Mohon tunggu...
Jefri Suprapto Panjaitan
Jefri Suprapto Panjaitan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

pecandu kenangan, penikmat masalalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lapo Tuak

11 September 2023   11:42 Diperbarui: 22 September 2023   13:14 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di Setiap penghujung tahun senja selalu terasa jatuh lebih cepat di dalam kampus, mengucapkan selamat tinggal kepada desember yang akan menutup tahun dengan senyum, sebelum menyapa januari yang akan datang untuk memulai kembali. 

Di hari terakhir untuk tahun ini menghirup udara pendidikan ditempat yang katanya kita dibebaskan untuk berfikir, aku duduk di kantin tempatku biasa menghabiskan waktu sembari menunggu perkuliahan dimulai. 

Secangkir kopi hitam yang datang tanpa kupesan menemani angan sebelum kembali ke kamar sepetak berukuran 3x3m yang mungkin akan kugunakan menghabiskan libur kuliah selama 2 minggu kedepan.

Anganku semakin dalam, hangat kopi sudah mulai hilang, tepukan kecil di pundak membuatku sedikit kaget dan agak kesal.

"Berangan-angan mulu kau" seru temanku dengan logat Bataknya, "eh maaf agak lama, sakit kali perutku tadi."

"Iya aman cok, mau langsung balik atau mau ngopi dulu?"

"Ngopi dulu. sebelum pulang kampung aku ingin menghirup udara kampus ini sebanyak-banyaknya, agar nanti selama dikampung, aku tidak lupa kalau profesiku masih menjadi seorang mahasiswa." Guraunya sembari duduk, "kau tak pulang?"

"Sebenarnya ingin pulang, tapi tiket pesawat mahal."

Sudah hampir 3 tahun lamanya aku tidak pulang kampung, selain karena alasan biaya transportasi yang lebih mahal kalau dibandingkan dengan biaya hidup di kota perantauan ini, alasan utama adalah prinsip yang sedari awal kupegang, aku tidak akan pulang sebelum kuliahku selesai.

"Yasudah ikut ke kampungku saja, dari pada kesepian ditempat berisik ini" ajaknya, "ongkos bus tidak terlalu mahal, tempat tinggal gratis karena nanti tinggal dirumahku, makan gratis, jadi untuk masalah biaya tidak usah pikir kali."

Bak agen travel yang sudah berpengalaman, tawaran dengan fasilitas menggiurkan itu kuterima tanpa pikir panjang. Ucok adalah nama panggilan akrabku kepada pemuda batak yang juga kuliah dijurusan yang sama denganku. 

Sebenarnya nama aslinya Parningotan raja guk-guk, namun aku merasa kesulitan untuk mengejanya, makanya aku panggil dia ucok, nama seorang artis berdarah batak yang sering berkeliaran di tv nasional. Nama itu aku rasa cocok kepadanya, dan yang paling penting tidak sulit untuk mengejanya.

Hari dimana kami akan pulang ke kampung ucok pun tiba, kami berangkat menuju loket bus sekitar jam satu siang, terik matahari sedikitpun tak melepas pandangannya dari setiap detik perjalanan kami. 

15 menit perjalanan, angkutan kota yang kami tumpangi berhenti tepat di depan sebuah loket yang tidak terlalu besar tetapi ramai penumpang. 

Deretan mobil mirip L300 yang biasanya digunakan mengangkut sawit di kampungku menyambut kedatangan kami. Mobil-mobil itu telah dimodifikasi lengkap dengan kursi penumpang dan tulisan "KOPERASI BINTANG TIMUR" beserta nomor mobil di setiap pintunya.

"Ini loket busnya?" tanyaku sedikit ragu.

"Iya."

"Kita akan menumpangi mobil kecil ini dengan perjalanan 6 jam?"

"Iya." 

Sedikit kaget sih, perjalanan yang terbilang jauh harus menggunakan mobil seperti ini. Dan saya masih sedikit bingung, karena ucok mengatakan tidak ada bus yang menuju daerah mereka, semuanya menggunakan mobil L300 yang sudah dimodifikasi seperti yang akan kami tumpangi.

Dibawah terik matahari dan antrian ribuan kendaraan menyusuri aspal yang tidak terlalu rata, roda mobil yang membawa 11 penumpang penuh mulai berputar senada dengan antrian mobil lainnya. 

Sedikit agak lama untuk keluar dari barisan yang berjejer panjang sejauh mata memandang, pemandangan ini tentunya sudah tidak asing lagi bagi kami. Banyaknya orang egois yang mengambil paksa hak orang lainlah penyebab utama wisata menjengkelkan ini terjadi di kota tempatku mencari ilmu.

Matahari telah turun di atas langit sebelah barat, pertanda sore sudah mulai menyapa, roda mobil kami sudah berputar jauh lebih cepat. 

Angin sore mulai mengusap keringat yang mengalir bebas di sekujur tubuh seiring laju mobil yang semakin cepat. Belum jauh berjalan, kulihat tulisan besar "Gerbang Tol Amplas" menyambut kedatangan kami.

"kita akan lewat tol?" Tanya ku penasaran kepada ucok

"Iya, semenjak tol ini diresmikan, rute perjalanan dari arah Toba menuju ke Medan sudah berubah. Dulu sebelum ada jalan tol ini, rutenya dari Toba-Parapat-Siantar-Tebing tinggi-medan, perjalanan itu memakan waktu 7 sampai 8 jam. Namun sekarang dari perbatasan Siantar-Tebing tinggi sudah langsung ke Medan tanpa harus melewati kota Tebing tinggi dan kota kecil lainnya, hal ini memangkas waktu hampir 2 jam. Tapi......"

