat teman-temanku, entah mereka sudah berangkat atau justru tidak berangkat. Tapi sepertinya aku yang kesiangan.

Langkahku terhenti ketika ada sosok laki-laki seusia ayahku berdiri di depanku. Aku menatapnya, dia tersenyum tapi senyum itu terlihat menyeramkan. 

Keberatan kah jika berbagi payung denganku?” katanya. Dan, aku masih menatapnya.

“Tapi sepertinya aku akan terlambat ke sekolah,” jawabku ketika mataku tertuju pada gerbang sekolahku.

 Entah bagaimana awalnya dia sudah menggendongku dengan paksa dan membawaku pada suatu tempat yang asing bagiku. Teriakku tak bisa menyaingi derasnya hujan pagi itu, begitupun tangisku. Dia dengan paksa merobek pakaianku, aku terus meronta namun kala itu aku tak dapat lagi merasakan apa-apa selain sakit pada tubuhku. Aku hanya bisa menangis, dengan sangat lirih, kemudian semuanya menjadi gelap.

                     - . - . - . - . -

Perkenalkan namaku adalah Hifza Humaira, kini usiaku 19 tahun. Aku adalah korban pelecehan seksual saat usiaku masih 8 tahun, yang masih duduk di bangku kelas 2 SD. Dampak sosial dari kejadian masa laluku ialah aku sedikit kesulitan berbaur dengan orang baru. Namun aku tak pernah khawatir, bahkan aku selalu merasa aman jika berada di samping kedua orang tuaku.

Ayahku memutuskan untuk pindah ke kota baru semenjak kejadian itu, harapnya supaya psikis dan mentalku kembali membaik. Akupun bersekolah d sebuah madrasah yang orang tuaku yakini bisa memberi dampak positif untukku. Disana selain bisa memperdalam ilmu agama, aku juga merasa aman dan tenang. Meski aku hanya memiliki beberapa sahabat dekat, namun itu cukup membuatku merasa nyaman.

 “Makan dulu yuk sayang,” ajak ibu. Ini adalah hari ketigaku menikmati libur akhir semester. Sehingga aku banyak menghabiskan waktu di rumah bersama ayah dan ibu.

“Siap ibu,” sahutku sambil menggandeng tangan ibu. - “Aku lapar,” ucapku sambil menatap ibu yang seperti hendak menjitakku. Mungkin kesal karena sedari tadi tak kunjung keluar kamar untuk segera ikut makan. Ekspresiku seperti sedang iklan Pepsodent.

 Traumaku mungkin hebat tapi aku yakin sakit hati orang tuaku jauh lebih hebat. Aku merasakan dalamnya luka itu ketika saat dipersidangan kasusku dulu, ayah murka setelah mendengar putusan hakim bahwa ada pengurangan hukuman penjara disebabkan orang jahat itu mengatakan dirinya sedang mabuk, sehingga tak menyadari apa yang dia lakukan. Ayahku hampir memukul orang jahat itu menggunakan papan nama yang ada diatas meja persidangan yang kini aku ketahui istilahnya plakat arcrylic. Namun usaha ayahku terhenti ketika mendengar ibu berteriak mengatakan ‘jangan’ pada ayah dan ayah sontak menatapku yang menangis. Kemudian ayah menghampiriku dan menggendongku membawaku pulang. 

"Wah ibu hari ini masak makanan kesukaanku, sambel kentang," aku menatap ibu dengan mata bersinar menandakan bahwa aku sangat senang.

 “Cabainya tak sebanyak minggu lalu, supaya ayahmu tak bolak balik ke kamar mandi lagi,” kata ibu menjelaskan. 

Aku menatap ayah, yang ditatap hanya mengedipkan sebelah matanya padaku. Ayah memang tak bisa memakan makanan yang terlalu pedas, berbeda denganku dan ibu. Kulahap makanan yang ada dipiringku sampai tak bersisa satu biji nasipun. Ibu pernah bilang ‘jangan sisakan makanan yang di piringmu, nanti ayam tetangga mati,’ aku sempat protes, namun begitulah ibu, tak bisa diprotes. 

Satu pekan yang lalu, aku baru saja berulang tahun. Aku mendapatkan beberapa kado dari sahabat-sahabat dekatku. salah satunya adalah novel yang saat ini sedang kugenggam. Judulnya ‘Fatimah az-Zahra’ karya Sibel Eraslan. Siapa yang tak mengenal Bunda Fatimah?. Perempuan cantik, cerdas, dan beruntung. Beliau adalah putri baginda Nabi saw, seluruh umat islam menyayangi beliau. Jika ada yang ingin melukai, baginda akan dengan sergap melindungi. Begitupun para sahabat Nabi, senantiasa 24 jam akan terus mengawasi.

Aku ingin seperti bunda Fatimah. Banyak yang mencintai, dan banyak yang melindungi. Jika mengingat lagi kejadian itu, aku adalah anak yang jauh dari kata beruntung. Seandainya aku seberuntung bunda Fatimah, tak akan ada orang jahat yang akan berani menyakitiku. Menyakiti gadis kecil yang baru bisa mengenal manisnya permen dan indahnya bunga mawar.

