Mohon tunggu...
Pecandu Sastra
Pecandu Sastra Mohon Tunggu... Penulis - Blogger dan Penulis

Blue | Read | Black Coffee | Social and Humanity | DSF7296 | pecandusastra96 | Ungkapkan Kebenaran Meski itu Sakit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luck

30 Juni 2024   14:32 Diperbarui: 30 Juni 2024   14:35 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Pixabay 

Keberatan kah jika berbagi payung denganku?” katanya. Dan, aku masih menatapnya.

“Tapi sepertinya aku akan terlambat ke sekolah,” jawabku ketika mataku tertuju pada gerbang sekolahku.

 Entah bagaimana awalnya dia sudah menggendongku dengan paksa dan membawaku pada suatu tempat yang asing bagiku. Teriakku tak bisa menyaingi derasnya hujan pagi itu, begitupun tangisku. Dia dengan paksa merobek pakaianku, aku terus meronta namun kala itu aku tak dapat lagi merasakan apa-apa selain sakit pada tubuhku. Aku hanya bisa menangis, dengan sangat lirih, kemudian semuanya menjadi gelap.

                     - . - . - . - . -

Perkenalkan namaku adalah Hifza Humaira, kini usiaku 19 tahun. Aku adalah korban pelecehan seksual saat usiaku masih 8 tahun, yang masih duduk di bangku kelas 2 SD. Dampak sosial dari kejadian masa laluku ialah aku sedikit kesulitan berbaur dengan orang baru. Namun aku tak pernah khawatir, bahkan aku selalu merasa aman jika berada di samping kedua orang tuaku.

Ayahku memutuskan untuk pindah ke kota baru semenjak kejadian itu, harapnya supaya psikis dan mentalku kembali membaik. Akupun bersekolah d sebuah madrasah yang orang tuaku yakini bisa memberi dampak positif untukku. Disana selain bisa memperdalam ilmu agama, aku juga merasa aman dan tenang. Meski aku hanya memiliki beberapa sahabat dekat, namun itu cukup membuatku merasa nyaman.

 “Makan dulu yuk sayang,” ajak ibu. Ini adalah hari ketigaku menikmati libur akhir semester. Sehingga aku banyak menghabiskan waktu di rumah bersama ayah dan ibu.

“Siap ibu,” sahutku sambil menggandeng tangan ibu. - “Aku lapar,” ucapku sambil menatap ibu yang seperti hendak menjitakku. Mungkin kesal karena sedari tadi tak kunjung keluar kamar untuk segera ikut makan. Ekspresiku seperti sedang iklan Pepsodent.

 Traumaku mungkin hebat tapi aku yakin sakit hati orang tuaku jauh lebih hebat. Aku merasakan dalamnya luka itu ketika saat dipersidangan kasusku dulu, ayah murka setelah mendengar putusan hakim bahwa ada pengurangan hukuman penjara disebabkan orang jahat itu mengatakan dirinya sedang mabuk, sehingga tak menyadari apa yang dia lakukan. Ayahku hampir memukul orang jahat itu menggunakan papan nama yang ada diatas meja persidangan yang kini aku ketahui istilahnya plakat arcrylic. Namun usaha ayahku terhenti ketika mendengar ibu berteriak mengatakan ‘jangan’ pada ayah dan ayah sontak menatapku yang menangis. Kemudian ayah menghampiriku dan menggendongku membawaku pulang. 

"Wah ibu hari ini masak makanan kesukaanku, sambel kentang," aku menatap ibu dengan mata bersinar menandakan bahwa aku sangat senang.

 “Cabainya tak sebanyak minggu lalu, supaya ayahmu tak bolak balik ke kamar mandi lagi,” kata ibu menjelaskan. 

Aku menatap ayah, yang ditatap hanya mengedipkan sebelah matanya padaku. Ayah memang tak bisa memakan makanan yang terlalu pedas, berbeda denganku dan ibu. Kulahap makanan yang ada dipiringku sampai tak bersisa satu biji nasipun. Ibu pernah bilang ‘jangan sisakan makanan yang di piringmu, nanti ayam tetangga mati,’ aku sempat protes, namun begitulah ibu, tak bisa diprotes. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun