Mohon tunggu...
Pecandu Sastra
Pecandu Sastra Mohon Tunggu... Penulis - Blogger dan Penulis

Blue | Read | Black Coffee | Social and Humanity | DSF7296 | pecandusastra96 | Ungkapkan Kebenaran Meski itu Sakit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luck

30 Juni 2024   14:32 Diperbarui: 30 Juni 2024   14:35 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Pixabay 

Hari semakin sore, kini aku duduk di taman villa yang akan menjadi tempat menginap kami tiga hari mendatang. Aku masih sabar menunggunya tenggelam, meskipun aku yakin tak akan dapat melihatnya benar-benar sampai tenggelam.

 “Sayang, menjelang maghrib jangan duduk diluar rumah,” panggil ayah. Benar kan dugaanku? Segera aku berdiri dan menghampiri ayah. 

“Ira pengen liat siluet sunset ayah, gemuruh ombaknya pasti terlihat cantik,” ucapku pada ayah.

 “Liatnya dari jendela aja ya sayang, kan nggak baik petang-petang duduk diluar,” jawab ayah sambil menarik dua kursi ke depan jendela, kemudian memanggilku untuk duduk di sampingnya. Akhirnya aku bisa menikmati keelokan semesta bersama ayah. 

"Terima kasih ayah," ucapku dalam hati sambil memeluknya yang dibalas pelukan erat dan disusul adzan maghrib tanda waktu sembahyang.

                         .-.-.-.-.

 “Aaaaahh,” tak ada yang bisa kujelaskan selain semuanya terasa sangat sakit. Aku terpleset ketika keluar dari kamar mandi. Mungkin karena aku berteriak sangat keras sehingga ayah dan ibu langsung menghampiriku. 

“Astaghfirullah Ira, ayah ini bagaimana?”

Aku melihat ibu menangis. Tanpa banyak berkata ayah langsung menggendongku ke mobil dan membawaku ke rumah sakit. Aku saat itu masih sepenuhnya sadar, hanya merasa lemas untuk mengatakan sepatah dua kata aku pun tak mampu. Aku mendengar isakan ibu dengan terus menggumam “bertahan ya sayang."

Aku tak tau apa yang dikatakan dokter pada ayah setelah memeriksa kondisiku. Setelah ayah kembali dari ruangan dokter, ayah menatapku dengan menyisakan setetes air mata dipelupuknya. 

"Maaf Ayah, gadismu ini selalu menyusahkanmu," kataku dalam hati.

“Jangan menangis sayang, Iranya ayah kan kuat, sebentar lagi Ira makan ya, ibu sedang beli bubur ayam untuk Ira sarapan,” ucap ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun