Satu pekan yang lalu, aku baru saja berulang tahun. Aku mendapatkan beberapa kado dari sahabat-sahabat dekatku. salah satunya adalah novel yang saat ini sedang kugenggam. Judulnya ‘Fatimah az-Zahra’ karya Sibel Eraslan. Siapa yang tak mengenal Bunda Fatimah?. Perempuan cantik, cerdas, dan beruntung. Beliau adalah putri baginda Nabi saw, seluruh umat islam menyayangi beliau. Jika ada yang ingin melukai, baginda akan dengan sergap melindungi. Begitupun para sahabat Nabi, senantiasa 24 jam akan terus mengawasi.
Aku ingin seperti bunda Fatimah. Banyak yang mencintai, dan banyak yang melindungi. Jika mengingat lagi kejadian itu, aku adalah anak yang jauh dari kata beruntung. Seandainya aku seberuntung bunda Fatimah, tak akan ada orang jahat yang akan berani menyakitiku. Menyakiti gadis kecil yang baru bisa mengenal manisnya permen dan indahnya bunga mawar.
“Ira sayang, tidur nak sudah malam,” tegur ibu sambil kulihat jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 21:17.
“Iya bu,” jawabku supaya ibu tak perlu menegurku ulang. Segera kumatikan lampu kamarku dan kuganti lampu redup yang setiap hari menemaniku tidur lelap. Bersamaan dengan itu, kuletakkan novelku diatas nakas tempat tidur yang tadi sudah kuberi pembatas supaya besok aku tak kebingungan melanjutkan baca.
.-.-.-.-.
“Ayah ibu, liat ira punya apa?” teriakku dengan sedikit berlari sambil membawa kalung yang terbuat dari kerang dan batu hitam yang tadi kubeli dari salah satu pedagang kaki lima.
“Jangan lari nak,” kata ayah sambil merentangkan dua tangannya yang siap memelukku. Dan aku yang siap dipeluknya justru berlari menuju ibu yang membuat ayah geram dan mencubit pipi kananku yang tak terasa sakit, ah aku yakin ayah hanya gemas.
Kalung tadi sudah bertengger di leherku yang tertutup khimar. Ibu yang membantuku memakainya tadi. O,iya sekarang aku sedang menikmati indahnya salah satu pantai milik Negara ini hehe. Seperti janji ayah, yang akan mengajakku dan ibu berlibur.
“Kamu ingin kado apa sayang?” tanya ayah sambil merangkulku yang sedang menikmati segarnya air degan.
"Ira ingin sembuh Ayah, ingin seperti yang lainnya," jawabku seraya menatap ombak.
“Sayang, ditanya Ayah kok malah diem aja,” protes ibu sambil menepuk sebelah bahuku.
“Hehe, Ira mau apa ya? mmm apa aja deh,” timpalku dengan menatap ayah ibu bergantian. Pintaku untuk bisa sembuh hanya kulontarkan dalam hati. Aku tak berani mengungkapkannya pada ayah dan ibu. Aku tau perjuangan ayah ibu lebih dari cukup untuk membuatku kembali seperti dulu.