"Tapi apa?" tanyaku dengan penasaran

"Memang jalan tol ini membuat waktu perjalanan lebih efisien, namun dibalik itu semua, ada banyak suara tangis yang coba pura-pura tidak kita dengarkan."

Rasa penasaran memaksaku terdiam dan terus focus mendengarkan penjelasan ucok.

Sembari merogoh tas berisi cemilan yang tadi kami beli, dia melanjutkan ceritanya. "ketika menggunakan rute perjalanan sebelum jalan tol ini ada, biasanya mobil seperti yang kita tumpangi ini memiliki dua tempat pemberhentian untuk makan dan sekedar istirahat. Pemberhentian pertama itu di Siantar dan kedua di Tebing Tinggi, tepatnya di pasar Bengkel. 

Siantar menjadi tempat pemberhentian yang masih ramai hingga sekarang, sedangkan pasar bengkel yang menjadi gudangnya oleh-oleh yang dikelola UMKM sudah mulai mati digilas mulusnya jalan tol. Memang jalan tol ini berdampak baik bagi banyak orang, tapi aku hanya tidak setuju jika efisiensi waktu dibenarkan untuk membunuh banyak harapan orang-orang kecil."

"Memang benar, seluruh hidup ini ditopang oleh pembunuhan." Ucapku menutup percakapan cukup serius itu.

Perjalanan terus berlanjut, lagu-lagu batak mengiringi kantuk yang mulai menghanyutkanku dan beberapa penumpang lainnya. 2 jam kemudian kami sampai di pemberhentian pertama dan terakhir menuju Toba. Setelah makan dan istirahat beberapa waktu, kami melanjutkan perjalanan. Udara semakin dingin, kantuk pun kembali mengajak tidur.

"Bangun... bangun... kita sudah sampai di parapat." Ucok membangunkan ku sembari menunjuk ke arah danau yang begitu luas dihiasi terangnya lampu di pesisir pantai yang mencoba mengusir gelapnya malam. "itulah danau toba, danau yang tercipta karena legenda si Toba yang menikahi perempuan cantik jelmaan ikan yang didapatnya saat memancing." Lanjutnya sambil tertawa kecil.

Aku juga hanya tersenyum mendengar ucapannya, meskipun secara ilmiah aku mengetahui penyebab terciptanya danau toba ini adalah letusan gunung toba sekitar 100.000 tahun lalu dan diyakini oleh beberapa ilmuwan Amerika letusan itu menghancurkan populasi manusia, yang pada saat itu hanya meninggalkan 10.000 manusia. 

Namun cerita rakyat sebagai culture lisan dari masyarakat setempat tentunya harus dihargai sebagai bagian dari warisan budaya.

Satu jam setelah melintasi danau toba, akhirnya kami sampai di desa tempat ucok tumbuh dewasa sebelum akhirnya menuju kota berisik untuk mencari ilmu. 

Desa ini begitu indah, udaranya memanjakan dada, suasananya memanjakan mata, sunyi tapi tak terasa sepi, dingin tapi terasa hangat.

Saat menikmati indahnya desa, aku melihat sebuah cahaya terang di sudut desa, terlihat ramai orang. Sejenak aku berpikir, apa yang dilakukan orang-orang desa malam-malam begini?. Aku bertanya kepada ucok untuk menjawab rasa penasaranku.

"Itu apa?" sambil menunjuk ke arah tempat tersebut

"Itu namanya lapo tuak, tempat yang fungsinya cukup sentral di setiap desa yang ada di Toba. Nanti aku akan ajak kamu kesana, biar kamu lihat sendiri betapa luasnya ruangan sempit itu."

Setelah selesai mandi, makan dan sedikit mengobrol dengan keluarga ucok, akupun diajak ke lapo tuak. Benar kata ucok, tempatnya kecil dan tergolong sempit untuk orang sebanyak itu. 

Lapo itu terlihat seperti warung kecil yang dindingnya hanya dipasang setinggi 1 meter, kemudian disusun beberapa meja dan kursi secara berjajar. Yang disuguhkan disana hanya tuak, minuman yang mirip susu putih yang diambil dari enau. Kata ucok itu adalah minuman tradisional batak, orang juga kerap menyebutnya susu batak.

"orang batak biasanya berlatih debat disini, dan kalau kamu ingin menonton konser gratis, disinilah tempatnya." Jelas ucok kepadaku

Lapo tuak itu terasa riuh sekali, bagaimana tidak?, setiap meja memiliki pembahasan sendiri. Ada yang membahas masalah hidup, olahraga, pendidikan, hukum, bahkan politik. Bukan hanya diskusi saja, di tengah-tengah itu semua ada konser yang memanjakan telinga orang-orang di lapo tuak. 

Sekarang aku mengerti maksud dari ucapan ucok tadi, memang benar lapo tuak ini adalah tempat yang sempit tapi begitu luas. Dan semenjak itu aku sudah tidak heran lagi, kenapa orang batak banyak sukses di dunia politik, hukum dan industri musik. Itu semua ternyata buah dari budaya yang mereka tanamkan.

Hari-hari libur panjangku kuhabiskan di lapo tuak untuk menikmati konser dan perdebatan yang kadang membuatku tertawa terbahak-bahak. 

Libur panjang terasa singkat karena dipangkas oleh kebahagiaan mengenal budaya batak yang tak akan terlupakan. Dan aku berjanji akan kembali ke lapo tuak itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun