Benar, tak lama kemudian ibu datang membawa bungkusan plastik. Mata ibu masih sembab. “Ibu, biar Ira makan sendiri ya,” kataku pada ibu dijawab dengan senyum ibu dan ayah.
Aku hanya ingin ibu dan ayah tau bahwa aku memang gadis mereka yang kuat.
“Ayah tebus obat dulu ya, Ira ditemenin ibu dulu,” ucap Ayah yang kujawab dengan anggukan karna mulutku masih penuh dengan bubur. Rasanya masih sedap, saat itu aku bersyukur Allah masih memberiku nikmat dalam makan. "Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah?"
.-.-.-.-.
Waktu berlibur yang seharusnya kuhabiskan di pantai justru berakhir di rumah sakit, semua karna kecerobohanku.
“Istirahat dulu ya sayang, biar lekas sehat,” ucap ibu sambil mencium keningku.
“Ibu, maafkan Ira yang merepotkan ibu dan ayah,” ibu lalu menatapku, menggenggam erat tanganku seraya berkata - “Tidak ada yang salah sayang, semua karena kehendak Allah. Jika Allah memberi ujian, itu pertanda Allah sayang. Semoga ini menjadi lantaran bertambahnya iman kita ya sayang. Terutama Ira, ibu dan ayah yakin Ira mampu menjalani semuanya. Ira tak pernah sendirian,”
Tangisku pecah, ibu lalu memelukku. Aku terkadang merasa bahwa Allah tak adil padaku. Aku merasa Allah tak sayang padaku. Tapi begitulah ayah dan ibu, tak pernah lelah meyakinkanku bahwa semuanya punya hikmah. Jika hari ini aku belum bisa menemukan arti dari kisahku, mungkin esok, atau lusa aku pasti akan tau.
O,iya aku sudah diperbolehkan istirahat di rumah oleh dokter sejak tadi pagi, saat ini aku sudah berada di rumah duduk bersandar di kamar. Setelah aku merasa tenang, ibu kemudian pamit untuk pergi ke dapur. Ibu harus menyiapkan makanan untuk makan siang nanti. Kulihat nakasku, ah novel itu belum tuntas kubaca, iya novel tentang Sayyidah Fatimah atau bisa kita panggil bunda Fatimah. Ku ambil novel itu kemudian kubuka tepat pada pembatas yang terselip padanya. Kulanjutkan membaca sambil bersandar pada bantal.
Aku pernah bilang bahwa bunda Fatimah adalah perempuan beruntung, keberuntungan beliau bersebab ketaatan beliau pada Allah dan Rasul. Beliau adalah perempuan tangguh, tak gentar ikut serta dalam perang. Tak takut memaki orang kafir yang mengganggu Rasul ketika Rasul sedang sembahyang yang saat itu beliau masih usia belia. Bunda Fatimah adalah penghulu para perempuan. Bidadari berwujud manusia. Kini aku menemukan sosok bunda Fatimah pada ibu. Perempuan yang tak pernah mengeluh meski banyak ujian datang silih berganti.
"Ibu, aku ingin menjadi perempuan tangguh seperti bunda Fatimah dan juga ibu,"
Aku jadi teringat, dulu pernah mendengar kemarahan ayah sebab melihatku menangis karna menahan sakit pada lukaku. Ayah sangat marah pada orang jahat itu, orang jahat yang membuat anak gadisnya cacat permanen. Aku hingga nanti harus terus membawa kantung, kantung kolostomi. Kantung tempat aku membuang kotoran dari usus besarku. Sebab kejadian dimasa kecilku itu membuat bagian vitalku cacat, tak bisa berfungsi.