 “Ira sayang, tidur nak sudah malam,” tegur ibu sambil kulihat jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 21:17. 

“Iya bu,” jawabku supaya ibu tak perlu menegurku ulang. Segera kumatikan lampu kamarku dan kuganti lampu redup yang setiap hari menemaniku tidur lelap. Bersamaan dengan itu, kuletakkan novelku diatas nakas tempat tidur yang tadi sudah kuberi pembatas supaya besok aku tak kebingungan melanjutkan baca. 

                     .-.-.-.-.

 “Ayah ibu, liat ira punya apa?” teriakku dengan sedikit berlari sambil membawa kalung yang terbuat dari kerang dan batu hitam yang tadi kubeli dari salah satu pedagang kaki lima. 

“Jangan lari nak,” kata ayah sambil merentangkan dua tangannya yang siap memelukku. Dan aku yang siap dipeluknya justru berlari menuju ibu yang membuat ayah geram dan mencubit pipi kananku yang tak terasa sakit, ah aku yakin ayah hanya gemas.

Kalung tadi sudah bertengger di leherku yang tertutup khimar. Ibu yang membantuku memakainya tadi. O,iya sekarang aku sedang menikmati indahnya salah satu pantai milik Negara ini hehe. Seperti janji ayah, yang akan mengajakku dan  ibu berlibur.

“Kamu ingin kado apa sayang?” tanya ayah sambil merangkulku yang sedang menikmati segarnya air degan. 

"Ira ingin sembuh Ayah, ingin seperti yang lainnya," jawabku seraya menatap ombak. 

“Sayang, ditanya Ayah kok malah diem aja,” protes ibu sambil menepuk sebelah bahuku. 

“Hehe, Ira mau apa ya? mmm apa aja deh,” timpalku dengan menatap ayah ibu bergantian. Pintaku untuk bisa sembuh hanya kulontarkan dalam hati. Aku tak berani mengungkapkannya pada ayah dan ibu. Aku tau perjuangan ayah ibu lebih dari cukup untuk membuatku kembali seperti dulu.

Hari semakin sore, kini aku duduk di taman villa yang akan menjadi tempat menginap kami tiga hari mendatang. Aku masih sabar menunggunya tenggelam, meskipun aku yakin tak akan dapat melihatnya benar-benar sampai tenggelam.

 “Sayang, menjelang maghrib jangan duduk diluar rumah,” panggil ayah. Benar kan dugaanku? Segera aku berdiri dan menghampiri ayah. 

“Ira pengen liat siluet sunset ayah, gemuruh ombaknya pasti terlihat cantik,” ucapku pada ayah.

 “Liatnya dari jendela aja ya sayang, kan nggak baik petang-petang duduk diluar,” jawab ayah sambil menarik dua kursi ke depan jendela, kemudian memanggilku untuk duduk di sampingnya. Akhirnya aku bisa menikmati keelokan semesta bersama ayah. 

"Terima kasih ayah," ucapku dalam hati sambil memeluknya yang dibalas pelukan erat dan disusul adzan maghrib tanda waktu sembahyang.

                         .-.-.-.-.

 “Aaaaahh,” tak ada yang bisa kujelaskan selain semuanya terasa sangat sakit. Aku terpleset ketika keluar dari kamar mandi. Mungkin karena aku berteriak sangat keras sehingga ayah dan ibu langsung menghampiriku. 

“Astaghfirullah Ira, ayah ini bagaimana?”

Aku melihat ibu menangis. Tanpa banyak berkata ayah langsung menggendongku ke mobil dan membawaku ke rumah sakit. Aku saat itu masih sepenuhnya sadar, hanya merasa lemas untuk mengatakan sepatah dua kata aku pun tak mampu. Aku mendengar isakan ibu dengan terus menggumam “bertahan ya sayang."

Aku tak tau apa yang dikatakan dokter pada ayah setelah memeriksa kondisiku. Setelah ayah kembali dari ruangan dokter, ayah menatapku dengan menyisakan setetes air mata dipelupuknya. 

"Maaf Ayah, gadismu ini selalu menyusahkanmu," kataku dalam hati.

“Jangan menangis sayang, Iranya ayah kan kuat, sebentar lagi Ira makan ya, ibu sedang beli bubur ayam untuk Ira sarapan,” ucap ayah.

Benar, tak lama kemudian ibu datang membawa bungkusan plastik. Mata ibu masih sembab. “Ibu, biar Ira makan sendiri ya,” kataku pada ibu dijawab dengan senyum ibu dan ayah. 

Aku hanya ingin ibu dan ayah tau bahwa aku memang gadis mereka yang kuat. 

“Ayah tebus obat dulu ya, Ira ditemenin ibu dulu,” ucap Ayah yang kujawab dengan anggukan karna mulutku masih penuh dengan bubur. Rasanya masih sedap, saat itu aku bersyukur Allah masih memberiku nikmat dalam makan. "Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah?"

                         .-.-.-.-.

Waktu berlibur yang seharusnya kuhabiskan di pantai justru berakhir di rumah sakit, semua karna kecerobohanku.

“Istirahat dulu ya sayang, biar lekas sehat,” ucap ibu sambil mencium keningku.

“Ibu, maafkan Ira yang merepotkan ibu dan ayah,” ibu lalu menatapku, menggenggam erat tanganku seraya berkata - “Tidak ada yang salah sayang, semua karena kehendak Allah. Jika Allah memberi ujian, itu pertanda Allah sayang. Semoga ini menjadi lantaran bertambahnya iman kita ya sayang. Terutama Ira, ibu dan ayah yakin Ira mampu menjalani semuanya. Ira tak pernah sendirian,”

Tangisku pecah, ibu lalu memelukku. Aku terkadang merasa bahwa Allah tak adil padaku. Aku merasa Allah tak sayang padaku. Tapi begitulah ayah dan ibu, tak pernah lelah meyakinkanku bahwa semuanya punya hikmah. Jika hari ini aku belum bisa menemukan arti dari kisahku, mungkin esok, atau lusa aku pasti akan tau.

O,iya aku sudah diperbolehkan istirahat di rumah oleh dokter sejak tadi pagi, saat ini aku sudah berada di rumah duduk bersandar di kamar. Setelah aku merasa tenang, ibu kemudian pamit untuk pergi ke dapur. Ibu harus menyiapkan makanan untuk makan siang nanti. Kulihat nakasku, ah novel itu belum tuntas kubaca, iya novel tentang Sayyidah Fatimah atau bisa kita panggil bunda Fatimah. Ku ambil novel itu kemudian kubuka tepat pada pembatas yang terselip padanya. Kulanjutkan membaca sambil bersandar pada bantal. 

Aku pernah bilang bahwa bunda Fatimah adalah perempuan beruntung,  keberuntungan beliau bersebab ketaatan beliau pada Allah dan Rasul. Beliau adalah perempuan tangguh, tak gentar ikut serta dalam perang. Tak takut memaki orang kafir yang mengganggu Rasul ketika Rasul sedang sembahyang yang saat itu beliau masih usia belia. Bunda Fatimah adalah penghulu para perempuan. Bidadari berwujud manusia. Kini aku menemukan sosok bunda Fatimah pada ibu. Perempuan yang tak pernah mengeluh meski banyak ujian datang silih berganti. 

"Ibu, aku ingin menjadi perempuan tangguh seperti bunda Fatimah dan juga ibu,"

 Aku jadi teringat, dulu pernah mendengar kemarahan ayah sebab melihatku menangis karna menahan sakit pada lukaku. Ayah sangat marah pada orang jahat itu, orang jahat yang membuat anak gadisnya cacat permanen. Aku hingga nanti harus terus membawa kantung, kantung kolostomi. Kantung tempat aku membuang kotoran dari usus besarku. Sebab kejadian dimasa kecilku itu membuat bagian vitalku cacat, tak bisa berfungsi. 

Tragedi di usiaku yang baru menginjak 8 tahun itu bukanlah pemerkosaan biasa, namun pemerkosaan yang tragis, membuat bagian vitalku terkoyak sampai ke usus besarku. Dan beginilah kujalani keseharianku, menggunakan kantung kolostomi, sebagai pengganti bagian vitalku yang tak berfungsi untuk membuang kotoran dari usus besarku.

Kuketahui orang jahat itu ditahan 12 tahun penjara, jika itu terjadi diusiaku yang ke-8 tahun, maka sekitar 4 tahun lagi orang itu akan bebas dari tahanan. Aku memang membencinya, tapi aku berharap dia bertaubat, menyesali tindakannya dan menjadi orang yang jauh lebih baik lagi.  

Jika menangis akan membuat semua membaik, aku akan terus menangis. Jika marah dan memaki akan membuat semua kembali normal, maka aku akan memaki. Namun tangis dan makian yang datang dari kebencian hanya melahirkan kekecewaan sehingga membuatku selalu berburuk sangka. Semua itu sia-sia. Saat ini aku mungkin diberi ujian dengan satu cacat, namun jika aku terus mengeluh maka aku akan melupakan ribuan kelebihan yang Allah titipkan padaku. Sehingga aku putuskan untuk belajar ikhlas, dan yakin bahwa tak ada satupun dari makhluk yang tau perihal keajaiban yang masih menjadi rahasia Allah. 

Dan teruntuk ayah dan ibu, terima kasih untuk selalu sabar terhadapku serta selalu menyayangiku. Aku janji akan menjadi Ira kalian yang hebat, kuat dan tangguh. Dengan kekuranganku, aku akan menciptakan kelebihan pada diriku. Aku mencintai kalian. Aku adalah Ira yang beruntung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun